7 Jun 2013

agama dan negara

Kalau agama menjadi dasar kebijakan negara, siapa yg akan membuat kebijakan? Apakah Allah? Tentu saja bukan. Kebijakan atau keputusan apapun selalu dibuat oleh manusia. Atas nama Allah, tentu saja. Dikonsepkan berasal dari Allah, pedahal itu keputusan manusia. Di negara-negara terbelakang masih seperti itu situasinya. Mereka pakai hukum yg konon diturunkan oleh Allah. Pedahal itu hukum-hukum manusia. Manusia membuat hukum, dan bilang asalnya dari Allah.

Dewa-dewi dalam agama-agama kuno merupakan representasi dari aspek-aspek tertentu di alam semesta. Bisa berupa aspek fisik, misalnya Dewa Matahari. Simbol dari pemberi kehidupan. Bisa juga aspek kejiwaan manusia, seperti Dewa Siwa, simbol dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, dewa-dewi ini cuma simbol saja, dan bukan realitas akhir atau hakekat dari apa yg mau dikomunikasikan. Kuno artinya berasal dari jaman dulu. Ada yg sudah punah, ada pula yg masih hidup seperti Hinduisme. Peta saja, dan bukan wilayahnya. God atau Allah merupakan konsep, cara bekerjanya sama seperti konsep dewa-dewi.

Peta pulau Jawa bukanlah pulau Jawa secara fisik. Dewa Siwa sebagai simbol manusia adalah peta. Manusia seutuhnya adalah diri kita sendiri. Kalau mau disimbolkan, harus digunakan banyak dewa-dewi. Ketika kita menyembah Siwa, maka kita menyembah kesadaran kita sendiri saja. Salah satu aspek dari kejiwaan kita, dan yg tertinggi memang. Dari kesadaran itu muncullah segala sesuatu. Muncul dewa-dewi lainnya. Muncul asma-asma Allah.

 Elohim atau Allah yg muncul di bangsa Yahudi lain lagi. Mulanya dikonsepkan bahwa ada Dewa yg berada diluar ciptaannya. Terpisah sama-sekali, dan melakukan penciptaan. Ini konsep asli dari Elohim yg tentu saja berubah terus. Lama kelamaan diperhalus oleh nabi-nabi Yahudi yg muncul setelah Musa. Tetapi konsep dasarnya tetap sama saja, yaitu bahwa ada Dewa yg berada diluar kesadaran manusia. Bahkan diluar alam semesta.

Agama-agama di India, Cina dan Jepang tidak begitu. Disini, ada pengertian bahwa manusia secara fisik dan kesadarannya sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Berkaitan. Dan Dewa yg memberikan hukum-hukum seperti Elohim tidak dikenal. Yg dikenal adalah hukum-hukum alam biasa yg diberikan simbol sebagai Dewa-Dewi. Dewa Bayu untuk simbol angin. Dewa Agni untuk simbol api, dll. Allah di kebudayaan non semitik ini adalah gabungan dari semua dewa dewi itu, dan lebih lagi... karena ada Allah yg tidak terdefinisikan.

Di India disebut Brahman, di Cina disebut Tao.

Di Bali juga ada, dengan simbolnya yg disebut Ongkara.

 Di agama Yahudi, Allah didefinisikan sejak awal mula. Dan diajarkan bahwa Allah ada di luar alam semesta ciptaannya. Allah pegang remote control. Begitu pakemnya. Allah bisa mengirimkan bencana gempa bumi ke Padang sebagai hukuman atas kelakuan Walikota Padang yg memaksa siswi sekolah mengenakan jilbab. Dan kalau walikota Padang masih belum kapok juga, maka bencana demi bencana akan datang terus menerus tidak ada putus-putusnya. Allah menurut konsepsi Yahudi, Nasrani dan Islam selalu seperti itu cara bekerjanya. Allah ada di depan monitor dan siap meledakkan bagian bumi mana saja yg terlalu jahilliyah mau memaksakan syariat. Aceh sudah kena tsunami. Padang kena gempa bumi, dan entah wilayah mana lagi setelah ini.

Alasan bisa dicari-cari, tentu saja. Bisa bilang bencana datang karena memaksakan jilbab. Bisa juga bilang sebaliknya, bencana datang karena tidak pakai jilbab.

What's the difference? Apa bedanya?


(Joko T.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar