Siti Hinggil Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur, ada tangganya, masuk
ke dalam. Memang tanah yg letaknya lebih tinggi dibandingkan tanah
sekitarnya. Di Jawa sudah jarang, tetapi di Bali umum sekali. Semua
rumah Bali asli dibangun di atas tanah yg ditinggikan. Di dalam Siti
Hinggil ini terdapat “makam” Raden Wijaya. Turun temurun semua orang
tahu disinilah tempatnya. Menurut saya ini Pemrajan atau Sanggah
Pemujan. Tempat pemujaan leluhur bagi anggota keluarga Dinasti Wijaya yg
harusnya tinggal disini juga. Di sebelah Pemrajan pendiri dinastinya.
So, di lokasi inilah Keraton Majapahit yg pertama berada. Memang disini.
Bisa dipastikan keratonnya tidak megah berlebih-lebihan, melainkan sederhana saja.
Pastinya
tidak jauh beda dengan Puri atau kediaman raja di Bali. Dan jelas beda
jauh dengan Keraton Solo atau Keraton Yogya yg sudah banyak dipengaruhi
oleh budaya Cina. Majapahit kena pengaruh Cina juga, tetapi jauh lebih
sedikit. Semakin ke arah kita, pengaruhnya semakin kuat. Setelah pusat
kerajaan pindah ke Jawa Tengah, misalnya, keraton pembangunannya
menggunakan fengshui. Baru-baru ini saya dan beberapa teman, termasuk
Master fengshui Gunadi Widjaja mengunjungi Imogiri, tempat pemakaman
raja-raja Jawa. Bisa terlihat jelas oleh Gunadi Widjaja bahwa Imogiri
dibangun mengikuti prinsip-prinsip fengshui. Lalu saya bilang, itu
arsiteknya, dimakamkan persis di tengah Imogiri. Saya tidak tahu namanya
siapa, pastinya nama Jawa, diberi gelar bangsawan Jawa. Tetapi dia
menggunakan prinsip-prinsip fengshui. Keturunan Cina juga seperti
kebanyakan Wali Sanga? Mungkin.
Yg jelas bagi saya,
Majapahit internasional. Tidak begitu gila keaslian seperti budaya Jawa
bagian Tengah. Kenapa Jawa bagian Tengah begitu gila asli pedahal tidak
ada yg asli disini? Penjelasan saya, karena para pujangga di
keraton-keraton Jawa bagian Tengah adalah keturunan Cina. Sikap anti
asing itu sikap Cina. Bukan sikap Jawa. Sikap Jawa yg asli adalah
sinkretik, menerima semuanya, dan melahirkan sesuatu yg baru. Sama
seperti di Bali dari dulu sampai sekarang. Sikap Majapahit itu sikap
Bali, tidak anti asing. Tetapi sikap Jawa bagian Tengah atau Kejawen yg
anti asing bukanlah sikap Majapahit. Itu sikap yg muncul belakangan
ketika pengaruh Cina sudah semakin kuat. Jadi, dipandanglah oleh para
pujangga istana yg belakangan muncul, seolah-olah Jawa adalah pusat
dunia. Itu cara pandang budaya Cina. Budaya Cina yg memandang dirinya
sebagai pusat, dan lainnya sebagai pinggiran. Kenapa Jawa yg pinggiran
bisa memandang dirinya sebagai pusat dunia? Jawab: Karena pujangga
istana di keraton-keraton yg muncul belakangan adalah keturunan Cina.
Sama seperti hampir semua Wali Sanga, para pujangga keraton adalah
keturunan Cina. Makanya baju pria Cina akhirnya dianggap asli sebagai
baju Jawa, pedahal itu baju kungfu, masih dikenal sebagai baju
peranakan. Itu contoh kecil saja. Terlalu banyak pengaruh Cina di budaya
Jawa, dan budaya-budaya etnik lainnya di Indonesia, yg tentu saja tidak
salah. Bagus malahan. Saya cuma mau membawa anda untuk membuang sikap
etnosentris. Sikap memandang budaya sendiri sebagai paling unggul. Itu
sikap negatif yg asalnya dari Cina juga, terbawa ke Jawa karena kaum
intelektual maupun spiritual di Jawa masa lalu keturunan Cina.
Kekuatan
Indonesia adalah karena kita campuran macam-macam keturunan. Tanpa ada
campuran dengan pendatang, gen kita akan lemah sekali. Yg gen-nya kuat
adalah orang Amerika. Kenapa? Karena mereka keturunan macam-macam.
Aslinya orang-orang Nusantara tidak anti asing. Mataram Kuno, yg
diperintah Wangsa Sanjaya, jaman Borobudur dan Prambanan, kemungkinan
besar dipenuhi oleh imigran dari India. Beberapa ribu orang. Dan itu
tidak seberapa dengan beberapa ratus tahun kemudian. Mulai jaman Kediri,
Singosari, Majapahit dan Mataram Islam, ketika imigrasi dari Cina
datang tanpa henti. Tidak sekaligus, tetapi konstan. Menurut saya
rata-rata penduduk Pantura (Pantai Utara Jawa) memiliki campuran Cina.
Makanya ada yg putih sekali. Walaupun ada juga yg item sekali atawa
keling, walaupun jarang. Setelah Majapahit runtuh, yg menguasai
bandar-bandar besar adalah keturunan Arab. Makanya banyak sultan-sultan
Nusantara adalah keturunan Arab. Atau, mungkin lebih tepat campuran
antara keturunan Arab dan Cina Muslim. So, dimana anti asingnya?
Kalaupun ada sikap anti asing, asalnya dari sastra keraton Jawa. Dan,
hipotesa saya, itu dikarenakan pujangga keratin-keraton Jawa adalah
keturunan Cina. Makanya saya suka merasa lucu sendiri kalau ada teman yg
fanatik dengan budaya. Fanatik dengan budaya asli. Mana ada budaya kita
yg asli selain yg primitif?
Rumah-rumah adat
Batak, Toraja, sampai ke Flores dan Timor semuanya asli. Motif ulos
Batak itu asli, di Bali namanya endek. Di Jawa namanya lurik, dan sudah
dibuat dengan mesin. Dan mengenakannya cukup untuk pinggang ke bawah,
atasnya semua telanjang. Baik lelaki maupun perempuan semua telanjang
dada.
Konsep-konsep Hindu-Buddha marak di semua etnik
Nusantara, bahkan masuk ke etnik-etnik yg dianggap terbelakang sampai
akhir-akhir ini. Apa yg dianggap “asli” di etnik-etnik seperti Batak,
Minahasa, Dayak, Toraja, dll… kalau diteliti, kemungkinan besar
merupakan konsep Hindu. Alam spiritual dipengaruhi oleh pemikiran Hindu,
sedangkan alam material banyak dipengaruhi oleh Cina. Porselin Cina
sangat dihargai di Nusantara, untung masih bias diselamatkan sebagian
oleh orang Belanda yg mengumpulkannya, dan ketika meninggal
menyumbangkan seluruh koleksinya kepada negara (Hindia-Belanda saat
itu). Itulah asal muasal koleksi Museum Nasional kita. Budaya materi
sangat dipengaruhi Cina. Ini budaya materi sehari-hari, seperti
makan-minum, pakaian, dan bentuk rumah. Kalau budaya spiritual, banyak
dipengaruhi oleh India. Yg paling saya benci adalah mereka yg tidak tahu
malu mengakui adaptasi budaya dari luar sebagai asli. Gambang Kromong
di Jakarta, contohnya, diakui sebagai budaya asli Betawi. Pedahal jelas
itu budaya kaum peranakan, atau keturunan Cina di Jakarta masa lalu.
Musik Cina. Lebih jujur kalau kita akui sebagai budaya peranakan.
Peranakan artinya dikembangkan di wilayah lokal, tapi tidak asli.
Aslinya dari luar. Musik keroncong juga tidak asli, melainkan adaptasi
dari musik Portugis. Semua baju adat Nusantara juga tidak ada yg asli,
kebanyakan adaptasi bulat-bulat atau setengah bulat dari pakaian Cina.
Yg asli cuma busana Papua which is no busana, kalau menurut standard
kita di Indonesia bagian Barat.
Yg menarik adalah
budaya Barat. Hukum Barat yg digunakan Belanda mengubah cara pandang
tradisional sehingga Indonesia bisa langsung bergaul dengan masyarakat
internasional. Kalau tidak begitu akan runyam karena hukum adat
Indonesia merupakan hal asing di bumi ini. Tidak dimengerti tetangga
kiri kanan. Dianggap alien atawa bawaan dari makhluk angkasa luar. So,
budaya Barat banyak mempengaruhi pemikiran kita bermasyarakat. Dan itu
bagus. Secara sosiologis, yg paling siap adalah keturunan Cina dan Arab
karena Belanda memperlakukan hukum Barat kepada kedua golongan ini.
Hukum Barat adalah yg digunakan terhadap orang-orang Barat sendiri saat
itu. Dan keturunan Cina dan Arab juga akhirnya dikenakan hukum Barat.
Makanya ketika Indonesia merdeka mereka siap. Mengerti hukum Barat. Dan
itu bisa dilihat sampai sekarang dari banyaknya pengacara beken dengan
nama Arab. Warisan dari perlakuan Belanda di masa lalu, yg terbawa
sampai bergenerasi-generasi. Bagus, positif, sama sekali tidak jelek.
Kita malahan ingin lebih menjadi Barat lagi sekarang. Ingin bebas
korupsi. Itu apaan kalau bukan kebarat-baratan? Total kebarat-baratan.
Pemerintahan bersih adalah ciri masyarakat Barat. Kita kurang apa?
Kurang Barat. Harus lebih Barat lagi. Harus lebih bersih lagi, harus
lebih makmur lagi, harus lebih egaliter lagi. And that’s spirituality
also. Itu juga spiritualitas manusia. Yg membumi, dan tidak di
awang-awang.
(sumber: salah satu e-book Leonardo Rimba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar