7 Jul 2013

Saya Melepas Jilbab Saya Setelah Dua Tahun


Beberapa minggu ini Joko Tingtong membaca buku karya Paul Hazard, tentang debat intelektual di Eropa sepanjang akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18. Apa isi kepala orang Eropa saat itu, yg ternyata tidak jauh beda dengan apa yg dibicarakan di Indonesia pada awal abad ke 21 ini. Mereka di Eropa masih sibuk dengan Allah pada saat itu, dan kaget menemukan budaya yg berbeda di belahan bumi lainnya. Termasuk budaya Islami. Kita tidak tahu, ternyata sudah ada profesor bahasa Arab di Eropa pada masa itu. Al Quran sudah diterjemahkan. Dan kebudayaan Islami dikagumi. Makanya Belanda tidak anti Islam. Semua aliran Islam berhak berkembang di Hindia Belanda, termasuk Syiah dan Ahmadiyah. Tidak ada yg dikristenkan. Kecuali buyut Joko Tingtong, orang Gorontalo dengan fam Lahengke, yg diganti menjadi Lasambouw ketika diangkat anak oleh orang Belanda. Buyut saya pindah dari Islam ke Kristen, tapi keturunannya campur, tetap ada yg Islam juga. Buat Joko Tingtong, agama tidak menjadi masalah. Apapun agama orang merupakan pilihan atau warisan dari orangnya sendiri. Biasanya warisan, karena orang Indonesia terlalu malas untuk memilih agama sendiri.

Atau memang tidak perlu.

Kecuali untuk menikah dengan orang yg beragama beda. Salah satu harus berganti agama dahulu supaya bisa menikah. Setelah itu bisa kembali lagi ke agama asal. Joko sudah menemukan sendiri beberapa orang yg seperti itu. Masuk agama pasangannya hanya agar bisa menikah secara resmi. Mungkin benar melakukan ibadah di agama barunya, tetapi kemudian merasa tidak cocok, dan akhirnya balik lagi ke agama asal. Orangnya bisa saja tetap menikah, tapi sekarang agamanya beda. Dan pernikahan tidak bisa dianulir hanya karena sekarang pasangan suami istri itu sudah berbeda agama. Kalau tidak ada yg menggugat cerai, pernikahan tetap berlangsung. Berbeda agama, walaupun asalnya satu agama. Tidak bermasalah, namun lucu saja, karena untuk menikah mereka diharuskan satu agama dulu, oleh UU Perkawinan di Indonesia, yg juga merupakan penemuan baru. Mungkin berniat mendesak habis kaum Komunis yg secara salah kaprah diasosiasikan dengan Atheisme atau tidak beragama. Pedahal saat itu, di tahun 1974, sudah ada Piagam HAM PBB, yg salah satu pasalnya menyebutkan perkawinan merupakan pilihan bebas, dan orang tidak boleh didiskriminasi berdasarkan agama. Nyatanya Indonesia tetap mendiskriminasi mereka yg ingin menikah. Diskriminasinya cuma satu, yaitu berdasarkan agama. Agama beda dilarang kawin!

Walaupun kemudian Indonesia meratifikasi Piagam HAM PBB, hak asasi manusia untuk menikah tanpa diskriminasi berdasarkan agama tetap tidak dihormati di Indonesia. Manusia dipaksa untuk seagama supaya bisa menikah resmi. Makanya Joko tidak heran membaca teks berjalan di Metro TV tadi malam, isinya: PBB akan meninjau catatan HAM Indonesia di Jenewa. Di markas besar PBB. Ditinjau dan diberi nilai. Tentu saja nilainya minus. Pelecehan HAM masih berlangsung, terutama di bidang keagamaan. Di masa lalu tidak seperti itu. Negara kolonial Hindia Belanda sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk beragama ataupun tidak beragama. Tidak ada diskriminasi bagi orang yg beragama beda. Kalau mau menikah, bisa menikah resmi. Indonesia tidak begitu. Dalam hal keagamaan, Indonesia sangat terbelakang. Lebih terbelakang dibandingkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Dulu rakyat Indonesia tidak bisa bebas dalam hal menyuarakan aspirasi politik untuk merdeka. Sekarang, di jaman kemerdekaan, rakyat Indonesia tidak bisa melaksanakan aspirasi mereka dalam hal beragama. Banyak hambatan oleh negara. Negara bilang ada aliran lurus, dan ada aliran bengkok atau sesat. Negara bilang, kalau agama beda tidak bisa menikah. Dulu tidak begitu. Dulu, walaupun dalam masa penjajahan politik, hak asasi kita untuk beragama dan menikah dijamin oleh negara. Sekarang justru dilecehkan. Dilecehkan oleh NKRI yg, mungkin, mengkambing-hitamkan agama. Seolah-olah negara terpaksa melakukan itu karena ada agama. Seolah-olah negara harus mengikuti kemauan agama.

Salah kaprah lagi, tentu saja.

Negara Indonesia tidak beragama. Negara adalah konsepsi abstrak. Punya wilayah, punya rakyat, dan punya bahasa. Bukan punya agama. Agama tidak menjadi landasan pembentuk bangsa dan negara Indonesia. Kalau negara Indonesia memaksakan agama dalam kehidupan masyarakat dan pernikahan, maka jelas itu melanggar HAM. Hak asasi manusia untuk menentukan agamanya sendiri, untuk mempraktekkannya. Untuk memilih aliran yg sesuai bagi dirinya, semuanya dicampur-aduk oleh negara, dengan hasil rakyat menjadi pelengkap penderita. Dan tanpa penjelasan, selain bahwa agama, sekali lagi, menuntut itu. Pedahal seperti semua orang tahu, agama tidak bisa menuntut. Agama itu benda mati abstrak. Yg bisa menuntut adalah manusia. Tetapi, kalau itu hidup orang lain, apa berhaknya pemimpin agama menuntut penganut agama agar menurut? Ini salah kaprah yg menjadi-jadi, masih berlangsung sampai detik ini. Seolah-olah pemeluk agama wajib menjadi pengikut setia dari para pemimpin agama. Menjadi anak didik dari ulama. Menjadi praktisi teladan dari ajaran agama. Pedahal, agama apapun yg dianutnya, tidak otomatis berhak mengatur hidup seorang manusia. Setiap manusia berhak menentukan apa yg ingin dilakukan dengan hidupnya sendiri. Kalau beragama, merupakan pilihan bagi manusia untuk memutuskan, apakah mau menjalankan syariat atau tidak. Apakah mau puasa atau tidak. Apakah mau sembahyang atau tidak. Itu hidupnya sendiri. Tidak ada yg berhak memaksa.

Agama tidak berhak memaksa, ulama tidak berhak memaksa, negara tidak berhak memaksa. Itu domain pribadi warganegara, hidupnya sendiri. Hak dasar. Hak asasi. Kalau ada yg mau memaksakan warganegara menjalankan ajaran agama, maka artinya ada pelecehan hak asasi. Pelecehan hak asasi kebebasan beragama. Walaupun beragama, sejatinya manusia tetap bebas untuk mempraktekkan atau tidak mempraktekkan ajaran agamanya sendiri.

Seperti itu pengertiannya.

Joko Tingtong juga bilang, cukup aneh tidak ada yg tahu, bahwa orang-orang Eropa melakukan penyebaran agama di kalangan mereka yg masih beragama asli. Orang Maluku Selatan, orang Minahasa, orang Dayak, orang Nias, orang Batak, orang Toraja, orang Timor, orang Papua. Tempat-tempat yg sudah menganut Islam tidak disentuh. Bahkan Belanda melarang misionaris masuk ke Bali. Dan kebiasaan itu masih berlangsung sampai saat ini. Yg jadi sasaran penginjilan habis-habisan adalah keturunan Cina karena, ketahuilah, duitnya lumayan gede. Jadi, kalau mau bilang ada korban kristenisasi, harusnya yg menjerit adalah ulama-ulama Buddhist. Tapi ternyata tidak ada. Buat orang Buddhist, agama merupakan pilihan pribadi. Bagusnya, kristenisasi bukanlah westernisasi. Sejak awal, bahkan para misionaris sudah diberikan instruksi agar mualaf Kristen berorientasi kepada masyarakatnya sendiri. Orientasi lokal, dan bukan ke Eropa. Dan bukan berarti orientasi ke leluhur juga.
Leluhur kita tidak ada yg asli, kepercayaan leluhur kita juga campur aduk, banyak pengaruh India, Arab, dan Eropa. Mungkin orang Indonesia yg punya leluhur asli cuma orang Papua. Mereka etnik Melanesia, sama seperti orang Aborigine di Australia. Sedangkan kita yg lain beretnik Austronesia atau Melayu, banyak campuran lewat perkawinan, dengan pendatang dari benua Asia. Kepercayaan leluhur kita juga campuran, tidak asli. Pada pihak lain, kepercayaan leluhur orang Papua mirip dengan kepercayaan asal etnik Austronesia di Sulawesi dan Kalimantan. Mereka juga punya adat mengayau ke kampung sebelah. Harus potong kepala orang sebagai tumbal inisiasi. Adat seperti ini baru habis setelah dilarang total oleh orang Belanda. Dan setelah agama-agama masuk, terutama Islam dan Kristen. Tidak semua ajaran leluhur kita baik. Ada yg keterlaluan juga.
Ada kemungkinan adat mengayau di leluhur kita sebenarnya tidak juga asli, melainkan pengaruh dari praktek Tantra di Hinduisme. Dengan kata lain, pengaruh India. Lalu, apakah adat leluhur kita yg asli? Apakah cinta damai seperti diiklankan oleh para penjual leluhur? Joko Tingtong tidak percaya itu. Apapun alasannya, Joko berpendapat masyarakat Indonesia jauh lebih baik setelah agama-agama masuk. Hindu-Buddha, Islam dan Kristen. Ada ekses atau kelakuan ekstrim yg dibawa oleh agama-agama luar, dan kelakuan ekstrim itu perlu diluruskan dan ditinggalkan. Pada umumnya yg berupa pemaksaan. Termasuk pemaksaan agar penganut agama rutin sembahyang dan menjalankan ibadah puasa. Termasuk dorongan agar meningkatkan iman dan takwa yg disinyalir merupakan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Negara kok mendorong warganya untuk beriman dan bertakwa. Memangnya kita ini negara agama?

Tapi kita pada umumnya harus bersyukur karena sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelum agama-agama luar masuk. Umumnya lebih baik asalkan yg keterlaluan mulai disingkirkan.

Yg keterlaluan itu apa?

Yg keterlaluan adalah memaksakan pengertian sempit keagamaan terhadap mereka yg sudah tidak merasa cocok lagi. Agama baik pada masanya, dan menjadi tidak baik ketika masanya telah lewat. Kalau masanya lewat, dan mau dipaksakan, tentu saja jadinya tidak baik. Nenek saya pakai kain kebaya. Ibu saya pakai baju model Barat. Sekarang, apakah saya mau memaksakan istri saya pakai kain dan kebaya dengan alasan itu busana leluhur kita? Lebih diridhoi Allah? Joko merasa tidak pantas berbuat seperti itu. Busana perempuan adalah urusan kaum perempuan, apa yg mau mereka kenakan merupakan urusan mereka sendiri. Saya tidak mau ikut campur. Kalau ikut campur, jadinya seperti kasus di kesaksian berikut.

T = Mas Joko, saya mau curhat. Saya melepas jilbab saya setelah dua tahun mencoba ikut-ikutan memakai supaya sama dengan keluarga.Ternyata saya sangat merasa terkungkung, dengan pikiran saya yg tidak bisa menerima harapan/persepsi orang banyak terhada perempuan berjilbab. Lalu kemarin saya berargumentasi dengan suami teman saya (yg sedang saya jenguk setelah melahirkan), dia menyuruh saya segera menikah dlsb,  sampai kemudian membahas agama dan hadis-hadisnya. Saya kasihan dengan kepatuhan dan terkungkungnya cara berpikir dia terhadap perempuan, anak, pernikahan, agama. Oh dia tidak yakin bahwa setiap individu itu free dan ber-journey. Lalu setengah menahan emosi saya katakan: "Buat saya percuma beragama kalau cuma mengkotak-kotakkan manusia lalu merasa diri paling benar dan apalagi merasa berhak mengusir manusia lain dari muka bumi." Lalu saya resah/tadak enak dengan teman saya, dan terutama saya panik dengan kenyataan lingkungan saya masih mengutamakan dogma.Lalu malamnya saya mimpi, di antara puluhan manusia di ruangan, saya dan satu orang lagi (tidak kenal) dipilih untuk berperan dalam sebuah pentas, tanpa naskah tanpa latihan, untuk melawak/komedi; katanya inilah saat yg ditunggu-tunggu, dan semua orang di ruangan itu benar-benar sangat menunggu hiburan ini. Saya cuma bengong dan mikir mau melawak apa, tidak mau mengecewakan orang yg memilih saya. Apa ya korelasi mimpi saya itu, Mas?

J = Kalau anda mengikuti harapan orang, artinya anda melawak. Anda memilih untuk tidak jadi pelawak di kehidupan nyata. Dan diperlihatkan oleh alam bawah sadar anda, bahwa anda tidak mau melawak. Tapi orang-orang tetap mengharapkannya. Kalau anda tidak mau, bilang saja tidak mau.

It's your life.

Hidup anda sendiri.

by Leonardo Rimba (Notes)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar