11 Jun 2013

Karena Otak Manusia Terbatas


Secara salah kaprah orang sering bertanya, agamamu Kristen atau Katolik? Dan Joko akan balik bertanya, apakah Katolik bukan Kristen? Kristen ada ribuan aliran atau sektenya saat ini. Semua sah saja, boleh bilang sudah tidak lagi saling serang seperti di abad ke 17 Masehi, ketika Belanda baru menduduki Batavia. Selama masa VOC, Katolik dilarang mengirimkan misi penyebaran agama di wilayah-wilayah Belanda di Nusantara. Karena Belanda menganut Protestan, dan orang-orang Katolik dianggap subversif karena mengikuti Paus di Roma. Nasionalisme Belanda mengambil bentuk Protestantisme. Aliran ujung tombak dunia saat itu. Dari Belanda, traktat Protestantisme disebarkan ke seluruh Eropa. Terutama ditujukan ke Perancis yg saat itu masih menganut monarki absolut di bawah Raja Louis XIV. Ini raja jahilliyah yg menghapuskan kesepakatan toleransi terhadap mazhab Protestantisme yg baru muncul di Eropa. Usaha Belanda tidak sia-sia karena pada pemerintahan Louis XVI, Perancis yg digoyang-goyang itu runtuh total. Habislah monarki absolut. Kita ingat, namanya Revolusi Perancis, dengan semboyannya Liberte, Egalite, Fraternite.

Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan.

Revolusi Perancis kurang lebih bersamaan dengan Revolusi Kemerdekaan Amerika. Bahkan Inggris yg tadinya dianggap lebih liberal dibandingkan Perancis sekarang terpaksa harus mempertahankan eksistensi monarkinya. Napoleon yg mewarisi Revolusi Perancis cuma punya satu ideologi, yaitu meruntuhkan semua monarki di Eropa, dan menggantinya dengan pemerintahan yg bersemangat revolusioner. Di jaman Napoleon, Pulau Jawa diperintah oleh Raffles. Diambil-alih oleh Inggris karena Belanda diduduki oleh Perancis dan Napoleon menaruh saudaranya sendiri sebagai raja Belanda. Setelah Napoleon kalah di Waterloo, Belanda juga menata diri. Kakek moyang raja Belanda sekarang berasal dari masa setelah Napoleon. Tadinya Belanda tidak punya raja. Selama VOC ada di Indonesia, Belanda berbentuk republik. Namanya United Provinces. Mungkin nama United States of America diilhami oleh nama itu. Baru pada abad ke 19, Indonesia diperintah langsung di bawah Kerajaan Belanda. Tapi itu pun belum utuh seperti Indonesia yg kita kenal sekarang. Mungkin Belanda baru menguasai sepertiga wilayah Indonesia ketika monarki mengambil alih. Selama 100 tahun berikutnya, sisa Indonesia dikumpulkan satu persatu. Kebanyakan tidak lewat perang, melainkan perjanjian dengan tetua adat lokal. Tujuannya jelas eksploitasi ekonomi, dengan latar belakang pencerahan. Belanda saat itu sudah tercerahkan, makanya tidak pernah ada aliran agama yg dilabel sesat dan dikejar-kejar saat pemerintahan Belanda di Indonesia. Dalam hal penghormatan hak asasi manusia untuk beragama, Belanda selalu nomor satu sejak ratusan tahun lalu. Satu dunia tahu itu. Walaupun wilayahnya kecil, Belanda berperan besar dalam membawa satu dunia ke bentuknya yg sekarang. Dan itu karena otaknya dipakai. Orang Belanda beda hanya satu dibandingkan dengan orang Indonesia. Orang Belanda tidak pernah bilang manusia berotak terbatas, dan lalu diam saja serta menerima apa yg dipaksakan orang lain. Yg seperti itu manusia Indonesia. Belanda tidak begitu. Kalau Belanda bilang otak manusia terbatas, maka Indonesia tidak bisa disatukan.

Karena otak manusia terbatas, maka manusia harus terima agama. Harus terima bulat-bulat dan tidak mempertanyakan asalnya dari mana. Tidak boleh usil bertanya siapa yg membuat agama. Apalagi meragukan Allah. Kalau mau seperti itu namanya atheist. Kurang lebih seperti itulah jalan pikiran manusia Indonesia. Menyedihkan sekali, kata Joko Tingtong. Belanda tidak seperti itu, sejak 350 tahun lalu Belanda telah mempertanyakan Kekristenan. Reformasi Kristen yg merontokkan takhayul dikobarkan dari Amsterdam, lewat percetakan-percetakannya. Saat itu Belanda yg tanpa raja telah menjadi pusat liberalisme. Liberalisme dalam arti pemikiran bebas. Manusia bebas berpikir apa saja, asal tidak mengganggu ketenteraman masyarakat. Boleh berdebat sampai bosan sendiri asal bayar pajak. Boleh menciptakan aliran agama apapun. Boleh bisa saling tuduh sesat, karena semuanya memang sesat.

Diantara orang-orang sesat, negara tidak boleh bilang ada satu yg paling benar. Semua sama benar dan sama sesatnya karena, seperti semua orang bisa lihat, debat-debat itu tidak disaksikan oleh Allah. Yg diperdebatkan adalah ayat-ayat yg konon diturunkan oleh Allah. Apa sikap yg Allah inginkan dari manusia? Bagaimana manusia harus menjalani hidupnya? Semua didebatkan dengan kaca pembesar, dan Allah sendiri tidak pernah muncul. Walaupun Protestan Belanda mendiskriminasikan Katolik dengan alasan sudah keterlaluan pelanggaran HAM yg mereka lakukan dimana-mana, ternyata Allah tidak muncul membela Katolik. Allah juga tidak muncul membela Protestan. Allah adalah konsep yg diperdebatkan, diperjuangkan. Ketika konsep Protestan menang, artinya otak manusia dibebaskan. Bebas untuk berpikir dan membuang takhayul. Lama-kelamaan Katolik juga ikut-ikutan. Katolik sekarang bahkan lebih Protestan dibandingkan orang Protestan awal. Protestan dan Katolik Liberal satu dunia sudah seagama, mengerti bahwa yg penting adalah tingkah-laku, bagaimana menghapuskan kemiskinan. Kemiskinan materi dan rohani. Dan menghapuskan kemiskinan rohani bukan dengan cara mencuci otak manusia dengan ayat, melainkan dengan memberikan pengertian bahwa manusia berharga di mata Allah. Masih pakai kata Allah, walaupun harusnya dimengerti sebagai bermakna simbolik.

Allah itu simbolik, masih digunakan di Kekristenan sampai detik ini. Konsep saja. Dikonsepkan Allah menginginkan manusia yg bermartabat, bisa berpikir bagi dirinya sendiri. Bisa memutuskan jalan hidupnya, tanpa ditekan oleh masyarakat ataupun agama. Begitu keinginan Allah menurut orang Kristen yg sudah tercerahkan. Orang beragama lain yg sudah tercerahkan pastinya akan berkesimpulan sama, dengan terminologi mereka sendiri. Semakin tercerahkan manusianya, maka semakin otaknya dipakai. Semakin berpikir dengan rasional. Tidak takut untuk revisi konsep Allah. Yg lewat tidak bisa dibalikkan. Tetapi kita bisa perbaiki yg ada saat ini. Dan itulah juga essensi dari niat Islam Liberal. Cuma, Islam Liberal agak terlambat. Ratusan tahun di belakang Kekristenan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Dan berikut percakapan hari ini:

Mas Joko, nama aku A, pria, 20 tahun, tinggal di Jakarta. Aku bingung banget, kenapa ya aku gak bisa kontrol kemampuan aku? Kira-kira gimana ya Mas cara kendaliin kekuatan aku ini? Aku mau, kalo aku lagi butuh, kekuatan aku bisa aku pake. Dan kalo aku gak mao pake ya gak ada kejadian apa-apa. Jadi kan aku bisa hemat tenaga gak perlu tiap saat pake kelebihan aku. Kayak lihat penampakan juga, kan jadi bisa aku kontrol. Yg bikin pusing banget, akhir-akhir ini aku ngerasa kayak gak bisa kenalin diri aku. Aku akhir-akhir ini juga dapat firasat kalo umur aku gak lama lagi. Sebenarnya aku punya teman yg punya bakat kayak aku. Tapi tiap aku tanya sama dia, jawabannya gak pernah jelas, terus dia langsung pergi pedahal pertanyaan aku belom dijawab. Siapa tau Mas Joko ada solusi untuk masalah aku ini?

Joko Jawab: Apa yg anda alami sebenarnya bukan hal aneh. Saya banyak bertemu dengan teman-teman yg mengaku bisa melihat segala macam penampakan. Ada yg melihat orang yg diajaknya berbicara tiba-tiba bertanduk, pedahal itu manusia biasa. Mana ada sih manusia yg bertanduk? Kalau mengikuti bahasa ilmu jiwa modern, mungkin kita bisa bilang bahwa orang itu mengalami halusinasi. Tidak ada apa-apa kok bisa merasa melihat sesuatu? Dan yg melihat itu yakin bahwa apa yg dilihatnya itu ada, pedahal secara fisik tidak ada. Saya sendiri menggunakan pendekatan berbeda, jadi tidak langsung mencap seseorang sebagai berhalusinasi. Saya akan bilang bahwa orang itu, yg disini bisa termasuk anda sendiri, melihat simbol-simbol yg muncul. Apabila sedang berbicara, dan tiba-tiba orang yg anda ajak berbicara menjadi bertanduk, maka anda bisa menafsirkan bahwa orang yg anda ajak berbicara itu sifatnya seperti hewan yg siap menanduk siapa saja.

Apa yg kita lihat secara batin atau non fisik memiliki arti simbolik, dan kita cukup mengambil arti simboliknya itu saja. Kita tidak perlu repot ketika melihat berbagai macam penampakan, sama saja ketika kita tidak repot waktu melewati permukiman yg berbeda-beda. Jenis kendaraan sudah berbeda ketika kita memasuki perumahan yg berbeda, jenis dan model rumah sudah berubah, cara orang berpakaian dan berjalan sudah lain. Kalau kita bisa mengontrol apa yg kita lihat secara fisik dan tidak terpengaruh, mengapa kita tidak bisa mengontrol apa yg kita lihat secara batin? Kita bisa kalau kita mau. Jadi, kalau nanti penampakan itu muncul kembali, anda tidak perlu terpengaruh. Anda artikan sajalah simbol-simbol yg muncul. Semuanya simbolik, tidak usah takut dan tidak usah merasa menjadi manusia aneh.

Semua manusia sedikit banyak bisa melihat segala macam penampakan non fisik. Cuma ada yg lebih sensitif, dan ada juga yg tidak terlalu sensitif. Sebagian besar dari kita malahan telah terbiasa untuk mengabaikan segala macam penampakan yg muncul karena kita tahu bahwa mereka adanya di dalam batin saja, di dalam pikiran kita saja, dan bukan di alam fisik. Setahu saya, mereka yg mengaku bisa melihat segala macam begituan adalah orang yg merasa tersiksa. Tersiksa karena tidak bisa memperoleh pengertian bahwa yg dilihatnya itu cuma simbol belaka, dan tidak perlu terlalu diperhatikan. Kalau diperhatikan terus, anda bisa saja mengalami firasat ini dan itu, seperti merasa akan cepat mati dan sebagainya. Anda akan bisa merasa seperti ada orang yg berbicara kepada anda, pedahal orangnya tidak ada. Dan lama-kelamaan anda akan tidak bisa mengenali diri anda sendiri, seperti yg telah anda akui sendiri kepada saya tadi.

Cara yg sehat adalah dengan mengakui kepada diri anda sendiri bahwa apa yg anda lihat adanya di dalam pikiran anda saja. Bukan anda memiliki kelebihan melihat makhluk ghoib, tetapi anda terlalu sensitif sehingga menganggap serius hal-hal yg tidak ada secara fisik dan adanya cuma di dalam pikiran anda sendiri saja. Kalau anda tidak bisa menerima saran dari saya dan terus mempersoalkan kelebihan anda itu, maka mungkin anda harus pergi ke dokter ahli jiwa atau psikiater. Psikiater akan bisa memberikan anda obat-obat penenang, selain konseling. Tetapi kalau anda bisa tenang dan menerima arti simbolik dari segala apa yg muncul, maka anda tidak perlu ke psikiater. Anda tetap dapat menjadi orang normal.

Sebagian orang menamakan mereka yg merasa bisa melihat penampakan sebagai anak indigo. Definisi anak indigo tergantung anda sendiri. Anda mau definisikan bagaimana, ya jadilah itu! Joko sendiri tidak suka memakai istilah indigo selain untuk bergurau saja karena menurut pengalaman pribadinya, mereka yg mengaku sebagai indigo ternyata manusia yg memiliki naluri lebih kuat daripada manusia lainnya. Naluri itu instinct, bawaan dari tubuh fisik. Naluri mengatur rasa lapar, haus, capek, birahi, pertahanan diri, dsb. Kalau lapar maka kita makan. Tetapi ada orang yg selalu merasa lapar terus, ini orang yg nalurinya kuat, lebih khusus lagi dalam hal mengunyah makanan. Ada orang yg selalu merasa haus. Ada orang yg selalu merasa capek. Ada orang yg selalu merasa konak karena naluri sex di dirinya terlalu besar. Ada juga orang yg selalu merasa harus mempertahankan dirinya dari serangan orang lain, semua orang dianggap sebagai berpotensi mengancam keberadaan dirinya. Pedahal tidak ada soal ancam-mengancam itu, dan segalanya cuma ada di dalam pikiran manusia yg terlalu naluriah itu. Istilah psikologinya bermacam-macam, tetapi karena saya bukan seorang psikolog dan cuma konselor biasa saja, maka saya menggunakan istilah yg juga umum, yaitu naluriah. Kalau nalurinya terlalu besar, maka orang akan mencari alasan apapun untuk mempertahankan keberadaan dirinya.

Segala salah kaprah kemampuan ramal-meramal dan membaca pikiran orang lain yg dimiliki anak indigo cuma isapan jempol belaka. Semua orang sedikit banyak bisa membaca pikiran orang lain. Kalau kita memiliki empati, maka kita bisa membaca pikiran orang. Saya sendiri bisa tahu orang dari melihat tulisannya saja, kata Joko. Anda juga bisa tahu orang hanya dengan menatap matanya. Ini kemampuan biasa-biasa saja. Kalau melihat masa depan dan masa lalu, hal itu memang suatu kelebihan tersendiri, tapi yg dilihat itu cuma impressi saja, kesan saja, dan tidak harus selalu sama persis. Sedangkan untuk mengetahui peristiwa yg terjadi di tempat lain merupakan hal yg sangat umum juga. Kita semua bisa, tinggal angkat telpon saja bukan?

Mengetahui hal yg akan terjadi adalah hal umum, bahasa Inggrisnya precognition, tahu sebelumnya. Bisa juga dibilang deja vu. Kita merasa seperti telah melihat sesuatu sebelum terjadi, dan ternyata benar-benar terjadi. Penjelasanya adalah bahwa pikiran kita bekerja secara telepathik, sambung menyambung dengan pikiran-pikiran yg lain. Ada alam bawah sadar kolektif seperti dijelaskan oleh Carl Gustav Jung. Kita semua terhubung dengan alam bawah sadar kolektif ini. Mungkin istilah lainnya adalah alam semesta. Ada alam semesta fisik, dan ada alam semesta non fisik. Tubuh kita berada di alam semesta fisik, dan pikiran kita berada di alam semesta non fisik. Semuanya berhubungan. Ada juga teori yg mengatakan bahwa waktu itu illusi, dan segalanya yg akan terjadi sebenarnya telah terjadi sehingga bisa kita lihat juga kalau kita kebetulan masuk ke dalam frekwensi yg sesuai. Ini cukup biasa, dan tidak perlu terlalu dipikirkan. Indigo cuma istilah yg banyak salah kaprahnya. Menurut Joko, Indigo itu yg lahir ditahun 1980-an. Kalau lahir di tahun 1990-an, maka secara teoritis sudah masuk era lain lagi. Biasanya pembawaannya lebih halus, tidak sekasar indigo. Indigo itu kasar. Jujur dan kasar. Lahir di tahun 1980-an. Satu dekade setelah itu, yaitu yg lahir mulai tahun 1990, pembawaannya sudah beda. Bisa dikatakan makin lama makin halus.
Atau makin lebay?

Istilah indigo sudah banyak disalah-kaprahkan sehingga kita tidak bisa tahu pasti apa yg dimaksud kecuali melihat definisinya. Kalau yg dimaksud indigo adalah anak yg sensitif, maka anak seperti itu ada di setiap generasi. Cuma bedanya, semakin lama anak yg lahir semakin jujur dan halus. Kalau di masa sebelumnya seorang anak tidak dianggap sebagai manusia sampai besar, maka di masa kini seorang anak sudah semakin dianggap, sudah diminta pendapatnya bahkan sejak anak itu masih kecil. Ada revolusi pendidikan karena kita semakin terdidik. Yg semakin terdidik adalah orang-tuanya, sehingga anak-anak semakin diperhatikan dan semakin dianggap. Karena diperhatikan dan dianggap, maka jelas semua anak bisa disebut indigo. Semua anak memulai hidupnya dengan jujur, apalagi kalau lingkungan keluarganya mendukung dan orangtuanya sangat berpendidikan. Kebalikannya, anak-anak yg dilahirkan dari keluarga munafik, sampai kapanpun akan susah sekali menjadi indigo. Mereka menjadi tawanan. Dalam hal ini tawanan budaya, biasanya berbentuk adat atau agama. Adat dan agama selalu mengurung kebebasan manusia. Joko Tingtong juga memulai hidupnya sebagai tawanan. Untung bisa melepaskan diri.

Joko tahu ada anak-anak kritis yg bertanya kepada orang-tuanya, Allah agamanya apa? Orang tua yg berpendidikan akan menjawab dengan jujur bahwa Allah adalah konsep yg kita ciptakan untuk merujuk kepada sesuatu yg kita anggap sebagai pencipta. Orang tua yg tidak berpendidikan justru akan membikin runyam anaknya sendiri yg kritis itu dengan bilang bahwa Allah melarang bertanya. Banyak hal tergantung dari orang-tua. Orang-tua yg tidak terdidik akan melahirkan generasi tidak terdidik. Anda yg tidak bisa mendidik diri sendiri tidak akan bisa menjadi indigo. Atau mungkin, malahan menjadi terlalu indigo. Terlalu indigo juga tidak baik.

Indigo cuma istilah saja, dan banyak sekali salah kaprahnya sehingga bahkan anak-anak bermasalah juga bisa saja dilabel sebagai indigo. Daripada bilang anaknya bermasalah, lebih baik bilang anaknya indigo. Karenanya, secara umum Joko tidak suka pakai istilah indigo. Joko cuma tahu bahwa semakin lama anak-anak yg lahir semakin sensitif, semakin cerdas, semakin jujur, dan merupakan kewajiban orang-tua untuk bisa mengimbangi anak-anak yg sejak lahir sudah memiliki bawaan untuk menjadi generasi yg lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tanggung-jawabnya lebih banyak berada di orang-tua daripada di anak. Generasi-generasi sebelumnya biasanya membebankan segalanya kepada si anak. Tetapi, sejak era 1980-an telah lahir banyak anak yg tidak bisa lagi ditekan dengan berbagai kekerasan atas nama agama dan Allah, tradisi dan kebiasaan. Mereka yg lahir di era berikutnya, di tahun 1990-an lebih halus bawaannya. Tidak kurang keras kepalanya dibandingkan generasi indigo yg lahir tahun 1980-an, tetapi temperamennya lebih halus. Lebih bisa menerima orang lain apa adanya selama mereka sendiri bisa berjalan tanpa harus ditekan. Tekan-menekan adalah kata kunci disini. Sejauh mana kita mau menekan anak-anak kita untuk mengikuti jalan pikiran kita?

Jauhilah tekan-menekan itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar