31 Mei 2013

Penghargaan Lembaga Yahudi untuk SBY

Dua hari lalu, Joko Tingtong lihat di TV, tayangan kantor ACF (Appeal of Conscience Foundation), yg memberikan penghargaan "kebebasan beragama" untuk SBY.



Joko lihat, kok ada orang Yahudi? Lalu cek di google, ternyata ini lembaga didirikan oleh seorang rabbi Yahudi bernama Arthur Schneier. Resminya interfaith, lintas agama, tetapi tidak memperdulikan seruan para tokoh lintas agama di Indonesia. Tidak juga memperdulikan laporan tahunan Deplu AS tentang runyamnya kebebasan beragama di Indonesia.



So, kesimpulannya apa? Konspirasi Yahudi? Bukan konspirasi melainkan asli. Asli lembaga Yahudi yg memberikan penghargaan kepada SBY atas prestasinya menghancurkan jaring-jaring terorisme di Indonesia.

Jam 9 malam kemarin, Kamis 30 Mei 2013, muncul tulisan berjalan di Metro TV, bunyinya, "Menko Polhukam: Pemerintah akan bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan kebebasan beragama."

Komentar Joko: Luar biasa sekali dampak penghargaan lembaga Yahudi itu terhadap SBY. Apa yg tidak bisa dilakukan oleh semua tokoh lintas agama di Indonesia selama pemerintahan SBY ternyata bisa dilakukan oleh satu lembaga Yahudi di Kota New York itu.

Sebenarnya Joko mau tulis tentang hancurnya lingkungan hidup di Jakarta dan sekitarnya, tapi bingung harus mulai dari mana. Setidaknya lima juta orang keluar masuk Jakarta setiap hari kerja. Joko perkirakan lima juta orang, karena yg naik kereta api jumlahnya 500 ribu. Untuk semua kendaraan, bisa diduga 10 kali lipatnya, jadi lima juta orang. Menghabiskan bensin subsidi, untuk mengantri berjam-jam hanya untuk bisa lewat dan sampai ke tempat kerja. Setelah itu untuk kembali ke rumah. Dua jam ke tempat kerja, dan dua jam pulang ke rumah. Apa tidak ada alternatif lain?

Joko pikir, mereka yg dulu hidupnya jahat sekarang lahir kembali sebagai penduduk Jakarta yg tinggal di pinggiran kota. Dihukum mengantri di jalan, pulang balik makan waktu empat jam. Dan harus siap-siap berani mati kalau keluar kendaraan, karena kendaraan bermotor di Jakarta sifatnya seperti ikan Piranha. Kalau anda menyeberang jalan di negara beradab, maka kendaraan dari jauh akan memperlambat kendaraan mereka. Di Jakarta, kalau anda menyeberang jalan, bahkan kendaraan yg masih jauh akan mempercepat laju kendaraan mereka dengan maksud agar anda tidak jadi menyeberang. Oh, orang-orang Jakarta yg sangat relijius, beragama dengan sempurna. Tatapan kosong mata para pengemudi kendaraan bermotor di Jakarta, baik beroda dua maupun empat. Disiksa sekarang karena dulu hidupnya jahat, suka korupsi sapi. Apakah korupsi sapi didorong oleh kemelekatan terhadap akidah? Karena pakai akidah, makanya harus pilih korupsi daging halal?

Saya tidak pakai akidah agama apapun, my friends, kata Joko Tingtong.

Saya tidak mendorong anda untuk pakai akidah agama. Saya tidak bilang anda yg membuang akidah agama anda sebagai bersalah. Anda pakai akidah maupun tidak merupakan urusan anda sendiri. Akidah saya cuma satu yaitu tidak mengganggu orang lain dan tidak mau diganggu.

Lu lu, gua gua!

Itu bahasa Betawi. Urusan lu adalah urusan lu, urusan gua adalah urusan gua. Urus diri masing-masing. Kalau lu mau bilang semua orang harus berakidah di agamanya masing-masing, maka gua akan bilang silahkan semua orang memilih untuk berakidah di agamanya atau untuk buang itu akidah. Toleransi berarti menghalau orang-orang yg mau memperbudak manusia di sekelilingnya. Walaupun manusia itu beragama, kalau mau memperbudak manusia lain maka harus ditendang dengan sempurna.

Demi menjadi manusia seutuhnya, anda harus tegas terhadap manusia lain. Baik pakai nama Allah, demi agama, atau apapun namanya, anda harus bela kepentingan anda dahulu. Anda cuma bertanggung-jawab terhadap diri anda sendiri. Itu yg utama. Kalau anda menyerahkan penentuan hidup anda kepada mereka yg tidak tahu malu memaksakan akidah, maka runyamlah segalanya.

Akidah anda, anda sendirilah yg tentukan!

Tentu saja Joko sampai ke pengertian yg begitu liberal setelah lewat Sirat Al Mustakim. Di banyak kesempatan, termasuk dengan cara duduk berjam-jam di belakang Syekh Achmad Chodjim. Dulu, bertahun-tahun yg lalu.


Joko duduk persis di belakang Achmad Chodjim yg ngasih ceramah tentang sembilan ajaran Syekh Siti Jenar. Ada sekitar 40 orang teman yg berkumpul saat itu, semuanya duduk lesehan dengan rapi, sempit-sempitan. Ada juga yg tidak kebagian tempat di dalam dan terpaksa duduk di teras rumah, di luar ruangan. Uraian yg diberikan sangat detil, teratur, sistematis. Achmad Chodjim mengerti Bahasa Jawa dan Bahasa Arab, dan referensinya sangat banyak. Penjelasannya sangat masuk akal, terbuka dan sama sekali tidak dogmatis. Gayanya memang konservatif, tapi gaya bisa menipu juga.



Joko Tingtong melihat essensi dan bukan gaya. Secara essensial, Joko merasa bahwa uraian dari Achmad Chodjim tidak berbeda dari pengertian yg diperolehnya selama ini bahwa agama tidak lain dan tidak bukan cuma metode belaka. Metode itu alat, sarana, untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Tentu saja kita di sini melihat Syekh Siti Jenar seperti ditafsirkan oleh Achmad Chodjim. Bisa juga disebut sebagai Syekh Achmad Chodjim yg sedang berbicara tentang seorang warga Nusantara masa lalu yg bernama Siti Jenar. Apa bedanya?



Yg sangat menarik adalah penjelasan gamblang dari Pak Chodjim bahwa agama adalah alat dari penguasa sejak jaman dahulu kala. Itu benar. Bukan hanya di Jawa, melainkan di semua tempat di muka bumi ini. Dan para penguasa itu menggunakan para ulama untuk memaksakan berjalannya sistem feodalisme di masa lalu. Sampai saat ini bahkan masih ada penguasa yg menggunakan agama dan para ulamanya sebagai alat kekuasaan. Ada simbiosis mutualisma antara penguasa dan ulama.



Ketika itu terjadi, maka yg rugi adalah masyarakat umum seperti kita semua yg akan menjadi sapi perah belaka, pedahal jelas kita bukan sapi melainkan manusia. Kita manusia yg bisa berpikir dan menentukan sendiri apa yg kita inginkan dalam hidup. Penguasa membutuhkan tenaga dan uang dari kita demi kelanggengan kekuasaan mereka. Dan ulama membutuhkan tenaga dan uang dari kita juga untuk melanggengkan kedudukan mereka sebagai ulama. Cocok bukan? Dan bersimbiosis mutualisma lah mereka.



Tetapi sejak abad pencerahan di Eropa, mulailah ditelanjangi segala kebobrokan dalam simbiosis mutualisma antara penguasa dan ulama. Abad pencerahan di Eropa sejaman dengan masa hidup Syekh Siti Jenar di Jawa. Apa yg dicapai di Eropa ternyata bisa dicapai juga oleh manusia Nusantara. Banyak manusia yg dipenggal dan dibakar hidup-hidup oleh gereja di Eropa. Kesalahannya kurang lebih sama dengan Syekh Siti Jenar, yaitu mereka mencoba menggunakan otak mereka untuk berpikir. Kalau kita menggunakan otak untuk berpikir, maka simbiosis mutualisma antara penguasa dan ulama akan ambruk. Makanya, gunakanlah otak anda!



Penjelasan tentang paralelisme antara sejarah Eropa Barat dan Syekh Siti Jenar di beberapa alinea di atas bukan dari Achmad Chodjim melainkan dari Joko pribadi. Intinya, Joko melihat dalam penjelasan Achmad Chodjim sesuatu yg paralel dengan pengertiannya selama ini, yaitu bahwa kita manusia di mana-mana memang tidak ada bedanya. Ada paralelisme atau kesejajaran dalam pola berpikir manusia di Eropa Barat dan di Jawa 500 tahun lalu. Eropa Barat mengalami Abad Pencerahan, dan kita di Jawa memiliki Syekh Siti Jenar yg, walaupun didzolimi oleh para ulama yg berkoalisi dengan penguasa, tetap saja memiliki ribuan pengikut di seluruh nusantara sampai saat ini.

(Joko T.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar