22 Jul 2013

Kita Bisa Bersaksi di Mahkamah Konstitusi

sumber: e-book 'Mencari Tuhan Soliloquy dan Dialog Spiritual'

Kemarin untuk pertama-kalinya saya menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi. Tidak tanggung-tanggung, saya langsung menjadi saksi. Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir di republik ini yg melindungi hak-hak konstitusional warganegara. Setiap WNI memiliki hak-hak konstitusional yg tercantum di dalam UUD 1945, tetapi di dalam pelaksanaannya banyak terdapat berbagai UU yg ternyata bukan melindungi melainkan menginjak-injak hak konstitusional WNI. Hak konstitusional adalah hak yg dimiliki setiap orang dari kita karena kita adalah warganegara, dan hak itu diberikan oleh negara. Negara RI didirikan untuk membela hak-hak para warganya. Konstitusi atau UUD adalah kontrak antara warga dengan negara. Warga adalah kita semua dalam kapasitas sebagai pribadi per pribadi. Dan negara diwakili oleh pemerintah dan berbagai aparatnya.

Karena ini tentang uji materi (judicial review) terhadap UU yg disinyalir bertentangan dengan UUD 1945, maka saya telah mempersiapkan segalanya. Yg diuji adalah UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan atau yg lebih kita kenal sebagai UU Pelarangan Buku. Pemohon adalah Darmawan MM, penulis buku 'Enam Jalan Menuju Tuhan' yg telah memperoleh kehormatan bukunya dibreidel oleh Kejaksaan Agung RI menggunakan UU tersebut. Pengajuan saksi adalah bagian akhir dari persidangan sebelum keputusan diambil dan dibacakan. Saksi bisa diajukan oleh pihak pemohon maupun pihak pemerintah. Saya diajukan oleh pihak pemohon sebagai orang yg pernah menjadi korban dari UU Pelarangan buku. Ada sedikit kerancuan kemarin ketika para saksi yg dihadirkan ternyata belum memiliki pengertian tentang perbedaan antara saksi dan ahli. Saksi adalah mereka yg mengalami sendiri, mendengar sendiri, atau melihat sendiri kejadian yg diakibatkan oleh penerapan UU yg digugat itu. Dan ahli adalah mereka yg memiliki keahlian tentang substansi dari hal yg digugat itu. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa saksi adalah yg biasa dikenal sebagai korban. Korban yg mengalami sendiri atau melihat sendiri dampak dari UU yg diterapkan oleh pemerintah.

UU yg diterapkan oleh Pemerintah RI merupakan turunan dari UUD 1945 yg menjamin hak-hak warganegara, seperti hak untuk beragama dan menganut kepercayaan tanpa diganggu-gugat, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk menyatakan pendapat, dan berbagai macam hak lainnya. UUD 1945 yg telah di-amandemen bahkan memuat lebih banyak lagi hak-hak azasi warganegara, karena telah memasukkan apa yg termuat di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal. Ada HAM kebebasan berekspressi.

Dan hak itulah yg disinyalir telah dengan semena-mena diinjak-injak oleh Pemerintah RI melalui UU Pelarangan Buku. Ada pula HAM untuk memperoleh informasi sebebas-bebasnya, dan HAM ini juga disinyalir telah dilecehkan oleh UU tsb. Kita tidak bisa memperoleh buku 'Enam Jalan Menuju Tuhan' di toko buku karena Kejaksaan Agung melarangnya. Dan kita menjadi korban. Sebagai korban, kita bisa menjadi saksi. Kita bisa bersaksi di Mahkamah Konstitusi bahwa hak asasi kita sebagai warganegara RI yg dijamin oleh UUD 1945 telah dilecehkan oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kejaksaan Agung. Bahkan tanpa perlu mengerti argumen pro dan kontra tentang berbagai pasal di dalam UUD 1945, kita bisa bersaksi bahwa hak-hak kita yg normal, yg asasi, yg mendasar, telah dilecehkan oleh Pemerintah. Dan kalau itu terbukti maka Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa UU yg dipertanyakan itu ternyata bertentangan dengan UUD 1945. Bertentangan artinya inkonstitusional, tidak sesuai dengan konstitusi atau UUD 1945.

Bukan cuma saya saja yg rancu antara perbedaan saksi dan ahli, melainkan juga kuasa hukum pemohon, maklumlah Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru. Indonesia merupakan negara ke 78 di dunia yg memiliki Mahkamah Konstitusi yg berhak menguji apakah suatu UU konstitusional atau tidak. Di AS, lembaga ini dikenal dengan nama 'Supreme Court' dan telah menghasilkan begitu banyak terobosan dalam bidang HAM, seperti pemisahan secara tegas antara agama dan negara, penghapusan pembacaan doa dan pemajangan simbol-simbol keagamaan dari sekolah-sekolah umum, dan pelenyapan berbagai bentuk diskriminasi terhadap minoritas yg tadinya dianggap wajar-wajar saja oleh mayoritas. Lembaga Mahkamah Konstitusi adalah terobosan bagi mandegnya pencapaian tujuan pendirian negara karena para wakil rakyat dan pemerintah sibuk dengan kepentingan pribadi atau golongan mereka masing-masing.

Pemerintah bisa berganti, dan anggota DPR/MPR bisa berganti, hakim konstitusi juga bisa berganti. Tetapi fungsi Mahkamah Konstitusi tetap. Bahkan Mahkamah Konstitusi bisa mengadili keputusannya sendiri. Segregasi atau pemisahan warganegara berdasarkan warna kulit yg tadinya dihalalkan oleh Supreme Court di AS akhirnya dinyatakan tidak konstitusional oleh Supreme Court yg sama setelah sekian waktu berlalu. Apa yg tadinya dianggap halal akhirnya dinyatakan haram. Tanpa pengharaman segregasi kaum kulit hitam di AS, tidak mungkin Barack Obama akan bisa menjadi presiden AS. Ternyata sekarang bisa. Dan itu terjadi karena para hakim konstitusi AS memiliki pengertian tentang HAM.

Setiap orang dari kita yg merasa menjadi korban dari UU tertentu di NKRI ini bisa menjadi saksi di dalam sidang uji materi UU tertentu di Mahkamah Konstitusi. Tidak semua orang dari kita bisa menjadi ahli, yaitu mereka yg diminta berbicara secara khusus berdasarkan keahliannya. Tetapi semua orang dari kita bisa menjadi saksi apabila merasa menjadi korban. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menjelaskan hal itu panjang lebar kepada kami kemarin. Sebagai saksi korban saya cuma membacakan pernyataan sbb:

"Saya dulu kuliah di Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia, dan itulah alasannya kenapa pelarangan buku bukanlah hal baru bagi saya. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik di pertengahan tahun 1980-an, banyak buku-buku ilmiah di bidang Ilmu Politik dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung. Saya ingat ada buku 'Indonesia: the Rise of Capital' oleh Richard Robison. Ada juga buku 'Suharto and His Generals' oleh David Jenkins. Keduanya orang Australia dan keduanya kena cekal karena menulis dua buku itu. Mereka tidak bisa datang ke Indonesia karena pemerintah menerapkan cegah dan tangkal. Bukunya dilarang beredar, dan orangnya dicegah dan ditangkal. Tentu saja sekarang mereka bisa datang ke Indonesia setiap saat. The cekals sudah dianulir. Rejim Suharto sudah bubar, dan bubarlah the cekals. Buku-buku yg dulu dinyatakan terlarang mungkin sekarang sudah tidak terlarang lagi. Tetapi siapa yg mau baca? Masanya sudah lewat, Suharto sudah jatuh. Walaupun ilmiah, isinya sudah basi. Yg dulu disangkal habis-habisan sebagai "penodaan" oleh Rejim Orde Baru ternyata terbukti benar. Tergulingnya rejim mengakibatkan apa yg dulu haram menjadi halal."

Cuma begitu saja. Dan itu kesaksian berdasarkan pengalaman saya sendiri. Saya mengalaminya sehingga saya bisa memberikan kesaksian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar