25 Jul 2013

Trowulan

Siti Hinggil Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur, ada tangganya, masuk ke dalam. Memang tanah yg letaknya lebih tinggi dibandingkan tanah sekitarnya. Di Jawa sudah jarang, tetapi di Bali umum sekali. Semua rumah Bali asli dibangun di atas tanah yg ditinggikan. Di dalam Siti Hinggil ini terdapat “makam” Raden Wijaya. Turun temurun semua orang tahu disinilah tempatnya. Menurut saya ini Pemrajan atau Sanggah Pemujan. Tempat pemujaan leluhur bagi anggota keluarga Dinasti Wijaya yg harusnya tinggal disini juga. Di sebelah Pemrajan pendiri dinastinya. So, di lokasi inilah Keraton Majapahit yg pertama berada. Memang disini.
Bisa dipastikan keratonnya tidak megah berlebih-lebihan, melainkan sederhana saja.

Pastinya tidak jauh beda dengan Puri atau kediaman raja di Bali. Dan jelas beda jauh dengan Keraton Solo atau Keraton Yogya yg sudah banyak dipengaruhi oleh budaya Cina. Majapahit kena pengaruh Cina juga, tetapi jauh lebih sedikit. Semakin ke arah kita, pengaruhnya semakin kuat. Setelah pusat kerajaan pindah ke Jawa Tengah, misalnya, keraton pembangunannya menggunakan fengshui. Baru-baru ini saya dan beberapa teman, termasuk Master fengshui Gunadi Widjaja mengunjungi Imogiri, tempat pemakaman raja-raja Jawa. Bisa terlihat jelas oleh Gunadi Widjaja bahwa Imogiri dibangun mengikuti prinsip-prinsip fengshui. Lalu saya bilang, itu arsiteknya, dimakamkan persis di tengah Imogiri. Saya tidak tahu namanya siapa, pastinya nama Jawa, diberi gelar bangsawan Jawa. Tetapi dia menggunakan prinsip-prinsip fengshui. Keturunan Cina juga seperti kebanyakan Wali Sanga? Mungkin.

Yg jelas bagi saya, Majapahit internasional. Tidak begitu gila keaslian seperti budaya Jawa bagian Tengah. Kenapa Jawa bagian Tengah begitu gila asli pedahal tidak ada yg asli disini? Penjelasan saya, karena para pujangga di keraton-keraton Jawa bagian Tengah adalah keturunan Cina. Sikap anti asing itu sikap Cina. Bukan sikap Jawa. Sikap Jawa yg asli adalah sinkretik, menerima semuanya, dan melahirkan sesuatu yg baru. Sama seperti di Bali dari dulu sampai sekarang. Sikap Majapahit itu sikap Bali, tidak anti asing. Tetapi sikap Jawa bagian Tengah atau Kejawen yg anti asing bukanlah sikap Majapahit. Itu sikap yg muncul belakangan ketika pengaruh Cina sudah semakin kuat. Jadi, dipandanglah oleh para pujangga istana yg belakangan muncul, seolah-olah Jawa adalah pusat dunia. Itu cara pandang budaya Cina. Budaya Cina yg memandang dirinya sebagai pusat, dan lainnya sebagai pinggiran. Kenapa Jawa yg pinggiran bisa memandang dirinya sebagai pusat dunia? Jawab: Karena pujangga istana di keraton-keraton yg muncul belakangan adalah keturunan Cina. Sama seperti hampir semua Wali Sanga, para pujangga keraton adalah keturunan Cina. Makanya baju pria Cina akhirnya dianggap asli sebagai baju Jawa, pedahal itu baju kungfu, masih dikenal sebagai baju peranakan. Itu contoh kecil saja. Terlalu banyak pengaruh Cina di budaya Jawa, dan budaya-budaya etnik lainnya di Indonesia, yg tentu saja tidak salah. Bagus malahan. Saya cuma mau membawa anda untuk membuang sikap etnosentris. Sikap memandang budaya sendiri sebagai paling unggul. Itu sikap negatif yg asalnya dari Cina juga, terbawa ke Jawa karena kaum intelektual maupun spiritual di Jawa masa lalu keturunan Cina.

Kekuatan Indonesia adalah karena kita campuran macam-macam keturunan. Tanpa ada campuran dengan pendatang, gen kita akan lemah sekali. Yg gen-nya kuat adalah orang Amerika. Kenapa? Karena mereka keturunan macam-macam. Aslinya orang-orang Nusantara tidak anti asing. Mataram Kuno, yg diperintah Wangsa Sanjaya, jaman Borobudur dan Prambanan, kemungkinan besar dipenuhi oleh imigran dari India. Beberapa ribu orang. Dan itu tidak seberapa dengan beberapa ratus tahun kemudian. Mulai jaman Kediri, Singosari, Majapahit dan Mataram Islam, ketika imigrasi dari Cina datang tanpa henti. Tidak sekaligus, tetapi konstan. Menurut saya rata-rata penduduk Pantura (Pantai Utara Jawa) memiliki campuran Cina. Makanya ada yg putih sekali. Walaupun ada juga yg item sekali atawa keling, walaupun jarang. Setelah Majapahit runtuh, yg menguasai bandar-bandar besar adalah keturunan Arab. Makanya banyak sultan-sultan Nusantara adalah keturunan Arab. Atau, mungkin lebih tepat campuran antara keturunan Arab dan Cina Muslim. So, dimana anti asingnya? Kalaupun ada sikap anti asing, asalnya dari sastra keraton Jawa. Dan, hipotesa saya, itu dikarenakan pujangga keratin-keraton Jawa adalah keturunan Cina. Makanya saya suka merasa lucu sendiri kalau ada teman yg fanatik dengan budaya. Fanatik dengan budaya asli. Mana ada budaya kita yg asli selain yg primitif?

Rumah-rumah adat Batak, Toraja, sampai ke Flores dan Timor semuanya asli. Motif ulos Batak itu asli, di Bali namanya endek. Di Jawa namanya lurik, dan sudah dibuat dengan mesin. Dan mengenakannya cukup untuk pinggang ke bawah, atasnya semua telanjang. Baik lelaki maupun perempuan semua telanjang dada.

Konsep-konsep Hindu-Buddha marak di semua etnik Nusantara, bahkan masuk ke etnik-etnik yg dianggap terbelakang sampai akhir-akhir ini. Apa yg dianggap “asli” di etnik-etnik seperti Batak, Minahasa, Dayak, Toraja, dll… kalau diteliti, kemungkinan besar merupakan konsep Hindu. Alam spiritual dipengaruhi oleh pemikiran Hindu, sedangkan alam material banyak dipengaruhi oleh Cina. Porselin Cina sangat dihargai di Nusantara, untung masih bias diselamatkan sebagian oleh orang Belanda yg mengumpulkannya, dan ketika meninggal menyumbangkan seluruh koleksinya kepada negara (Hindia-Belanda saat itu). Itulah asal muasal koleksi Museum Nasional kita. Budaya materi sangat dipengaruhi Cina. Ini budaya materi sehari-hari, seperti makan-minum, pakaian, dan bentuk rumah. Kalau budaya spiritual, banyak dipengaruhi oleh India. Yg paling saya benci adalah mereka yg tidak tahu malu mengakui adaptasi budaya dari luar sebagai asli. Gambang Kromong di Jakarta, contohnya, diakui sebagai budaya asli Betawi. Pedahal jelas itu budaya kaum peranakan, atau keturunan Cina di Jakarta masa lalu. Musik Cina. Lebih jujur kalau kita akui sebagai budaya peranakan. Peranakan artinya dikembangkan di wilayah lokal, tapi tidak asli. Aslinya dari luar. Musik keroncong juga tidak asli, melainkan adaptasi dari musik Portugis. Semua baju adat Nusantara juga tidak ada yg asli, kebanyakan adaptasi bulat-bulat atau setengah bulat dari pakaian Cina. Yg asli cuma busana Papua which is no busana, kalau menurut standard kita di Indonesia bagian Barat.

Yg menarik adalah budaya Barat. Hukum Barat yg digunakan Belanda mengubah cara pandang tradisional sehingga Indonesia bisa langsung bergaul dengan masyarakat internasional. Kalau tidak begitu akan runyam karena hukum adat Indonesia merupakan hal asing di bumi ini. Tidak dimengerti tetangga kiri kanan. Dianggap alien atawa bawaan dari makhluk angkasa luar. So, budaya Barat banyak mempengaruhi pemikiran kita bermasyarakat. Dan itu bagus. Secara sosiologis, yg paling siap adalah keturunan Cina dan Arab karena Belanda memperlakukan hukum Barat kepada kedua golongan ini. Hukum Barat adalah yg digunakan terhadap orang-orang Barat sendiri saat itu. Dan keturunan Cina dan Arab juga akhirnya dikenakan hukum Barat. Makanya ketika Indonesia merdeka mereka siap. Mengerti hukum Barat. Dan itu bisa dilihat sampai sekarang dari banyaknya pengacara beken dengan nama Arab. Warisan dari perlakuan Belanda di masa lalu, yg terbawa sampai bergenerasi-generasi. Bagus, positif, sama sekali tidak jelek. Kita malahan ingin lebih menjadi Barat lagi sekarang. Ingin bebas korupsi. Itu apaan kalau bukan kebarat-baratan? Total kebarat-baratan. Pemerintahan bersih adalah ciri masyarakat Barat. Kita kurang apa? Kurang Barat. Harus lebih Barat lagi. Harus lebih bersih lagi, harus lebih makmur lagi, harus lebih egaliter lagi. And that’s spirituality also. Itu juga spiritualitas manusia. Yg membumi, dan tidak di awang-awang.


(sumber: salah satu e-book Leonardo Rimba)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar