16 Jun 2013

Takut Akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan?




Semua pengalaman kita berkaitan dengan simbol. Simbol adalah sesuatu yg merujuk kepada sesuatu yg lain sama sekali. Tidak seperti bentuk fisik yg ditampilkan, melainkan ada arti lebih mendalam. Lebih spiritual, lebih membatin, seperti figur Semar di dalam kebudayaan Jawa, yg jelas jauh lebih spiritual sekaligus membumi dibandingkan figur fisik gendut dan berjalan terengah-engah. Semar adalah simbol dari intuisi kita. Roso kalau di Jawa. Kristus kalau di tradisi Kristen. Dan bahkan Nur Muhammad, kalau kita pakai tradisi Islam sufi.

Mungkin anda pertama kali akan menduga bahwa Joko Tingtong memberikan resep-resep spiritual. Tidak begitu. Resep spiritual ada dimana-mana. Kita sudah suntuk menampung kiat-kiat menjadi manusia spriritual sejak kita lahir. Saking banyaknya kita sampai lupa yg mana kiat spiritual asli, dan yg mana aksesoris. Akhirnya banyak yg pegang aksesoris dan membuang yg essensial ke tempat sampah dengan alasan tidak berguna. Atau terlalu sederhana. Atau terlalu lugu. Pedahal spiritualitas atau kerohanian manusia memang mengandalkan yg lugu atau sederhana itu. Seperti ikhlas pasrah dan bersyukur. Itu lugu, sederhana, membumi sekali. Tapi dasar dari segalanya. Tanpa ada itu anda akan jungkir balik mencela semua orang sampai anda tidak bisa mengenali diri anda sendiri lagi. Anda telah jadi komentator, pedahal hidup adalah hidup. Bukan untuk dikomentari, tapi untuk dinikmati. Untuk apa hidup kalau tidak bisa menikmati?

Banyak yg berbagi tentang Allah dan agama. Dan Joko sudah tulis berkali-kali dengan sejelas-jelasnya bahwa agama diciptakan, dan bukan muncul begitu saja di tengah umat manusia. Bukan seperti rumput yg muncul begitu saja di tanah lapang ketika musim kering berakhir dan hujan mulai turun. Tetapi ungkapan itu juga tidak benar total, karena bahkan rumput tidak bisa muncul begitu saja. Ketika tanah kering kerontang mulai memunculkan rumput, maka artinya ada yg pas. Benih rumput yg sudah ada di tanah kering itu kena air hujan. Dan berkecambahlah, dan tumbuhlah rumput baru. Sesuatu yg ada muncul karena ada sesuatu sebelumnya. Tidak mungkin manusia ada dari sesuatu yg tidak ada. Kalau manusia ada, maka ada sesuatu yg memunculkan manusia yg sekarang juga ada. Yg memunculkan bisa kita bilang kedua orang tua kita, ayah dan ibu, melalui kopulasi atau hubungan kelamin. Dan lahirnya juga melalui alat kelamin wanita, bukan dihantarkan oleh burung-burung angsa seperti dongeng yg pernah dan mungkin masih ada di masyarakat Barat. Ada mitos leluhur yg keluar dari batu, ada yg turun dari atas langit, ada yg datang lewat laut. Tapi siapa yg pertama kali lahir di bumi dan memunculkan begitu banyak ras dan etnik manusia belum bisa dibuktikan dengan tuntas sampai saat ini. Kita bisa saja bilang kita keturunan kera, dan Joko tidak percaya itu. Tidak mungkin manusia lahir dari kera.

Gen dan chromosome manusia tidak sama dengan yg dimiliki kera. Mungkin mirip, tapi tidak sama. Seperti kucing yg tidak mungkin dilahirkan oleh seekor anjing. Mirip memang, tapi tidak sama. Serupa tapi tak sama. Yg lebih mungkin, ada pergolakan batin di diri orang tertentu, yg memunculkan inspirasi tentang Allah. Lalu diceritakanlah inspirasi itu kepada manusia-manusia lainnya yg, biasanya, percaya bahwa Allah datang kepada orang tertentu itu. Dan orang tertentu itu bisa juga benar-benar merasa kedatangan Allah. Mungkin merasa kedatangan malaikat, merasa tiba-tiba ada sesuatu yg muncul sendiri di dalam pikirannya dan menggerakkannya untuk berbicara. Bernubuah dalam istilah Timur Tengah. Atau ndawuh dalam istilah Jawa. Menjadi nabi dalam istilah bahasa Indonesia. Dan itu masih berjalan sampai sekarang, tidak pernah putus. Nabi adalah orang yg merasa dirinya bisa melihat masa depan. Terkadang ada orang lain yg percaya, terkadang tidak ada yg percaya. Terkadang diangkat secara resmi sebagai seorang nabi. Seringkali tidak. Nabi datang dan pergi, dan umat manusia berjalan biasa-biasa saja. Ada perang dan damai. Ada kemakmuran dan kesengsaraan. Ada masa kegelapan, ada masa kebangkitan. Dana da abad pencerahan satu dunia, diramalkan oleh para nabi di berbagai bangsa dan banyak kurun waktu sebagai abad kita sekarang, 21 Masehi.
           
Pencerahan spiritual satu dunia telah berjalan, facebook sudah menjarah kemana-mana, dan tidak ada lagi yg bisa ditutup-tutupi. Kalau doa bisa menyembuhkan orang sakit, maka meditasi juga bisa. Kalau satu ayat bisa diamalkan berkali-kali sebagai wiridan, maka mantera Hindu Buddha juga bisa digunakan untuk maksud sama. Hasilnya juga sama. Kurang lebih sama apabila frekwensi gelombang otak kita turun dan masuk ke dalam gelombang otak doa khusyuk. Yg tidak lain dan tidak bukan adalah gelombang otak meditasi mendalam. Ketika napas melambat, dan pikiran berhenti. Ketika kita hanya sadar bahwa kita sadar. Ketika kita tidak bisa berpikir jelek tentang orang lain maupun dirikita sendiri. Dan ketika saat itu muncul, apapun yg baik-baik dan diucapkan oleh orang lain akan dengan mudah kita aminkan. Tinggal bilang amin saja, dan biarkanlah Alam Semesta membawa segala yg dimohonkan itu menjadi kenyataan.Kurang lebih seperti itulah praktek kerohanian di semua bangsa. Semua agama dan kepercayaan. Semua budaya. Penggunaan gelombang otak rendah untuk memohon kepada Alam Semesta melalui diri kita sendiri. Amin artinya jadilah. Atau suku kata Om di dalam tradisi Hindu Buddha. Maknanya sama saja. Amin dan Om digunakan untuk menutup doa atau mantera. Artinya jadilah!

Kalau anda berada di kondisi doa khusyuk, apapun yg anda aminkan berkemungkinan besar untuk jadi kenyataan. Tapi kalau anda habis berlarian di lapangan, seribu amin yg anda ucapkan bahkan akan mubazir. Tak ada gunanya. Gelombang otak beda akan memunculkan hasil berbeda. Kuncinya adalah frekwensi gelombang otak, dan bukan pemikiran. Bahkan bukan pula pemikiran, walaupun konon itu dihasilkan oleh Sulaiman, orang yg disohorkan paling bijaksana di jamannya.

Masa sih paling bijaksana? kata Joko Tingtong.

Oh, lihat saja di percakapan berikut.

T = Mas Joko, saya ingin ikut menambahkan apa yang pernah saya tahu: MANUSIA ITU PERCAYA APA YANG INGIN IA PERCAYAI. Ini merupakan sifat dasar manusia yang sekaligus kelemahannya. Jadi ia memangnya INGIN percaya sama yang ini, bukan yang itu, sehingga akhirnya lebih banyak kepada preferensi keinginannya daripada kepercayaannya pada realitas apa adanya. Saya beri contoh sederhana: jika seseorang memilih suatu agama, maka ia akan cenderung mempelajari agama itu dan hanya di lingkup itu-itu saja; maka ketika ia diberikan informasi lainnya yang berbeda dengan agama yang ia yakini, maka ia akan cenderung tidak mau terima, karena memang INGIN percaya apa yang ia percayai dan INGIN tidak mempercayai agama lainnya. Terlebih lagi diperparah adanya indoktrinasi oleh pimpinan institusi agamanya dengan ditakut-takuti bahwa ia akan sesat atau terpengaruh imannya kalau membaca pengetahuan agama lainnya; jelas ada ketakutan dari para pimpinan institusinya kalau akan kehilangan pengikut, padahal kalau memang ajarannya tepat, maka seharusnya malahan memberikan inspirasi yang mencerahkan bukan? Bahkan di suatu agama, peraturannya begitu keras dan harus ditaati penuh oleh si pengikutnya, dengan dibumbui ritual wajib yang ketat, amal, pahala,surga, neraka, dll. Kelemahan di atas juga terjadi pada bidang ilmu lainnya dengan kecenderungan sama. Bagaimana menurut pendapat Mas Joko?

J = Ya, pada umumnya manusia di Indonesia masih seperti itu. Yg memotivasi manusia beragama untuk berperilaku tertentu ternyata rasa takut. Takut kehilangan iman dsb. Pedahal, kalau benar-benar beriman, maka tidak perlu takut. Kalau membaca sudut pandang yg berbeda saja sudah takut duluan, maka jelas itu bukan iman melainkan iman-imanan.

T = Saya cukup heran dengan kalimat “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” yang menurut saya aneh. Belum kenal saja sudah takut, ini suatu indoktrinasi yang menyesatkan. Manusia diajari untuk takut, aneh kan? Bukankah lebih baik diberikan penjelasan disertai inspirasi untuk kesadaran dan meningkatkan kesadarannya sendiri? Padahal pada penjelasan lainnya dianjurkan supaya kita lebih mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana kita bisa mendekatkan diri dengan cara takut? Mengapa harus takut? Kalau kita sadar dan menyadari sepenuhnya siapa dan apa kita ini, maka kita lebih empati lagi dengan rasa syukur dan merasakan kedamaian di dalam hati kita, jadi dari mana itu datangnya takut dan apa memang harus takut? Bagaimana pandangan Mas Joko?

J = The fear of the Lord s the beginning of wisdom, kata Nabi Sulaiman, orang yg disohorkan sebagai manusia paling bijak di jamannya. Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan? Menurut saya, Sulaiman mau bilang seperti itu adalah urusannya sendiri. Dia hidup sekitar 3,000 tahun sebelum kita dimana manusia masih percaya takhayul. Sikap takut-takut seperti itu mungkin cocok di jamannya. Kalau sekarang sudah tidak cocok walaupun kata-kata seperti itu masih ada di dalam kitab suci yg digunakan oleh umat Yahudi dan Nasrani. Memang ada di Tanakh orang Yahudi dan Alkitab orang Kristen.

T = Filipus yang sudah sekian lama bersama Yesus, ternyata tidak tahu siapa ‘Aku’. '’Aku’ yang dimaksud Yesus dalam pernyataan-pernyataannya memang bukan hal yang mudah dijelaskan, sebab di tempat lain Yesus mengatakan: ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." (Yohanes 8:58). Di bagian lain di Kitab Suci, ditulis bahwa Yesus menyatakan: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30), di bagian lain lagi Yesus mengajarkan berdoa kepada Bapa (Doa Bapa Kami – Matius 6; Lukas 11). Hm... bukankah akan rumit jika dijelaskan, apa/bagaimana/siapa ‘Aku’ dan ‘Bapa’ yang dimaksud Yesus itu? Sangat besar kemungkinan terjadi beda pemahaman antara orang yang menjelaskan dengan orang yang kepadanya dijelaskan, lebih-lebih jika orang yang menjelaskannya-pun hanya berbekal pengetahuan "tentang". Apalagi yang "tentang" itu-pun dari “katanya”?

Untuk yang di atas ini, bisa saya tambahkan: Aku adalah saya, saya adalah aku, aku bukan saya dan saya bukan aku, tetapi aku dan saya adalah satu. Bagi yang menyadarinya, pasti memahami maksud kalimat di atas. Mas Joko kan sering bilang: Aku adalah aku, yang sekarang mungkin bisa dipertajam menjadi seperti kalimat di atas (inilah kelebihannya bahasa Indonesia, bisa ada aku dan saya, yang tidak terdapat pada bahasa lain, sehingga sangat mudah mendeskripsikan informasi esoteris ini). Jadi tetap diperlukan kesadaran penuh untuk memahami penjelasan-penjelasan atas realitas itu sendiri. Semua yang ada juga merupakan olah pikiran kita sendiri... Mungkin bisa ditambahkan lagi Mas Joko?

J = Yg anda tuliskan adalah interpretasi teologis. Bisa saja anda menjelaskan dengan cara itu. Saya sendiri cenderung untuk percaya bahwa Filipus tahu bahwa ada skenario terselubung dalam penyaliban Yesus. Ada kemungkinan penyaliban itu tidak terjadi secara fisik, dan Yesus tidak mati. Ada juga kemungkinan orang lain yg disalib. Penyaliban di masa penjajahan Romawi di Palestina merupakan hal cukup umum, dilakukan terhadap para pelaku kriminal kelas berat. Bisa saja orang lain yg disalib dan pengikut Yesus mengalami halusinasi seolah-olah Yesus yg disalib, tetapi ada orang seperti Filipus yg tahu bahwa orang yg disalib bukanlah Yesus. Hal-hal seperti ini tetap terbuka bagi diskusi yg sehat, tanpa perlu ngotot mempertahankan satu pendapat atau pendapat lainnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak pernah percaya Yesus benar-benar terangkat ke Surga seperti burung. It's impossible!

T = Agar kita mengurangi resiko mengerti "tentang" maka ada baiknya kita selalu belajar untuk menerima segala informasi apapun tanpa menilai atau menghakimi bahwa informasi ini begini atau begitu. Pengalaman saya pribadi lebih sering menerima informasi bermacam-macam dan uniknya, info-info ini ada kaitannya antara info yang pernah sebelumnya saya terima beberapa waktu yang lalu. Jadi saya selalu tidak menyimpulkan terlebih dahulu, saya cenderung membiarkan semua info mengalir masuk ke dalam diri saya dan membiarkan alam semesta yang menyeleksinya sendiri. Kepingan-kepingan info itu akhirnya membentuk seperti jigsaw puzzle yang terangkai, dan itupun tidak lengkap selesai, karena selalu bertambah. Disinilah saya sadar bahwa kita harus banyak belajar. Bayangkan otak kita sebesar ini ternyata hanya terisi sebesar 10% saja yang artinya masih ada ruang 90% yang belum kita isi. Sayang kan? Pengalaman Mas Joko sendiri bagaimana?

J = Pengalaman saya seperti itu juga.


http://sphotos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/181242_480334765377003_1039005764_n.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar