13 Jun 2013

Temanku yg Orang Aceh

Sepanjang tahun 2009, ada seorang teman dari Aceh yg mengikuti terus postingan Joko Tingtong di facebook. Asalnya dari Aceh dan sudah tinggal di Jakarta. Mendekati akhir tahun, pada bulan November, beberapa teman dekat yg sudah gatal karena Joko terlalu banyak bertapa akhirnya memutuskan untuk datang. Datang ke rumah Joko. Bukan acara sarasehan Spiritual Indonesia yg biasanya norak dan bernuansa gebyar, dihadiri sekitar 200 orang. Melainkan cuma merumpi kecil-kecilan. Paling cuma untuk 10 orang saja.

Di pertengahan tahun 2013 ini, Joko bisa melihat kembali kejadian saat itu dengan tenang. Memang cuma 10 orang yg datang, tetapi semuanya luar biasa. Ada yg khusus datang dari Amsterdam. Ada anak indigo yg waktu itu masih lumayan waras tetapi nampaknya makin lama makin parah delusinya. Sekarang entah ada dimana. Ada yg inginnya mendekonstruksi orang lain, tetapi jadinya malah dirinya sendiri yg terdekonstruksi, makin lama makin error. Ada seorang psikolog yg waktu itu baru saja menjanda, dan sekarang sudah bertunangan. Dua orang anak kristal. Lima orang keturunan Sulawesi, termasuk Joko Tingtong sendiri. Dan teman yg lahir dan besar di Aceh itu. Temanku yg orang Aceh, kata Joko Tingtong.

Bagi Joko, Aceh tidak terasa asing. Joko punya tante yg menikah dengan orang Aceh. Joko panggil dengan sebutan Om Hanif. Namanya Teuku Hanif, tapi Joko panggilnya Om Hanif saja. Orang baik sekali, meninggal dalam usia muda. Perempuan-perempuan Aceh yg dikenalnya justru bukan anak alim. Mereka bergaul dengan bule, tinggal serumah, tanpa nikah. Joko bahkan sempat diajari untuk cari cewek bule. Diajari oleh perempuan Aceh. Begini lho caranya! Kalau mau cari cowok bule disana tempatnya, cari cewek bule disini tempatnya. Nama tempat pelesiran beserta alamat lengkapnya. Tentu saja Joko tidak menghiraukan saran itu. Saya bukan gigolo, kata Joko Tingtong.

Teman Joko yg orang Aceh itu meninggal tahun berikutnya. Tahun 2010. Meninggal dalam usia 40 tahun. Joko tidak ditinggalkan warisan, dan cuma punya sepenggal percakapan berikut ini dengannya.

T = Dearest Mas Joko yg waskita, abang saya yg berada di Banda Aceh memberikan uraian yg sampai saat ini masih belum saya fahami sepenuhnya, untuk itu mohon perkenan Mas Joko untuk menjelaskan arti kata-kata tersebut pada diri saya.

J = Bagaimana kata-katanya?

T = Jangan pernah berfikir akan hasilnya. Buang prasangka apapun, jalani dengan intuisi, berbaik dan bantulah setiap makhluk, banyak mendengar daripada berbicara.

J = Artinya hidup apa adanya saja, melakukan ikhtiar tanpa perlu kuatir tentang hasilnya. Apapun hasilnya merupakan urusan nanti, kita hanya bisa melakukan apa yg kita bisa lakukan saat ini saja. Ikhtiar sebatas kemampuan. Hidup disini dan saat ini saja.

T = Perasaan takut atau apapun yang terjadi hal biasa karena tubuh/indera mencoba untuk menyesuaikan diri, itu bagian dari sensasi tubuh.

J = Artinya, perasaan takut yg ada di dalam pikiran kita merupakan refleksi dari spontanitas tubuh kita menanggapi keadaan lingkungan. Misalnya, tubuh langsung bereaksi ketika kita mendekati wilayah yg suhu udaranya berubah. Kalau memasuki wilayah panas, tubuh fisik sudah mendeteksinya sejak jauh. Memasuki wilayah dingin juga begitu. Memasuki wilayah ketinggian, memasuki kerumunan orang, dsb... Cuma, seringkali pikiran kita terlambat. Kita cuma merasakan risau.

Pikiran kita risau tidak tahu ada apa, pedahal otak fisik kita sudah mencatat bahwa tubuh kita sudah melakukan adaptasi karena akan memasuki lingkungan berbeda. Kerisauan yg tidak diketahui menyebabkan rasa takut. Takut karena tidak mengerti. Pedahal kalau sadar bahwa segalanya cuma perubahan di tubuh fisik yg melakukan adaptasi, maka kita tidak perlu risau, tidak perlu takut. Ini proses alamiah biasa saja.

T = Biasakanlah antara tubuh dan fikiran sejalan, itu bagian dari kontemplasi atau tafakur atau shalat daim + rasa-ku.

J = Tubuh dan fikiran sejalan artinya centered atau terpusat. Terpusat artinya tidak terpecah. Kita berjalan sesuai dengan apa yg kita niatkan tanpa perlu terpengaruh apapun kata orang dan lingkungan. Upaya centering ini adanya di pusat kesadaran kita, yaitu di cakra mata ketiga. Bisa dibilang di God Spot atau kelenjar pineal. Ini kiblat yg asli, ada di setiap manusia. Essensi dari ibadah adalah selalu menghadap ke kiblat. Bukan kiblat fisik yg cuma simbol saja, melainkan kiblat asli yg adanya di dalam diri setiap manusia. Tempatnya di cakra mata ketiga itu yg bisa kita rasakan di titik antara kedua alis mata... Tafakur tempatnya disana. Dan kalau tidak sedang tafakur, kita juga bisa tetap disana. Diam saja dan rasakan saja. Bahkan ketika sedang berjalan kaki atau berbicara dengan orang lain, kita akan bisa selalu membawa sikap tafakur. Selalu menyambung dengan frekwensi tafakur, atau katakanlah frekwensi ibadah setiap saat.

Ketika hal ini dibiasakan, maka kita akan selalu terpusat. Bukan terpusat di wejangan-wejangan para ulama, melainkan terpusat di dalam kesadaran kita sendiri saja. Inilah makna dari perkataan ana al haq dari Al Hallaj. Ini pula yg dimaksudkan oleh para sufi itu. Mereka mungkin menggunakan istilah kesatuan antara pikiran dan tubuh... karena ucapan inilah yg paling mudah dimengerti oleh khalayak umum. Tetapi yg dimaksudkan adalah pengertian yg lebih subtil, yaitu centering ataumemusatkan kesadaran di satu titik. Pemusatan sepanjang waktu, sehingga kita tidak terombang-ambing oleh apapun yg kita hadapi. Kita terpusat, kita menyatu.

Yg digunakan adalah istilah kesatuan antara pikiran dan tubuh karena kata-kata itu bisa diterima oleh orang banyak. Kalau menggunakan kata-kata kesatuan kesadaran dengan Al Khalik, misalnya, maka akan menimbulkan kontroversi. Al Khalik adalah kesadaran alam semesta, dan kesadaran kita akan menyatu dengan kesadaran alam semesta ketika kita terpusat. Terpusat di kesadaran kita sendiri saja, di kiblat yg adanya di dalam diri kita sendiri. Tubuh fisik akan ikut. Tanpa perlu diatur, tubuh fisik akan mengikuti kesadaran kita yg, katakanlah manunggaling kawula gusti.

Memang tubuh fisik akan bereaksi terhadap lingkungan. Tetapi kesadaran kita akan mencatatnya saja, tanpa perlu kalang-kabut, tanpa perlu risau... Kita tidak risau karena pikiran dan tubuh menyatu. Selalu kontemplasi, selalu tafakur, walaupun bisa saja sangat aktif dalam kegiatan fisik dan hubungan antar manusia.

T = Setiap kita unik, itu terjadi karena kita ujud, jika yang tinggal adalah Dzat yang tampak adalah nyata/ tercerahkan. Tidak usah dijelaskan sudah tahu.

J = Kita disebut unik karena memiliki kepribadian atau personality. Persona artinya topeng. Personality adalah topeng yg kita gunakan ketika kita berhadapan dengan manusia lain. Bahasa Indonesianya: kepribadian. Kepribadian itu ada karena kita masih berbentuk manusia fisik. Wujud fisik kita berbeda-beda, cara berpikir kita berbeda tergantung dari latar belakang budayanya. Sikap terhadap berbagai hal juga berbeda-beda, tergantung selera orangnya sendiri. Tetapi di balik semuanya itu ada yg namanya roh. Roh itu dzat, dan sama saja di manapun roh itu berada. Roh yg ada di anda sama persis dengan roh yg ada di saya, sama persis dengan roh yg ada di para manusia yg di-nabi-kan. Bahkan sama persis dengan roh yg ada di manusia-manusia atheist.

Mau atheist ataupun agamis sama saja, semuanya memiliki roh yg sama. Dzat yg sama. Roh itu sadar bahwa dirinya sadar, dan melihat dari sudut pandang berbagai pribadi yg unik itu. Ada roh yg melihat dari dalam mata fisik anda. Ada roh yg melihat dari dalam mata fisik saya. Ada roh yg melihat dari dalam mata fisik seorang teroris. Ada roh yg melihat dari mata fisik seorang sufi. Kepribadian manusianya berbeda, cara berpikirnya berbeda, melihatnya dari mata fisik yg berbeda... tetapi roh atau dzat yg melihat itu semuanya sama.

Saya adalah anda yg melihat dari dalam mata fisik saya. Dan anda adalah saya yg melihat dari dalam mata fisik anda... Yg melihat itu ternyata essensinya sama saja, dzat yg sama, roh yg sama. Yg sadar bahwa dia itu sadar. Cuma ada satu saja bukan? Bahkan cuma ada satu Dzat di seluruh alam semesta ini. Dalam bahasa agamis, cuma ada satu Allah. Dan Allah itu Dzat yg ada di mana-mana. Ada di anda, ada di saya, dan ada di siapa saja.

T = Jangan pernah merasa tahu, tahu itu ibarat kita tidur, bukan sebelum atau sesudahnya.

J = Tahu itu ibarat kita tidur, yaitu mengamati apa yg muncul di depan kita saja. Waktu tidur kita tidak merasa bahwa kita tahu. Kita cuma melihat saja tanpa membawa-bawa ego atau konsep diri kita. Karena tidak ada ego, maka kita tidak merasa sok tahu. Kita tahu adalah essensi dari diri kita ketika kita tidur... Sebelum tidur kita tidak tahu karena pikiran kita berjalan-jalan. Sesudah bangun tidur, pikiran kita berjalan-jalan kembali. Pikiran kita tidak pernah diam di tempat. Pikiran yg diam di tempat dan tahu adalah pikiran di kala kita tidur. Kita saat itu tidak bilang kita tahu, tetapi tahu itu adalah kita sendiri. Saya tahu karena saya tahu.

Memang yg saya ketahui ada di depan mata saya yg secara fisik sedang tidur lelap itu. Yg anda ketahui ada di depan mata fisik anda yg sedang tidur lelap. Dan kita tidak perduli dengan apa yg ada sebelumnya, dan apa yg akan ada sesudahnya. Yg ada cuma di titik saat itu saja, yg ada di depan mata. Itulah tahu. Dan bahkan kita tidak perlu merasa tahu seperti dalam keadaan melek. Dalam keadaan tidur, kita tahu karena kita tahu. Tanpa perlu menghubungkan dengan masa lalu dan masa depan seperti tahu dari jenis biasa, yg pengertiannya kita pakai sebagai pengertian tahu yg umum, yaitu ketika kita sadar secara fisik, ketika mata kita terbuka lebar, dan ketika ego kita selalu menyaring segala-galanya sehingga terjadi distorsi. Distorsi adalah pengaburan. Tahu dalam keadaan melek selalu distorted, selalu terkaburkan karena ada ego kita disana. Dalam keadaan tidur tidak begitu.

T = Pencerahan bukan untuk dimengerti tapi nikmati, kalimat ini juga tidak tepat. Cobalah fahami bagaimana rupa manis itu. Coba jelaskan. Kira-kira begitulah.

J = Kita tidak mencoba mengerti cahaya itu apa bukan? Definisinya banyak, bisa menurut fisika, bisa menurut penyair, bisa menurut para filsuf. Tapi kita tidak perduli semuanya. Kita cuma tahu bahwa ada cahaya, dan kita bisa pakai cahaya itu untuk melihat. Kalau tidak ada cahaya maka segalanya jadi gelap, mata fisik kita tidak bisa melihat. Kalau ada cahaya, maka layar monitor bisa terbaca. Dan dibacalah saya tulis apa, walaupun jelas tidak ada seorangpun yg mengerti cahaya yg membawa pencerahan ke layar monitor mereka itu sebenarnya apa. Yg penting monitornya cerah, dan saya bisa membaca. Siapa yg membawa pencerahan atau pencahayaan bagi monitor saya, saya tidak pernah perduli. Saya tidak mengerti bagaimana bekerjanya mata rantai dari penambangan logam sampai pengolahan plastik dan kawat-kawat untuk membuat monitor itu dilakukan. Lalu distribusi plus pembangkitan tenaga listrik. Ribet. Yg penting baca saja. Sudah cerah. Tanpa perlu saya bilang bismillah dan alhamdulilah memang sudah cerah. Bisa dibaca.

T = Hiduplah dengan badan surgawi, hilangkan citra, prasangka dan sejenisnya, jalani kehidupan tubuh sesuai dengan hukum alam, dinamis, tertib, tanpa keluhan.

J = Artinya tidak neko-neko dalam bahasa Jawa. Menjadi diri sendiri saja, apa adanya saja, tanpa perlu ngotot dan ngoyo. Tanpa perlu memaksakan diri, tanpa perlu mengeluh kiri kanan. Tanpa perlu merasa diri lebih tinggi, tanpa perlu merasa diri lebih rendah. Dengan kata lain, hidup dengan cara wajar dan biasa-biasa saja.

T = Shalat atau sejenisnya adalah bentuk kepatuhan bagi yang memerlukan dan yang tidak memerlukan.

J = Shalat dan sejenisnya seperti meditasi dan yoga adalah bentuk kepatuhan atau disiplin. Disiplin itu praktek yg mengikuti bentuk tertentu. Ada kebakuan dalam format yg diulangi berkali-kali. Dinamakan kepatuhan karena orang beranggapan bahwa cara itu akan mencapai apa yg diinginkan. Kalau orangnya percaya akan memperoleh kedamaian bila menjalani kepatuhan atau disiplin itu, maka orangnya akan selalu kembali lagi melakukannya. Berkali-kali, berulang-kali, bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun. Kepatuhan dijalani sampai orang merasa tidak lagi memerlukannya. Walaupun sudah tidak lagi merasa membutuhkan sholat atau meditasi, sang manusia tetap akan bilang bahwa ada bentuk kepatuhan. Kepatuhan yg bisa dijalani kalau merasa membutuhkan, dan bisa pula tidak dijalani kalau merasa tidak membutuhkannya lagi. Yg jelas, mereka memang suatu praktek, suatu disiplin, suatu kepatuhan. Bisa dijalani kalau mau, dan bisa pula tidak dijalani kalau tidak mau. Bentuk kepatuhan bermacam-macam. Bisa disebut sholat dan meditasi, bisa pula diciptakan model lain lagi. Dan model baru itu, misalnya dugem setiap hari, bisa pula akhirnya disebut sebagai suatu macam kepatuhan. Kepatuhan yg bisa diikuti oleh mereka yg memerlukannya. Dan tidak diikuti oleh orang lainnya seperti saya dan anda yg merasa tidak memerlukannya.

T = Jangan berfikir, kembali ke kehendak diri bukan ego. Jangan meniru, ikutilah panggilan nurani. Jadilah pengembara tanpa tujuan.

J = Artinya be yourself!  Jadilah diri anda sendiri. Anda mau jadi pengembara tanpa tujuan? Ya jadilah. Kalau mau punya tujuan, ya punyalah. Be genuine! Sejati dan bukan pura-pura. Walaupun jatuh bangun, akhirnya anda akan mengerti bahwa yg namanya tujuan cuma sebutan saja. Saya mau pulang bisa dibilang sebagai tujuan.Tetapi apakah saya benar-benar langsung pulang ke rumah? Bisa saja saya merantau ke mancanegara bertahun-tahun sebelum akhirnya pulang. Bisa saja saya tidak pulang ke rumah lagi. Tujuannya cuma untuk pulang, tetapi akhirnya terdampar dimana-mana. Lalu, apakah akhirnya saya pulang juga? Iyalah,... cepat atau lambat saya akan pulang. Pulang disini berarti meninggalkan tubuh fisik, dan itulah tujuan satu-satunya dari kita hidup di dunia ini. Diluar itu semuanya bukan tujuan. Biarpun disebutkan cita-cita kita, itu tetap bukan tujuan. Kita tidak akan pernah punya apa yg disebut tujuan di dunia ini karena kita semuanya memang cuma akan pulang saja. Itu tujuan, dan sudah ada sejak kita lahir ke dunia ini. Dan tujuan yg asli itu cepat atau lambat akan kita capai. Diluar itu semuanya cuma fantasi, imajinasi, pengisi waktu.

T = Alami saja, seiring dengan waktu akan mengalami keselarasan antara tubuh, fikiran, hati dan ruh. Ritual hanya alat, setiap orang beda. Intinya pengendalian.

J = Ritual yg ada di agama-agama itu hanyalah alat agar manusia bisa selaras. Pertama selaras dalam diri sendiri, dan kedua selaras dengan lingkungan manusia dan alam. Kalau sudah selaras, artinya kita bisa menerima diri sendiri apa adanya, tanpa merasa perlu tergantung apa yg orang lain ucapkan tentang diri kita. Kita juga tidak akan memaksa orang lain untuk selaras. Selaras yg menggunakan pemaksaan bukanlah penyelarasan melainkan pengrusakan. Ada yg dirusak, yaitu kemampuan manusia pribadi per pribadi untuk secara alamiah mencari titik yg paling pas atau selaras bagi dirinya sendiri... Manusia semuanya belajar, dan kemampuan belajarnya beda. Dan kita tidak merasa perlu untuk memaksa orang lain agar selaras menurut pengertian kita. Bukan orang lain yg harus menyelaraskan diri, tetapi kitalah yg harusnya selaras dengan orang lain. Selaras artinya bisa menerima orang lain apa adanya tanpa merasa perlu menuntut agar mereka menyesuaikan diri dengan kita... Agama yg sejati seharusnya seperti itu, memberikan kebebasan bagi setiap manusia untuk mencari dan menemukan titik keselarasan yg paling cocok dengan dirinya.

T = Jika sabar pasti ketemu. Jangan pernah menilai salah atau benar. Senyum saja karena kita sedang memainkan peran kita masing-masing.

J = That's it! Memang seperti itu. Peran. Lakon. Ada guru ada murid. Saat berikutnya sang murid menjadi guru bagi mantan gurunya. Guru dan murid cuma peran saja, pedahal essensinya sama, dzat yg sama. Kita semuanya guru bagi diri kita sendiri. Kita semuanya juga murid, murid dari diri kita sendiri juga.

T = Almarhum ayah abang saya adalah guru spiritual ayah saya. Dan abang saya mengatakan bahwasanya saya akan menemui seorang sebagai mursyid bagi diri saya yang berumur ± 40 tahun di ranah Jawa yg akan membimbing saya secara langsung, dan satu hal lagi setiap kali saya menatap wajah abang saya, maka seakan-akan wajahnya selalu berubah-ubah dan seakan-akan bersinar membuat hati saya terasa teduh.

J = Guru mursyid adalah kesadaran tinggi, adanya di dalam diri anda sendiri. Ketika anda masuk ke dalam kesadaran anda, akan ada yg membimbing anda dari dalam sana. Bisa dibilang sebagai guru mursyid, pedahal cuma kesadaran anda sendiri saja. You are your own guru mursyid di Tanah Jawa.


POSTSCRIPT

Kesempatan di akhir tahun 2009 itu cuma satu-satunya, tidak pernah sebelum dan sesudahnya Joko bertemu dengan temanku yg orang Aceh. Yg amat berkesan baginya dalam perjumpaan itu cuma satu. Temanku yg orang Aceh bercerita, waktu pulang ke Aceh pernah dikejar-kejar oleh polisi syariat di hari Jumat. Dikejar-kejar karena tidak mau sembahyang pada Jumat siang. Ketika digertak, temanku yg orang Aceh tidak mau kalah. Dia balas menggertak: Saya orang Kristen! Sang polisi syariat menuntut untuk melihat KTP. Kalau KTPnya Kristen bisa lolos. Joko cuma tertawa, tidak mau melanjutkan mendengar kisah itu. Mungkin akhirnya temanku yg orang Aceh bisa lolos juga walaupun tanpa mengeluarkan KTP.


(Leonardo Rimba)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar