23 Jun 2013

Kita Tetap Perlu Setan Seperti Kita Perlu Tuhan




Tidak perlu ada yg disalahkan dalam hidup, kata Joko Tingtong. Sudah lama Joko tidak menyalahkan siapapun. Tidak menyalahkan masa lalu, tidak menyalahkan pemerintah, tidak menyalahkan mereka yg diperintah. Tidak mencari apa yg salah, tetapi mencari apa yg betul. Apakah yg betul? Kalau sudah dapat, itu saja yg dipegang. Dijalani, dinikmati.

Saya bukan orang sadis, tidak suka menyakiti. Bukan pula orang masokis, yg suka disakiti. Bawahan dan atasan dalam konteks budaya Indonesia biasanya mengkonotasikan rasa sakit. Ada yg suka menyakiti, biasanya atasan. Dan ada yg suka disakiti, biasanya bawahan. Kalau tidak ada rasa sakit, mungkin tidak akan ada kepuasan. Puasnya penghuni iklim budaya Indonesia selalu melibatkan rasa sakit. Semakin intensif rasa sakitnya, semakin dianggap dalam. Kata lainnya tinggi. Dalam dan tinggi, turun dan naik. Sumur dan anak tangga. Panci dan kompor. Mungkin karena budaya kita dulu swa sembada, sehingga harus lengkap segalanya.

Jalan pikiran orang Barat tidak begitu. Mereka tidak mengenal sistem sakit-menyakiti, kecuali orang yg bergabung dalam komunitas S/M. Ini komunitas sado-masochistic. Joko tidak pernah terlibat langsung. Paling jauh cuma lihat di bokep atawa film porno. Terlihat ada yg diikat. Menikmati diikat dan diembat. Tapi itupun hanya sebatas film saja. Atau sebatas permainan imajinasi. Imajinasi seks liar. Begitu cara mainnya di tempat tidur, dan tidak selalu begitu di luar tempat tidur.

Indonesia kebalikannya. Di atas maupun di luar tempat tidur, permainan sakit-menyakiti dibawa ke segala sendi kehidupan masyarakat. Ada yg minta diturut, dan ada yg menurut. Bisa berjalan lancar kalau skenario diikuti dengan sempurna yg, semakin lama, semakin susah. Semakin susah mengikuti jalan cerita insan Indonesia tradisional karena budaya Barat makin lama makin merasuk.

Orang tidak lagi percaya setan, contohnya. Dan itu sudah suatu kerugian tersendiri, karena kambing hitam tidak bisa ditemukan secara instant. Kita tetap perlu Setan seperti kita perlu Tuhan. Kalau anda tidak percaya Setan, kerumitan tersendiri akan muncul. Seperti yg berikut:

T = Mas Joko, saya ingin bertanya sesuatu yg lebih dalam, entah ini cenderung psikologis atau spiritualis. Saya telah membaca tulisan anda, dan saya menyimpulkan bahwa sebenarnya kita manusia memiliki energi yang sama, yang berasal dari suatu energi pusat (Tuhan), atau saya menyebutnya bahwa manusia bersahabat dengan Tuhan, manusia adalah sahabat yg menghormati Tuhan.

J = Manusia memiliki energi, dan energi itu sama, baik yg berada di pusat maupun di daerah. Kita bisa bilang bahwa energi ini Tuhan. Itu bisa saja, dan memang selalu bersahabat.

T = Saya merasa bersahabat dengan Tuhan, apalagi setelah membaca tulisan anda. I've been enlightened by you, Sir. Tetapi sejak itu, muncul suatu hal yg mengganggu saya. Saya tidak lagi merasa takut, karena saya merasa bersahabat dengan Tuhan, saya tidak lagi takut sama hal yg ngeri kayak Setan dan sebangsanya yg kadang mengganggu tidur saya.

J = Saya tahu bahwa Setan itu tidak ada. Yg ada cuma pikiran saya sendiri saja yg bisa ber-kamuflase. Kamuflase atawa permainan peran dari pikiran saya bisa mengambil berbagai macam bentuk. Bisa berbentuk Setan, bisa pula berbentuk Tuhan.

T = Frankly, it's disturbing me cuz Setan dan sebangsanya aren't disturbing me anymore. Saya mulai merindukan kehadiran mereka dalam lelap saya. Pernah sih, ada yg datang ganggu pas saya tidur, tapi saya waktu itu tidak takut, sehingga membuat Setan itu berhenti menggoda dalam lelap saya. Kemudian lama saya mulai tidak bermimpi yg ngeri lagi. Ya, saya merindukan mereka. Apakah itu normal, Mas Joko?

J = Normal saja. Setan dan Tuhan merupakan bagian dari pikiran kita sendiri saja. They are figments of our own imagination. Percikan imajinasi kita.

T = Menurut saya sebagai manusia, sebenarnya rasa takut itu perlu, fear is needed, don't you think? Jenderal saja wajib takut dengan atasannya. Kalau dulu saya bisa melimpahkan rasa takut pada Setan, Jin, Buto Ijo dan sebangsanya. Mereka yg menjadi kambing hitam untuk rasa takut saya. Tapi kini tidak bisa lagi... KalauTuhan beda, saya tidak takut dengan Tuhan, tapi saya menghormatiNya. saya mencintaiNya. Saya tetap tidak takut... Bagaimana ini, Mas Joko? saya tidak punya lagi kambing hitam yg namanya Setan.

J = Saya juga tidak punya Setan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar