23 Jul 2013

Compang-Camping

Saya bingung ada yg minta maaf karena Ramadhan sebentar lagi tiba. Emangnya salah apa, ketemu aja belom pernah, dan I am not sexually attracted to the person. Biarpun minta maaf tidak akan mengubah my opinion of him/her karena hati saya sudah tertambat pada seseorang yg memakai agama sebagaimana layaknya pake sepatu which is diinjek aja. Mustinya emang begitu.
Agama is sepatu kita, pakenya harus diinjek-injek sambil jalan. Kalau the sepatu tidak diinjak maka kita tidak akan bisa jalan. Kita akan diam saja dan merenung: Oh sepatu, betapa indahnya engkau, tanpamu aku tidak akan bisa jalan, denganmu aku akan bisa melanglang buana kemanamana, even dari Kutub Utara sampe Kutub Selatan. Tetapi the shoes tetap akan diam saja. Persis seperti ketika kita mengajak bicara agama yg akan selalu diam seribu bahasa betapapun dipuja-puji setinggi langit. Sebagai perangkat eksternal dari tubuh manusia, agama memang harus dipakai. Kalau diumpamakan sebagai sepatu maka dipakainya harus diinjak. Kalau tidak diinjak maka tidak akan bisa jalan. Sayangnya banyak orang yg menunjung sepatu itu tinggi-tinggi di atas kepala mereka. Katanya itu sepatu suci sehingga tidak boleh diinjak, tidak boleh dipakai.
Sepatu kok dijunjung di atas kepala? Kalau dijunjung di atas kepala berarti kitalah yg akan menjadi budak dari sepatu itu. Sepatu akan menjadi tuan dan kita menjadi hambanya. Bukan sepatu menjadi perangkat bagi kita, kita malahan menjadi hamba sahaya dari sang sepatu.
Kemana-mana kita akan membanggakan sepatu kita yg menurut kita begitu indahnya.

Can you imagine, beban hidup kita sudah begitu banyak, tetapi kita dengan mantapnya menjunjung sepatu kita tinggi-tinggi di atas kepala karena kita dijanjikan oleh pabrik pembuat sepatu bahwa kalau sepatu itu bisa kita angkat terus kemana-mana dengan takwa seumur hidup, maka kita akan masuk ke dalam Sorga? Sorga para pembuat sepatu? Ada pula seorang teman yg meng-ibaratkan agama sebagai underwear atawa celana dalam yg gak perlu dipamerin. Kalo gak pake celana dalam jalan akan semriwing, katanya. Hmmm,... good point, said I to the friend.

Cuma dia belom tau aja bahwa saya pernah eksperimen jalan-jalan tanpa celana dalam dan itu oke saja. Rasanya ringan en lucu. Asal tidak ada makhluk imoet imoet alias very cute, it's ok untuk jalan-jalan without celana dalam. Kalo ada makhluk yg membuat saya tertarik secara seksual barulah jalan-jalan without underwear akan menjadi masalah karena my burung akan mulai bersiul-siul.

Agama sebagai sepatu dan celana dalam adalah analogi dari pengertian sesungguhnya bukan untuk dipamerkan tetapi untuk dipakai. Analogi lainnya adalah agama sebagai pakaian.
Gunanya ya untuk dipakai saja dan bukan untuk dipuja-puji setinggi langit. Kalau mau dipakai bisa, dan kalau tidak mau dipakai juga bisa. Bisa disimpan saja, bisa dijual ke tukang loak, bisa disumbangkan kepada anak yatim, bisa dibuang. Dan itu bisa saja karena kita memiliki banyak pakaian yg bisa kita pakai berganti-ganti. Agama is sepatu, celana dalam or pakaian. Gunanya untuk dipakai supaya kita tidak telanjang, supaya kita bisa jalan kemana-mana, dan supaya kita bisa action juga. Waktu action, kalo bajunya bagus maka orang akan senang melihatnya. Kalo bajunya compang camping, ngeliatnya risih juga. Tapi biasanya kita akan diam saja karena orang yg bajunya compang camping itu justru yg paling sombong.

"Baju saya sempurna," begitu kata orang itu dengan pongahnya. Dia merasa baju orang lain jelek luar biasa. Pedahal yg orang lain pakai adalah baju-baju import dari New York, Tokyo, Paris. Sebenarnya baju compang camping dari orang itu bisa dibuang saja dan orangnya akan bisa memperoleh baju lebih bagus dari orang lain yg kasihan melihatnya. Minta dari saya juga bisa, it's free. Tapi orang itu akan bertahan bahwa dirinya akan masuk ke dalam Sorga, in this case Sorga pembuat baju. Ada Sorga pembuat sepatu, ada Sorga pembuat underwear, dan ada Sorga pembuat baju. Dan para pembuat sepatu, underwear dan baju ini akan selalu khotbah bahwa produk mereka tidak boleh dipakai. Dan harus selalu dijunjung tinggi di atas kepala.
Kalau bajunya dipakai sebagaimana layaknya baju asli, maka akhirnya akan kelihatan belangnya, yaitu compang camping.

(sumber: salah satu e-book tulisan LR.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar