20 Jul 2013

Sedulur Papat Kalima Pancer

S: Mau tanya soal sedulur papat kalima pancer, boleh tahu bagaimana cara mengaktifkannya?

L: Itu simbol saja. Udara, air, api, dan tanah. Udara itu mata ketiga. Air itu dimensi emosi atau hubungan antar manusia, letaknya di dada. Api itu dimensi fisik dan tenaga fisik, letaknya di pusar. Tanah itu dimensi naluri dan berkaitan dengan hormon-hormon tubuh, letaknya di cakra seks.

Kalau pancer adalah kesadaran (consciousness) yang kita miliki. Bisa juga disebut aura kalau mau dikaitkan dengan sesuatu yang bisa dilihat. Jadi, kalau auranya butek berarti kesadarannya lagi butek. Begitu saja, simpel. Semua sudah berjalan, kan? Apa lagi?

S: Selama ini Mas, kan mengaktifkan MK3 atau udara, bagaimana yang lain? Bukankah semua harus diseimbangkan?

L: Ya, jalan sendiri. Biasanya semua itu sudah berjalan kecuali mata ketiga. Jadi aku yang paling akhir. Setelah itu, semuanya akan bergerak untuk mencari keseimbangan baru. Secara otomatis. Memang perlu waktu, perlu dijalani. Yang penting sudah dipicu.

Orang-orang itu bukan kekurangan naluri atau insting. Naluri kita itu seabrek-abrek, yang kurang itu intuisi. Trigger (faktor pemicu) itu pencetus, pemulai, awal. Kalau pakai naluri saja, orang-orang akan penuh ketakutan, kecurigaan, paranoia. Intuisi itu kebalikannya. Jadi, kita harus mengajarkan intuisi, bukan naluri.

Kelakuan yang hantam kanan-kiri dan saing-saingan antara sesama teman tidak perlu diajarkan lagi. Semua orang sudah lihat buktinya dimana-mana sikap egois seperti itu. Naluri itu tidak punya akses energi. Energinya dari mata ketiga, kalau itu dipakai. Kalau mata ketiganya tertutup rapat, dia cuma bisa nyolong energi dari orang lain.

Nah, sedulur papat kalima pancer itu sudah ada di diri kita. Kalau kita mau ikhlas dan pasrah, semua akan berjalan dengan sendirinya. Ada tubuh fisik (api), emosi-emosi (air), intuisi (udara), naluri (tanah), dan kesadaran (roh).

Yang jadi masalah adalah kalau orang-orang itu ngotot mempertahankan salah satu dimensi saja untuk hidup. Jadinya adalah imbalance (ketidakseimbangan). Contoh, yang memegang intuisi saja dan tidak mempedulikan dimensi lain dari dirinya juga tidak balanced (seimbang). Itu nanti seperti pertapa yang hidup di gua, puluhan tahun bertapa saja. Memang intuisinya kuat, tetapi tidak manusiawi juga, kan? Masih manusia hidup, kok puluhan tahun bertapa dan jadi kurus kering seperti itu.

Dan yang mementingkan emosi-emosi atau belief system semata juga tidak karuan. Emosi-emosi itu mengikuti belief system, sedangkan belief system diciptakan oleh masyarakat manusia juga. Ada masanya belief system tertentu dipakai. Dan ada masanya dibuang dan diganti dengan yang lebih relevan. Sekarang, misalnya, belief system tentang dominasi laki-laki sudah kadaluwarsa. Yang lebih relevan adalah kesetaraan gender. Mereka yang masih memegang belief system dominasi laki-laki akan mengalami gonjang-ganjing emosi karena yang dialaminya itu bertentangan dengan belief system yang dianutnya. Akhirnya jadi uring-uringan terus. Yang salah siapa? Well, kalau ada seperti itu, coba diurai lagi belief system-nya. Perlu ada penyesuaian supaya menjadi seimbang.

Kalau memegang tubuh fisik saja akhirnya menjadi seperti seorang model. Tubuh oke, tapi otak tidak oke. Tidak bagus juga seperti itu. Yang memegang naluri saja akhirnya menjadi seperti hewan. Sedikit-sedikit takut, sedikit-sedikit parno, maunya segalanya terjamin. Asal kehidupannya terjamin secara fisik, itu sudah cukup. Persis seperti kucing dan anjing. Makan, minum, seks, kawin, dan mati. Itu sudah cukup buat naluri. Tapi kita kan manusia multidimensional. Lagi pula, kalau naluri saja yang dipentingkan, jadinya sikut sana, sikut sini. Seperti di hutan, saling memangsa, saling rebut sumber makanan.

Nah, kalau sedulur papat, itu ada di manusianya. Pancer-nya adalah kesadaran (consciousness). Pencerahan itu terjadi dikesadaran manusia, bukan di tubuh fisik. Sebenarnya di dimensi intuisi juga, tapi anggaplah di dimensi intuisi yang lebih tinggi. Kalau kesadarannya tinggi, bisa terlihat sebagai aura yang bagus. Kalau jelek, auranya butek. Bahkan dari kata-kata dan energi yang dipancarkan seseorang, baik lisan maupun tulisan, otomatis kita bisa merasakan pancer orang itu. Paham, kan?


(Membuka Mata Ketiga, Leonardo Rimba, Penerbit Dolphin, 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar