15 Jul 2013

Prolog dan Epilog

Prolog (28 Mei 2013)


Sekarang Selasa, 28 Mei 2013, Joko Tingtong mulai menuliskan catatannya. Pikiran demi pikiran. Pertemuan dengan teman memunculkan pikiran lagi. Ada pikiran lama muncul, hilang karena tak laku, cukup dibahas saja. Tidak bisa diterapkan. Masanya lewat, kedaluwarsa. Pikiran total baru bisa datang. Dan diberikan tepuk tangan meriah di facebook.

Plok plok plok plok...

Saya bukan pelawak di TV, kata Joko Tingtong. Tidak perlu tepuk tangan.

Tidak perlu juga teriak: penontonnn!!!!

Tidak ada yg tonton Joko Tingtong.

Joko dibaca manusia, bisa ditambahkan Jin juga. Dibaca oleh manusia dan Jin. Ya, Joko pernah lihat Jin tinggi besar duduk di atap rumahnya sendiri.

Dan tertawa: hahahaha!!!!

Apakah itu benar Jin tidak jelas. Di facebook semuanya manusia, walaupun menampilkan sosok sekaligus nama seolah-olah Jin.

Kita mengucapkan selamat hari raya kepada semua orang tanpa membedakan apa agamanya. Selamat Natal dan Tahun Baru sifatnya sama seperti Selamat Idul Fitri, diucapkan untuk semua orang. Dan jawabannya, Selamat Natal dan Tahun Baru juga. Atau Selamat Idul Fitri juga. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Menurut saya, itu sopan santun internasional. Bukan seperti orang Indonesia yg secara salah kaprah bilang oh, maaf, saya tidak merayakan Natal. Atau, oh maaf saya tidak merayakan Lebaran. Embel-embel "untuk yg merayakannya" adalah sesuatu yg tidak memenuhi azas kepantasan. Tidak pantas. Kalau sesuatu sudah dirayakan oleh satu dunia seperti Natal dan Tahun Baru, maka kita mengucapkannya kepada semua orang. Kalau sudah dirayakan satu Indonesia seperti Lebaran, maka saling mengucapkan Selamat Lebaran adalah sangat pantas. Jadi, kita bukan lagi menghubungkan itu hari-hari dengan agama tertentu. Kita fokus pada kemanusiaannya.
Yg agak repot adalah Natal dan Tahun Baru. Walaupun penulisannya sering disatukan, dalam praktek terpisah. Beda satu minggu. Kalau baru tanggal 25 Desember, secara lisan kita cuma boleh mengucapkan Selamat Natal. Selamat Tahun Baru diucapkan setelah pergantian tahun, tanggal 31 Desember lewat sedikit. Perayaan terbesar sepanjang sejarah manusia. Memang merayakan tahun baru Masehi atau Kristen, tapi so what gitu lho! Itu tahun baru kita semua. Tidak ada hubungannya dengan agama.

Itu pemikiran Joko yg muncul ketika pertama menulis.


+++

Epilog (15 Juli 2013)


Seorang teman menulis: "Dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad intinya semua sama-sama membawa ajaran tauhid, terlepas mereka diutus untuk kaum yg berbeda." Joko Tingtong diam saja, tidak menanggapi, walaupun tahu bahwa harusnya ada kelanjutan dari pernyataan itu. Tauhid artinya kesatuan kesadaran dan tindakan, orang per orang, menjadi diri sendiri sekaligus penuh tanggung-jawab. Secara praktis berarti buang syariat yg dipaksakan orang lain, dan masing-masing mempraktekkan apa yg disukainya. Setiap orang punya syariat, berasal dari dirinya, dan untuk dirinya sendiri juga. Itulah tauhid. Dan bukan membahas apa yg mau diatur oleh orang lain, bahkan tentang urusan celana dalam merk apa yg harus anda pakai. Alasan bisa bermacam-macam, termasuk kemungkinan anda allergi karena bahannya terbuat dari nylon dan bukan katun. Setiap hari di TV membahas begituan, Joko tidak mau lihat. Celana dalam saya adalah urusan saya sendiri, bukan urusan orang lain. Tetangga saya?

Tetangga saya bisa melakukan apa saja dengan mereka punya perkakas, bisa mengikuti kuliah tentang mengenakan jenis celana dalam yg baik, yg akan membawa rahmat bagi keluarganya dan keluarga saya. Bisa juga dia tidak pakai celana dalam. Yg penting ada kesatuan antara kesadaran dan tindakan, sehingga tercapailah tauhid. Keutuhan satu kehidupan anak manusia. Utuh antara pikiran dan perbuatan. Tidak terpecah, tidak takut dicemooh, dan tidak pula gemar dipuji. Tidak rajin menjamah, sekaligus menahan diri untuk tebar pesona karena disinyalir bisa membangkitkan gairah manusia lain untuk menjamah. Diri anda aturlah sendiri, dan biarkan diri orang mengatur dirinya sendiri juga. Demi kemaslahatan bersama, membawa rahmat bagi alam semesta. Praktis dan tidak diawang-awang. Tidak perlu bawa memedi dengan nama bahan yg membuat allergi ataupun bahan yg nyaman dipakai karena menyerap keringat.

Itulah spiritualitas Joko Tingtong. Bukan tradisional berdasarkan budaya atau agama, walaupun merupakan keturunannya. Asli Indonesia, walaupun punya campuran dari mana-mana. Dua ratus tahun lalu leluhur saya masih tinggal di hutan, masih telanjang, kata Joko. Seratus tahun lalu mereka sudah beragama, mengikuti dakwah Arabia dan kemudian Belanda. Orang tua saya masih percaya dukun. Saya sendiri sekarang sering dianggap dukun. Oh, biarlah, lanjut Joko. Bumi tetap berputar di porosnya, umat manusia berevolusi. Joko percaya evolusi atau perubahan berangsur-angsur selalu ada, setiap saat dalam hidup kita tanpa henti. Orang Indonesia kebanyakan tidak percaya evolusi karena mereka mengertinya cuma dari dengar orang. Kalau dengar orang, evolusi artinya iman bahwa manusia berasal dari monyet. Kalau beriman kepada Allah, dan tidak percaya manusia berasal dari monyet, maka kita harus tentang evolusi.

Mereka tidak tahu, evolusi jalan terus.

Tik tik tik tik... itulah bunyi evolusi, mengalirnya darah di nadi kita. Dan bukan rintik hujan di atas genteng.

Hampir dua bulan Joko menuliskan catatan hariannya, dari 28 Mei sampai dengan 15 Juli 2013, hari ini. Sudah dulu, tak akan habis-habisnya catatan harian saya.

Oh (selama hayat dikandung badan)
 
(Leonardo Rimba)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar