25 Jun 2015

Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama

Sekitar 22 tahun silam Singapura melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah. Hasilnya, penduduk negara itu paling tertib, disiplin, dan paling toleran antar sesama warga, walau terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa, dan agama. Inilah sebabnya maka Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menegaskan ahwa pemerintahnya tidak akan mengijinkan pengajaran agama dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah.
PM Lee menegaskan bahwa 22 tahun silam, pemerintah di bawah kepemimpinan ayahnya—Lee Kuan Yew—sudah menetapkan bahwa agama adalah urusan pribadi dan bukan urusan sekolah. Keputusan ini diambil karena PM Lee Kuan Yew saat itu melihat bahwa pengajaran agama yang dilakukan di sekolah-sekolah telah menyebabkan penduduk semakin tercerai-berai dan bukan semakin bersatu membangun negeri pulau itu.
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
PM Lee Hsien Loong menegaskan kembali sikap ayahnya terhadap pengajaran agama ketika ia tiba-tiba ditanyai tentang sikap pemerintahnya terhadap pengajaran agama di sekolah. Pertanyaan itu datang dari seorang mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan asal Sri Lanka. Ia meminta PM Lee menjelaskan tentang kabar bahwa Singapura akan mengubah sikap terhadap pengajaran agama di sekolah. Terhadap pertanyaan itu, PM Lee menjawab, “Kami telah menetapkan bahwa Singapura adalah sebuah negara sekuler, karena itu maka agama merupakan suatu hal yang sebaiknya dibiarkan berada dalam kawasan pribadi.
Surat kabar Straits Times melaporkan bahwa dalam penjelasan yang disampaikan sebagai bagian dari rangkaian peringatan hari nasional negara tersebut, PM Lee sangat berhati-hati memilih kata-kata yang tepat untuk mempertahankan keseimbangan dan persatuan di negara yang multietnis dan multiagama itu. Ia berpendapat bahwa karena di Singapura ada banyak agama, maka urusan agama ditempatkan dalam kawasan pribadi masing-masing warga negara, sementara pemerintah bertugas menjaga keseimbangan melalui perangkat hukum yang tegas.
Pelajaran agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah di Singapura pada 1984 dan waktu itu setiap siswa diberi kebebasan untuk memilih satu dari pelajaran agama yang tersedia—yaitu Buddha, Islam, dan Kristen. Lima tahun kemudian, pemerintah Singapura mencabut semua pelajaran agama tersebut dari kurikulum karena terbukti bahwa pelajaran tersebut membuat para siswa semakin terpisah satu dengan lainnya. Ada guru yang mengajari siswa untuk mengikuti agama tertentu sehingga terjadi ketegangan di sekolah.
Sejak saat itu, pemerintah melarang pendidikan agama di sekolah-sekolah. PM Lee berpendapat bahwa melarang pelajaran agama di sekolah tidak akan menghambat penduduk Singapura untuk menjalankan agamanya masing-masing. Sikap ini terbukti benar. Singapura tidak lantas menjadi negara yang berpenduduk “kafir”. Sebaliknya, Singapura kini dikenal sebagai negara yang memiliki integritas tinggi di berbagai lini pergaulan antarbangsa.
Dalam hal kualitas dan integritas, lulusan perguruan tinggi Singapura bisa diacungi jempol. Dalam hal tatakelola pemerintahan, Singapura adalah negara paling bersih dan akuntabel di peringkat dunia. Dalam hal penegakan hukum, Singapura juga bisa dijadikan teladan karena hukumnya jelas dan konsistentidak tebang pilih. Hukum di Singapura tidak ambiguous. Karena pemerintah menetapkan Singapura sebagai negara bebas asap rokok, maka setiap bungkus rokok yang semuanya komoditas impor itu diberi gambar-gambar yang mengerikan agar perokok menghindarinya.
Kesehatan penduduk lebih penting daripada cukai rokok! Rakyat yang mati karena merokok lebih berharga dari cukai yang masuk ke kantong pemerintah. Itu sebabnya di setiap bungkus rokok ada gambar gusi berdarah-darah, paru-paru hancur, jantung terbakar, mulut terbalut kanker, dan banyak gambar lain yang amat mengerikan dan menjijikkan. Bahkan di kalangan terpelajar, perokok dianggap sebagai manusia yang “kurang beradab” alias rendah derajatnya. Siapa pun yang membuang puntung rokok sembarangan di jalan raya pasti dihukum.
Belajar dari cara Singapura memperlakukan agama
Negara yang secara tegas melarang pengajaran agama di sekolahnya itu telah berhasil mempraktekkan nilainilai agama dalam kehidupan nyata, menjaga kesehatan sebagai pemberian dari Tuhan Sang Pencipta, serta menjaga keharmonisan hidup bernegara walau terdiri dari banyak suku bangsa dan agama. Padahal PM Lee secara amat tegas katakan bahwa “Pemerintah tak boleh masuk ke kawasan agama dan agama tak boleh masuk ke kawasan Pemerintah’”.
Bagaimana dengan Indonesia?
Inilah satu-satunya negara di muka bumi yang memiliki Pancasila dengan “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Ribuan guru agama, ribuan lembaga keagamaan, ribuan sekolah berbasis agama, dan ribuan bahkan jutaan buku-buku tentang agama bertebaran di seantero negeri ini! Rumah-rumah ibadah kecil dan besar berada di seluruh pelosok negeri, acara dan ritual keagamaan tak henti-hentinya menghiasi kalender mingguan. Agama menjadi salah satu syarat mutlak yang dicantumkan dalam kartu tanda penduduk. Bahkan agama dijadikan daya tarik sejumlah partai politik—walau hal ini semakin tak laku dijual.
Menjelang 66 tahun merdeka, hasil apa yang dapat dipetik dari pengajaran agama di sekolah-sekolah Indonesia? Amat banyak hasil positif, tentunya. Tapi hasil negatif pun kian banyak dan memalukan. Korupsi, tipu daya, manipulasi, akal-akalan – atau apa pun namanya – merebak di di berbagai lembaga yang mestinya menjadi teladan dan simbol keberagamaan kita – mulai dari Kementerian Agama sampai Kementerian Pendidikan Nasional, kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, Mahkamah Agung, bahkan – ini yang paling parah – DPR yang merupakan lembaga terhormat itu dinyatakan sebagai lembaga terkorup di Indonesia!
Survey Kemitraan memperlihatkan lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup dibandingkan lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survey yang diberitakan Metro TV tersebut menjelaskan bahwa korupsi legislatif sebesar 78%, eksekutif 32% dan yudikatif 70%. Survey 2010 ini dilakukan di 27 propinsi di Indonesia. Target responden adalah anggota parlemen, masyarakat, kalangan pemerintahan, akademisi, dan media massa.
“Yang kami survey bukan orang sembarangan tapi orang-orang yang memang tahu dan paham soal instansi yang disurvey,” ujar spesialis pendidikan dan pelatihan Proyek Pengendalian Korupsi Indonesia, Laode Syarif.
Di negeri ini orang taat beragama, kecuali bila berjumpa dengan proyek.

20 Jun 2015

PROPOSAL MUSYAWARAH ADAT MARORI-KENUME MERAUKE


LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Ketika mengunjungi kampung-kampung di pedalaman Merauke, kita bisa menemukan begitu banyak hal. Setiap hal bisa mengandung masalah. Masalah yang membuat prihatin adalah bahasa. Bahasa adalah sesuatu yang menarik untuk dipelajari dan dipahami dengan baik karena sebagian dari pengetahuan lokal diwariskan melalui bahasa. Pewarisan budaya adalah sesuatu yang penting untuk dipikirkan dengan baik sehingga setiap orang mengambil bagian dengan cara mereka sendiri. Melalui pewarisan seperti ini budaya lokal akan tetap lestari dan bahkan berkembang.

Ada banyak hal terkait dengan transfer pengetahuan lokal, terutama bahasa dan penggunaannya. Apabila kita berkunjung ke Desa Onggaya dan Tomer, misalnya, dari 105 orang penutur bahasa, hanya 5 orang yang menguasai bahasa asli. Atas dasar tersebut, Musyawarah Adat Merauke dengan topik bahasa, tantangan dan harapan masa depan menjadi penting untuk dilaksanakan. Urgensi pelaksanaan Musyawarah Adat Merauke difokuskan untuk mengakomodasi penyelamatan bahasa lokal melalui duduk adat dengan tema: “Bahasa, Tantangan dan Harapan Masa Depan”.


Melestarikan budaya dan bahasa Marori-Kanum di Merauke sebagai landasan spiritual bagi kiprah penduduk Merauke masa kini yg, seperti juga masyarakat di seluruh bagian Indonesia, tidak bisa diputuskan begitu saja dengan latar belakang adatnya.

Bahkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu tetap berkembang sejalan dengan meningkatnya kecerdasan berbangsa, dikembangkan di seluruh Indonesia oleh pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan, terutama di perguruan tinggi. Bahasa dan adat kedaerahan dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri dibantu oleh berbagai pihak yg merasa terpanggil. Ada yg sudah berjalan dengan begitu baiknya seperti di Jawa Bali. Ada pula yg masih tersendat atau boleh dikatakan belum dimulai seperti di Merauke.

Peneliti dari Australia dan negara-negara lain sudah menyatakan bahwa ada bahasa yg hampir punah di Merauke. Penelitiannya cukup gencar sampai kini. Tetapi perhatian pemerintah terasa kurang memadai, seakan dianggap bahwa bahasa asal sebagai pembawa nilai-nilai adat akan direlakan begitu saja menjadi bagian masa lalu. Atau dibiarkan untuk beradaptasi secara alamiah walau mungkin akan punah apabila tidak terhindarkan. Tapi kepunahan bahasa asal di Merauke masih bisa dicegah apabila pihak-pihak terkait mau turun membantu.

Merauke bukan Jawa Bali yg memang sudah ratusan tahun mandiri dan mampu mengembangkan bahasa dan budayanya sendiri. Merauke adalah “anak bungsu” dalam keluarga Indonesia. Masih kekurangan dalam banyak hal dan tidak malu untuk minta bantuan. Walau belum tentu diperoleh karena kita semua tahu banyak kecurigaan terhadap kegiatan dengan inisiatif sendiri di Papua.

Makanya Komunitas Spiritual Indonesia sebagai suatu paguyuban berskala nasional berusaha mengangkat Merauke. Dan merasa bahagia melihat Presiden Jokowi telah mengambil langkah tegas mengangkat Ketua Lembaga Masyarakat Adat Papua, Lenis Kogoya, sebagai penasehat khusus presiden. Dengan tekad Bapak Lenis Kagoyo menjadikan adat Nusantara sebagai dasar berbangsa, maka kami mulai melangkah kembali walaupun sudah sempat tersendat selama ini.


Mungkin cuma mereka yg duduk di Lembaga Masyarakat Adat Papua yg bisa mengerti bagaimana parahnya pengembangan budaya lokal di Papua. Dengan situasi penuh kecurigaan antar wilayah dan suku. Politik yg penuh intrik. Indonesia pada umumnya menganggap seolah Papua dan Merauke pada khususnya sudah berlebihan karena dianggap “kaya raya”. Kenyataannya bahkan pakaian layak pakai yg dikumpulkan sendiri oleh Komunitas Spiritual Indonesia selalu diterima dengan gembira di kampung-kampung di Merauke. Dikumpulkan sendiri dari seluruh Indonesia, khusus untuk dibagikan di Merauke.

Apalagi upaya mengangkat budaya dan bahasa asli dalam Musyawarah Adat Merauke yg baru pertama-kalinya akan dilaksanakan ini. Ketua panitia Agustinus Mahuze di Merauke sudah turun ke akar rumput, mensosialisasikan sekaligus mencari masukan dari para tetua adat. Dan tanggapannya sangat positif. Masyarakat hampir tidak percaya hal ini bisa dilakukan. Mengingat begitu besarnya rasa saling curiga dan ketidak-mampuan material dari anggota-anggotanya. Ditambah dengan ketidak-mampuan menyuarakan aspirasi. Seolah segalanya baik-baik saja dan tidak memerlukan perhatian.


Bantuan konkrit diperlukan, sebagai bagian dari upaya memberikan rasa percaya diri kepada masyarakat. Dan kali ini melalui Musyawarah Adat dimana akan dilakukan ritual asli. Seperti potong babi dan pengumpulan lauk-pauk seperti sagu yg dilakukan sendiri oleh para pesertanya. Melaksanakan ritual adat asli Merauke bukan berarti masyarakat tidak beragama. Karena ini semua adat. Ada makna simboliknya ketika peserta berkumpul pertama-kali dan mulai membagi tugas. Siapa mengumpulkan apa, siapa membawa apa, dan nanti ketika berkumpul akan membicarakan apa? Apa langkah konkrit setelahnya? Hal-hal yg bisa dilakukan ketika Musyawarah Adat telah selesai. Bisa penanaman pohon demi penghijauan Merauke. Seperti kali ini, panitia akan membagikan bibit pohon kemiri untuk dibawa pulang dan ditanam oleh 1500 orang peserta di tempat masing-masing.

Satu contoh konkrit seperti penanaman pohon yg bisa dihasilkan lewat Musyawarah Adat Merauke akan memerlukan pembahasan dan diskusi terus-menerus demi realisasi contoh-contoh konkrit lainnya. Tetapi Musyawarah Adat ini pembukanya. Diharapkan dengan telah dilaksanakannya ritual adat menyeluruh, maka segala hambatan psikologis akan hilang.


Musyawarah Adat hanyalah sarana untuk memperkokoh landasan lokal dalam berkembang seirama dengan bagian-bagian Indonesia lainnya. Maka dari itu Yayasan Lentera Kasih Maro Merauke yg diketuai oleh Veni Frances akan memberikan pelatihan kesehatan kepada seluruh peserta selama acara berlangsung di 8 (delapan) kampung selama 2 (hari) pelaksanaan. Pelatihan kesehatan yg disesuaikan dengan kondisi setempat karena yayasan sudah berpengalaman tahunan di bidangnya, mengelola sebuah sekolah kebidanan di Merauke yg juga sudah menghasilkan banyak lulusan.


http://infopublik.id/read/87611/akbid-yaleka-maro-merauke-wisudakan-56-mahasiswi.html


Peserta cuma 1500 ratus orang mengingat jarangnya penduduk Merauke dan tempat-tempat tinggal yg berjauhan. Tetapi gemanya tentu jauh lebih besar dari itu. Satu Merauke akan tahu bahwa keran komunikasi antar kampung dan anak-anak suku telah dibuka. Keran dengan masyarakat-masyarakat adat di bagian Indonesia lainnya akan terbuka karena acara ini didukung penuh oleh Komunitas Spiritual Indonesia, suatu paguyuban non formal berbasis internet yg secara terus menerus melakukan sarasehan atau temu darat di Jawa, Bali dan Sumatera. Tanpa henti sepanjang tahun dengan berbagai topik.

Komunitas Spiritual Indonesia adalah paguyuban terbuka berbasiskan internet, dengan portal komunikasi utama bernama group Spiritual Indonesia di facebook, group spiritualitas umum berbahasa Indonesia yang terbesar https://www.facebook.com/groups/spiritual.indonesia/
Musyawarah Adat Merauke jelas cuma pembuka. Bukan setelah itu segalanya ditinggal.

Saat ini Komunitas Spiritual Indonesia dengan para relawannya berusaha mengangkat Merauke dengan cara mencari dana di Jawa Bali. Bertemu dengan pihak-pihak yg mungkin tertarik untuk membantu tanpa pamrih. Pelaksanaan acara di Merauke sendiri dipegang oleh panitia setempat, melibatkan para tetua dan anggota-anggota masyarakat adat. Menggunakan adat asli setempat yg mungkin pernak-perniknya tidak dimengerti oleh bagian-bagian lain Indonesia. Tetapi tetap dihargai dan dijunjung tinggi di tempat aslinya. Itulah yg mau kita lestarikan. Demi masa depan yg lebih sejahtera, sederajat, bermartabat. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi demi masa kini dan masa depan.


VISI DAN MISI


VISI: Membangkitkan rasa percaya diri kepada masyarakat adat di Merauke sehingga tidak merasa tertinggal dengan masyarakat-masyarakat adat di seluruh bagian Indonesia lainnya, terutama di Jawa Bali, yg sudah secara terus-menerus mengembangkan dan mengkaji ulang warisan budaya mereka. Bahasa dan kesenian. Model-model komunikasi antara berbagai pelaku adat. Jenis-jenis solusi dari berbagai konflik. Semuanya hanya bisa dilakukan apabila telah ada suatu “pendobrak” kebekuan yg menggugah kesadaran masyarakat bahwa hal seperti ini wajar dan bukan sesuatu yg perlu ditakutkan. Adat lokal dan bahasanya adalah hal yg hidup. Bukan mati dan berada di masa lalu. Tetapi berada di masa kini dan berkembang terus. Sejalan dengan kemajuan pemikiran pemakainya sendiri.


MISI: Membangkitkan kembali fungsi tetua adat dan berbagai perangkatnya sebagai fokus komunikasi informal antar warga, yg walaupun ada terasa semakin terpinggirkan karena masyarakat merasa gamang dengan sinyal-sinyal yg diberikan oleh pemerintah dan bagian-bagian Indonesia lainnya. Di satu pihak adat lokal diberikan nilai tinggi secara verbal, dianggap patut dan pantas dilestarikan.
Di lain pihak secara sembunyi-sembunyi disuarakan kekuatiran bahwa akan terjadi penyempalan atau pemisahan diri. Baik bersama maupun sendiri-sendiri. Suatu hal yg seharusnya tidak perlu apabila ada rasa saling percaya yg mau tidak mau harus dibuka sedikit demi sedikit. Tidak bisa sekejap. Merauke sendiri harus membuka diri ke dalam lewat ritual adatnya, menghapuskan sisa-sisa kecurigaan antar sesama penduduk Merauke sendiri. Antara Merauke dengan Papua mungkin cukup diberitakan bahwa telah ada ritual "pembersihan” adat di Merauke. Dan hal ini akan bisa memunculkan aspirasi serupa.
 Kalau Merauke bisa tentu saja bagian-bagian Papua lainnya juga bisa. Kalau wilayah-wilayah Indonesia lainnya sudah memberikan nilai tinggi kepada adat lokal tentu saja Papua dan bagian-bagiannya juga bisa. Tanpa perlu ada kecurigaan bahwa ini bagian dari upaya meminggirkan agama. Atau upaya politisasi akar rumput menuju entah apa lagi imajinasi yg ada di kepala para provokator.
Setelah komunikasi terbuka melalui Musyawarah Adat Merauke diharapkan segala bantuan konkrit dari luar akan mudah diterima dan dilaksanakan dengan sukarela dan sepenuh hati. Kita bisa ambil contoh penanaman pohon untuk mengatasi kegersangan, pelatihan tenaga kerja, lokakarya pembuatan perkakas rumah tangga. Banyak hal bisa dilakukan setelah para tetua adat menjalankan fungsi naturalnya yg selama ini terabaikan.


TUJUAN KEGIATAN


1. Memberikan wawasan baru tentang ancaman terkait menurunnya jumlah penutur asli (native speaker) terhadap bahasa-bahasa yang ada di wilayah Sendawi.

2. Membangun prototype penyelamatan bahasa lokal melalui pengembangan rumah adat dan bahan ajar lokal melalui simposium ketua adat beserta tetua adat di kampung.

3. Membangun sinergi antara pemangku kepentingan yang memiliki tanggung jawab dalam penyelamatan aspek budaya ini.

4. Memperkenalkan tindakan konkrit lainnya selain penyelamatan bahasa yg bisa dilakukan langsung oleh penduduk. Antara lain penanaman pohon kemiri untuk penghijauan Merauke dan pelatihan kesehatan kepada seluruh peserta.






SASARAN KEGIATAN

1. Para kepala suku yang terdiri dari Kepala Suku Marori, Kanum di Wilayah Sendawi, Merauke, Papua (Taman Nasional Wasur Merauke Papua).

2. Para ketua marga yang terdiri beberapa marga yang ada di dalam kawasan atau wilayah Sendawi, Malind, Merauke.

3. Anggota masyarakat adat yg perduli dan merasa tertarik untuk berpartisipasi aktif.


TOPIK KEGIATAN

1. Pelestarian bahasa dan adat istiadat lokal.

2. Pengembangan rumah adat sebagai media atau tempat belajar.

3. Hak kesulungan dan relevansinya.

4. Hal-hal konkrit yg bisa langsung dilaksanakan. Jenisnya bisa bermacam-macam. Kali ini akan dilakukan penanaman pohon kemiri dan pelatihan kesehatan.


RENCANA ANGGARAN

1) Rencana anggaran ini merupakan keseluruhan anggaran yang akan digunakan di dalam kegiatan Musyawarah Adat Marori-Kenume Merauke (terlampir).

2) Dana donasi yg masuk ditampung di
Bank BRI, Cabang Merauke,
No. Rek. 035201001041303
Atas nama Yayasan Lentera Kasih Maro Merauke

Alamat yayasan: Jl. Polder Dalam 3 No. 35, Merauke, Papua.


PANITIA PENYELENGGARA

Penyelenggara lapangan adalah Komunitas Spiritual Indonesia Regional Papua
Penasehat : FX Sirfefa (Anggota DPRD Merauke)
Ketua Panita : Agustinus .Mahuze, S.Pd
Sekretaris : Dominikus Futunanembun
Bendahara : Emanuel Mahuze (Tetua Adat Suku Marind )
Kordinator : Wilhelmus Salke Gebze ( Lembaga Masyarakat Adat Marori)

Pelatihan kesehatan oleh para relawan dari Yayasan Lentera Kasih Maro Merauke
Ketua : Veni Frances
Sekretaris : Katrin
Bendahara : Yuliana Yacinta Kainde

Pencaharian dana oleh relawan Komunitas Spiritual Indonesia di Jawa Bali
Moderator Komunitas Spiritual Indonesia : Leonardo Rimba (Jakarta)
Humas Komunitas Spiritual Indonesia : Rara Wulandari (Jakarta)
Ketua Komunitas Spiritual Indonesia Bali : Agus Januraka (Denpasar)
Bendahara Komunitas Spiritual Indonesia Bali : Ni Nengah Hardiani (Denpasar)

HARI, TANGGAL DAN WAKTU KEGIATAN

Kegiatan akan dilaksanakan dua bulan setelah dana diterima dari donator. Secara tentatif panitia menetapkan pelaksanaan pada tanggal 29 dan 30 Agustus 2015, yaitu hari Sabtu dan Minggu. Pembukaan di Kampung Wasur, Merauke, Papua.



PEMBAWA MATERI ACARA

1. Yeremis Ndimar ( Ketua adat Kenume – Merauke )
2. Wilhelmus Salke Gebze ( Ketua adat Marori – Kenume Merauke )
3. Daud Holengger (Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Merauke)
4. Dan banyak lagi lainnya, termasuk yg mungkin disodorkan oleh pihak donatur.

CONTACT PERSONS

1. Agustinus Mahuze (Merauke), No. HP 082398474466.
2. Rara Wulandari (Jakarta), No. HP 087875734358 dan 081223290688

sumber:  https://word.office.live.com/wv/WordView.aspx?FBsrc=https%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Fattachments%2Ffile_preview.php%3Fid%3D1684003135163654%26time%3D1434862419%26metadata&access_token=100004031125378%3AAVIIwjFy3KQSt0zJWCcKZX_F8z4D84oimrMv5u4h0rhkfw&title=ProposalMerauke5.doc