1 Jun 2013

Guru Mursyidnya Joko adalah Syekh Abdul Qadir Jaelani

Ada malaikat datang ke hadapan Joko Tingtong, dan bertanya: Apa arti tanggung-jawab dalam kehidupanmu?



Joko jawab: Tanya itu kepada diri anda sendiri. Kalau anda bertanya kepada saya, maka segalanya akan terbalik. Kehidupan saya adalah kehidupan saya sendiri, dan tidak ada urusannya dengan anda. Tangung-jawab dalam kehidupan anda harus anda tanyakan kepada diri anda sendiri.



Sang malaikat melanjutkan bertanya: Apa saja yang harus dipertanggung-jawabkan dalam kehidupan ini?



Joko jawab: Tanya itu juga kepada diri anda sendiri. Apa saja yg harus anda pertanggung-jawabkan dalam kehidupan ini ditentukan oleh anda sendiri. Kalau anda mau bertanggung-jawab kepada Allah, maka itu merupakan urusan anda sendiri. Kepada Allah jenis apapun juga tergantung anda sendiri.



Pertanyaan berikut: Apakah setiap manusia harus memikul tanggung-jawab yang sama?



Jawab Joko: Setahu saya tidak sama karena kita terutama berbicara tentang domain pribadi disini. Dan apa saja yg ingin anda masukkan ke dalam konsep anda tentang tanggung-jawab diri anda haruslah anda sendiri yg menentukan. Mungkin seharusnya anda menggunakan istilah pertangung-jawaban dan bukan tanggung jawab. Pertanggung-jawaban adalah accountability dalam bahasa Inggris, dan biasanya itu diartikan sebagai pertanggung-jawaban terhadap Allah, terhadap masyarakat, terhadap diri pribadi.



Pertanggung-jawaban seperti itu harus diputuskan oleh kita sendiri juga, sampai sejauh mana kita mau bilang bahwa kita bertanggung-jawab (accountable). Tetapi tentu saja pengertian seperti yg Joko peroleh tidak muncul dalam semalam. Ada berbagai macam cara memahami ketuhanan dan turunannya berupa rasa tanggung-jawab pribadi, salah satunya melalui laku disiplin menggunakan berbagai macam amalan untuk wirid. Syekh Abdul Qadir Jaelani muncul di hadapan Joko bertahun-tahun lalu ketika dia wirid menggunakan tasbih 99 biji. Kalau mau disebut mursyid saya, that's him, kata Joko.



Guru mursyidnya Joko adalah Syekh Abdul Qadir Jaelani.



Tapi wajahnya ramah sekali dan tubuhnya besar, pakaian dan tutup kepalanya serba putih. Jadi tidak seperti yg diperlihatkan dalam gambar yg banyak dipajang itu.



Mulanya Joko kaget sekali ketika penglihatan itu muncul ketika dirinya sedang wirid. Joko pikir, kok ada bule tiba-tiba muncul di hadapan saya? Karena saat itu Joko menggunakan amalan yg dipercaya berasal dari Syekh Abdul Qadir, akhirnya Joko bilang bahwa itu Syekh Abdul Qadir Jaelani.



Bisa saja itu orang lain, mungkin Hamzah Fansuri dari Aceh. Alirannya kurang lebih sama. Dan sama juga dengan aliran para sufi lainnya seperti Al Hallaj dan Syekh Siti Jenar.



Yg penting, kita akhirnya sadar bahwa dzat yg dihebohkan itu ternyata cuma kesadaran yg ada di diri kita sendiri saja. Dzat itu kesadaran saya, kesadaran anda, dan kesadaran siapapun yg mau menerima bahwa dirinya merupakan bagian dari All That Is. Atau Allah.



Tidak usah takut dengan apa yg muncul tiba-tiba ketika sedang wirid. Latar-belakang saya wirid, kata Joko Tingtong, sampai sekarang saya masih pakai Al Fatihah walaupun tidak menggunakan tasbih lagi. Saya bilang saya meditasi, pedahal yg saya lakukan wirid juga.



Tetapi sekarang saya tahu di mana kiblat yg asli itu, yaitu di Cakra Mata Ketiga. Kita cukup melihat ke arah 45 derajat ke atas, dengan mata terpejam atau setengah terpejam. Dan ternyata kiblat itulah yg tidak pernah diajarkan oleh para mursyid secara langsung. Kita harus menjalani laku wirid atau meditasi dengan tekun sampai bisa menemukan titik kiblat yg pas.



Saya dapat sendiri titik itu setelah bertemu dengan berbagai mursyid, termasuk Dewa Ganesha yg muncul tiba-tiba di hadapan saya sebelum penampakan yg saya sebut sebagai Syekh Abdul Qadir. Ganesha dan Syekh Abdul Qadir munculnya di depan saya. Yg munculnya di atas kepala saya justru seorang bodhisatva, namanya Dewi Kuan Im. Ini semua simbol saja, bisa diartikan juga asal kita tidak takut.



Semuanya manifestasi dari All That Is. Allah.



Terakhir muncul Yesus, sehabis Joko pulang menghadiri ceramah tentang Syekh Siti Jenar di tempat Achmad Chodjim. Semuanya simbol saja, tidak usah takut. Mereka cuma simbol saja, simbol dari kesadaran yg ada di diri kita juga.

Dan karena ini hari tanggal 1 Juni 2013 adalah hari lahir Pancasila, maka Joko menubuahkan kata-kata berikut, semoga bisa dimengerti:

Ideologi Pancasila bukanlah buatan Sukarno, melainkan hasil rekayasa Orde Baru. Ideologi Pancasila adalah ideologi fascist rejim ekstrim kanan Orde Baru. Segila-gilanya Sukarno, tidak pernah gila Pancasila. Dan itu Sultan Hamid dari Pontianak yg merancang simbol Garuda Pancasila adalah seorang liberal. Berpendidikan Belanda, beristrikan perempuan Belanda, dan anak-anaknya sekarang tinggal di Belanda. Kalau anda cinta Pancasila, kembalilah kepada Pancasila yg asli. Seperti dikonsepkan oleh Sukarno dan divisualisasikan oleh Sultan Hamid. Dua orang ini membawa Pancasila masuk ke dalam alam bawah sadar bangsa Indonesia. Pancasila adalah kemampuan berpikir bebas, sama sekali tidak fascist, melainkan cenderung kiri dalam sikap politik. Kiri artinya revolusioner, yg diseimbangkan dengan kanan atau konservatisme Belanda. Sukarno beraliran kiri, dan Sultan Hamid beraliran kanan.

Bukan komunis, itu jelas. Dan bukan pula fascist seperti Orde Baru.

Joko Tingtong lahir di Jakarta, keturunan Sulawesi, tapi lebih merasa jadi orang Jawa. Orang Sulawesi kan jarang. Bisa dimengerti bicaranya, dengan aksen khas seperti Abraham Samad, ketua KPK. Joko bilang, itu ketua KPK kok seperti kakek saya? Nama kakek saya juga Abraham. Tembak langsung dari Poso, Sulawesi Tengah.

Di Poso ada yg namanya Jembatan Tentena, salah satu jembatan antik di Indonesia, total terbuat dari kayu, panjang sekali, entah berapa ratus meter, berdiri di atas danau ketiga terbesar di Indonesia, yaitu Danau Poso. Jembatan ini arsiteknya kakek buyut saya, kata Joko. Menikah dengan nenek buyut saya yg namanya Halimah. Lalu mereka jadi Kristen, bikin heboh satu Poso.

Mungkin atas saran orang Belanda, nama nenek buyut Joko diganti menjadi Caroline. Meninggal di Jawa, tidak berani pulang ke Poso. Kakek buyut Joko pulang, meninggal disana, dan berpesan agar dimasukkan tanah untuk bantal di dalam peti matinya, sebagai pengakuan bahwa dirinya pernah menjadi Muslim. Penduduk Poso memang fifty-fifty antara Kristen dan Islam. Di satu keluarga, ada yg Kristen dan ada yg Islam. Bisa pindah agama seperti buyut Joko. Membuat skandal yes, tapi bukan kerusuhan. Setahu Joko orang Poso tidak fanatik, masih banyak yg percaya takhayul, ilmu nenek-moyang. Baik Kristen maupun Islam sama-sama pegang ilmu leluhur. Cuma jadi runyam akhir-akhir ini saja, karena ada orang luar masuk dan memprovokasi.

It's too bad!

Menurut Joko Tingtong, yg jadi pertimbangan untuk menyulut Poso adalah komposisi penduduk. Kalau komposisinya separuh-separuh antara Kristen dan Islam, maka bisa disulut. Disulut dan dikobarkan menjadi api. Yg komposisinya fifty-fifty cuma ada dua kota di Indonesia, yaitu Ambon dan Poso. Tidak ada sumber daya alam yg diperebutkan di Poso. Mereka masih miskin. Kakek buyut Joko masih mending dulu, dididik dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Singapore; termasuk yg paling berpendidikan saat itu sehingga bisa membangun Jembatan Tentena. Orang kira itu buatan Belanda, pedahal arsiteknya pribumi. Aslinya orang Gorontalo, mungkin yg asli Poso nenek buyut Joko. Konon bergaulnya dengan orang-orang di Kampung Arab di Poso. Mungkin nenek buyut saya keturunan Arab, kata Joko Tingtong.

Who cares? Saya keturunan macam-macam.

{Leonardo Rimba Kedua (Notes)}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar