Joko Tingtong
tidak lagi membaca kitab-kitab yg disucikan manusia, itu dilakukannya
dulu, bertahun-tahun yg lalu, ketika sedang belajar menemukan kuncinya.
Ketika kuncinya sudah ditemukan, Joko tidak mau lagi buka kitab suci.
Saya buka kitab aslinya sekarang, langsung baca dari sana. Kitab besar
namanya alam semesta, dan kitab kecil namanya tubuh saya. Kuncinya ada
di antara keduanya, namanya kesadaran saya.
Kesadaran saya mampu berpikir secara logis, berdasarkan metode induksi deduksi. Induksi artinya mengumpulkan bukti dari setiap unit pengamatan. Satu bukti dikumpulkan, ditambahkan ke bukti lainnya, lama-lama bukan menjadi bukti lagi melainkan bukit. Bukit kumpulan bukti. Dari situ dilihat apa persamaannya, dan apa perbedaannya. Kesimpulan yg diperoleh namanya hasil dari metode induksi. Deduksi adalah kebalikannya. Berdasarkan kesimpulan umum, dibuatlah asumsi bahwa pengamatan-pengamatan berikutnya akan memperlihatkan hasil sama. Induksi adalah metode dari khusus ke umum. Deduksi adalah metode dari umum ke khusus. Generalisasi atau kesimpulan umum tidak langsung jadi, melainkan dibuat lebih dahulu berdasarkan pengamatan khusus. Setelah jadi barulah dijadikan patokan untuk menduga hasil yg akan diperoleh dalam pengamatan khusus berikutnya. Kalau semuanya pas, berarti generalisasi bisa dipertahankan terus. Namanya teori. Kalau tidak pas, berarti teori tidak bisa dipertahankan. Harus dibuat teori baru, dengan tahapan yg sama. Inilah yg namanya metode ilmiah.
Atau menemukan jawaban secara intuitif. Intuisi bekerja berdasarkan data yg sudah masuk lewat panca indera kita, baik secara sadar maupun tidak disadari. Alam bawah sadar kita selalu menyambung dengan alam sadar. Namanya kesadaran. Walaupun kita tidak secara sadar berpikir, sebenarnya kesadaran kita selalu berpikir, mengolah data. Sama saja seperti komputer raksasa yg bisa bekerja sendiri tanpa henti. Mengolah dan mengolah data. Sama saja seperti tubuh kita yg juga tidak pernah berhenti mengolah. Mengolah dan mengolah energi. Walaupun kita meditasi, walaupun kita tidur, tubuh dan kesadaran kita tidak pernah berhenti bekerja, mengolah energi dan data. Hasil akhirnya adalah kehidupan fisik dan intuisi. Intuisi adalah pengetahuan yg muncul begitu saja di dalam kesadaran kita. Pokoknya tahu. Tahunya dari mana tidak bisa atau susah sekali diurutkan. Saya bisa tiba-tiba tahu bahwa semua ajaran agama merupakan hasil budi daya manusia. Budi adalah akal pikiran, dan daya adalah usaha fisik. Hasil berpikir dan berolah raga. Produk budaya. Menggunakan konsep-konsep seperti berbagai Dewa Dewi dan Allah. Bahkan teknik-teknik meditasi juga merupakan hasil budaya. Yg bukan produk budaya adalah tubuh fisik kita. Itu murni hasil alam. Bertemunya sel telur dan sperma sehingga menghasilkan manusia baru.
Bahasa Inggrisnya Nature and Nurture, Alam dan Didikan. Tubuh kita adalah alam, dan cara berpikir kita adalah didikan. Didikan orang tua kita. Orang tua kita dididik oleh orang tua mereka lagi, begitu turun temurun. Sedangkan tubuh fisik kita tidak dididik. Tanpa perlu diajari, kita tahu bagaimana makan dan minum. Yg perlu dididik adalah caranya, apakah pakai tangan, ataukah pakai sendok dan garpu seperti orang Belanda. Atau bahkan pakai supit seperti orang Cina dan Jepang. Yg alam adalah hasrat makan dan minum, yg bukan alam adalah cara makan dan minum. Ada juga yg remang-remang seperti kecenderungan seksual manusia. Apakah hetero, homo atau biseksual. Makanya orientasi seksual tidak pernah henti didebatkan, mengapa timbul? Jawabannya tidak pernah tuntas. Alam atau didikan? Dari sononya atau hasil budaya? Kita tahu laki-laki dan perempuan yg berkopulasi bisa menghasilkan anak. Tapi ternyata sekarang telah ditemukan cara transplantasi genetik sehingga tanpa berkopulasi bisa juga dihasilkan anak manusia. Tentu saja belum bisa diproduksi karena masih ada pertanyaan tentang etika. Apakah pantas umat manusia menciptakan kloning? Menciptakan manusia baru dari gen-gen manusia yg sudah ada. Bisa dilakukan, tapi belum bisa diputuskan apakah pantas diteruskan karena masih ada pertimbangan historis dan etis.
Bukan dari agama karena umumnya manusia Barat sudah tahu bahwa semua agama merupakan hasil didikan. Bentukan manusia sendiri, sebagai reaksinya terhadap alam sekitar. Walaupun ada konsep Allah, masyarakat Barat tahu bahwa Allah disitu cuma konsep antara. Diciptakan untuk menjadi medium bagi pengajaran moralitas atau sistem bermasyarakat yg etis, bertanggung-jawab terhadap sesama dan diri sendiri. Bukan bertanggung-jawab terhadap Allah yg cuma konsep saja, melainkan terhadap manusia sendiri dan masyarakatnya. Walaupun pakai istilah Allah, dan walaupun juga selalu menomor-satukan Allah, dengan alasan satu bumi dan segala isinya adalah milik Allah, manusia di dunia Barat tahu bahwa Allah cuma pelengkap penderita. Medium, konsep antara. Yg diatur adalah manusia, untuk kepentingan manusia juga. Tujuan agama adalah untuk keteraturan peradaban manusia sendiri. Sayangnya, sebagian agama, terutama di negara-negara berkembang, tetap dipertahankan dalam bentuk kedaluwarsanya. Masyarakat sudah berubah, tetapi agamanya tetap dipertahankan dalam bentuk seperti dipraktekkan ratusan tahun lalu. Di Barat tidak begitu. Masyarakat berubah, agamanya berubah. Yg merubah agama adalah manusia sendiri. Dibentuk oleh manusia, dan diubah oleh manusia juga. Untuk kepentingan manusia sendiri yg mungkin masih menyembah sesuatu yg disebutnya Allah. Atau God dalam bahasa Inggris.
Beberapa hari lalu, Joko Tingtong membaca berita bahwa California telah menjadi negara bagian ke sebelas di Amerika Serikat yg melegalkan pernikahan sejenis. Laki-laki yg menikah dengan laki-laki, dan perempuan yg menikah dengan perempuan. Mungkin semuanya sudah tahu, bahwa negara pertama di dunia yg melegalkan pernikahan homo dan lesbian adalah Belanda. Indonesia adalah kelanjutan dari negara kolonial Hindia Belanda. Seharusnya Indonesia ikut contoh Belanda yg sangat liberal itu. Negara kolonial Hindia Belanda adalah negara liberal, dimana semua agama dan kepercayaan bisa hidup tanpa diganggu. Dimana orang bisa melakukan apa saja dengan hidupnya tanpa dibilang sesat. Sayangnya Indonesia ketinggalan jauh. Makin lama makin jauh. Di jaman pemerintahan Belanda di Indonesia, kebebasan beragama sangat dihormati. Tidak ada sesat menyesatkan. Di jaman kemerdekaan, sebentar-sebentar terdengar teriakan sesat. Pada suatu saat, di tahun 1974, bahkan Indonesia melegalkan pernikahan seagama saja. Mereka yg agamanya berbeda tidak bisa menikah. Suatu kemunduran dibandingkan pada masa penjajahan. Bertentangan dengan hak asasi manusia yg berhak menikah tanpa dibedakan agamanya. Kalau masyarakat maju di bumi yg sama sudah melegalkan pernikahan sejenis, Indonesia masih harus melepaskan diri dari jerat yg dipasangnya sendiri dahulu. Harus membatalkan itu UU yg mensyaratkan perkawinan seagama.
Kenapa? Karena pernikahan sejenis tidak memperhitungkan agama sama sekali. Apa anda pikir homo yg menikah harus seagama? Atau lesbian yg menikah harus seagama juga? Tentu saja tidak. Agama tidak masuk hitungan. Yg penting orangnya tidak terikat pernikahan dengan orang lain, baik sejenis maupun berlawanan jenis. Tapi jalan ceritanya bisa bermacam-ragam, seperti kesaksian berikut.
T = Tetapi benarkah kesakitan jiwaku akibat pelecehan seksual itu sudah bisa kuatasi sendiri, dan tidak menimbulkan trauma bagiku?
J = Benar.
T = Bisa jadi aku telah bisa mencermati diri sendiri selama ini. Merasa tidak traumatik, tapi naga-naganya... jadi, tolong, bantu aku, ya, Joko, dengan segala kemampuan analisa psikologis dan segala kemampuan paranormalmu itu. Toloooongggg... saya coba tuliskan ceritaku, semampuku, sekuatku!
J = Gimana?
T = Kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan sejenisnya, adalah tindakan tak bermoral yang paling potensial menghancurkan perempuan! Aku tahu, karena aku pernah menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual. Dan... aku pernah mengalaminya, ternyata!
J = Ternyata gimana?
T = Pelecehan seksual yang kualami terjadi saat aku dalam masa inkubasi spiritual yang penuh gonjang-ganjing itu, dalam usian 20-an, dilakukan oleh laki-laki yang kukenal baik, yang mengaku hendak membantuku keluar dari kebingungan dan menyelamatkanku. Gimana cara dia melecehkanku, kapan, dimana, aku tidak bisa menceritakannya (jadi, aku ternyata masih trauma, ya?). Aku sadar meski tidak rela, tidak ikhlas melakukannya, tapi aku seperti tidak berdaya untukmenolaknya, aku seperti cuma bisa mengikuti kemauannya begitu saja. Aku ditelanjanginya, dilecehkannya, dan... aneh, benar-benar sebuah mukjizat, aku berhasil mempertahankan diri tidak koitus dengannya!
J = Oh (kaget)
T = Sejak remaja (usia15/16 tahun) aku bisa orgasme tanpa having sex, tanpa masturbasi, bahkan tanpa perlu menggerak-gerakkan pantat segala. Dan setelah kuingat-ingat, aku tidak lagi mengalaminya setelah aku mengalami pelecehan seksual itu.
J = Berarti anda menjadi normal setelah mengalami pelecehan seksual yg tanpa koitus atawa hubungan sex itu. Tadinya anda tidak normal karena bisa orgasme sendiri tanpa dipegang-pegang.
T = Aku pernah mengalami kengerian tentang seks, bahkan hanya dengan membayangkan having sex! Dan abrakadabra, simsalabim! Sampai sekarang aku masih virjin! Entah ini berkah ato musibah!
J = Oh (kaget lagi)
T = Aku tidak punya keberanian untuk menikah. Aku telah pernah beberapa kali berencana hendak menikah, dan aku telah nekat menggagalkannya, dengan segala konsekuensinya! Dan sampai sekarang sepertinya aku tidak punya bayangan menikah. Ada seorang cowok yang kayaknya sampe putus asa mencintaiku setelah berkali-kali melamarku dan kuabaikan, dan masih juga mengharapkanku! Aku menyukainya sebagai kawan, dan punya potensi untuk menyukai lebih dari sekedar kawan, tapi sepertinya aku memang tidak terobsesi dengan pernikahan!
J = Saya juga tidak terobsessi dengan pernikahan.
T = Mengapa yang paling sering muncul dalam mimpi erotisku justru sosok perempuan, bukan laki-laki? Apakah aku punya kadar lesbian yang lumayan? Apakah dalam kehidupan masa laluku aku ini pernah menjadi seorang laki-laki? Apakah kecenderunganku untuk tidak terobsesi dengan pernikahan adalah karena dalam salah satu past livesku, aku ini seorang pendeta perempuan (ada yang bilang, aku ini pernah menjadi seorang pendeta perempuan Hindu yang gimana di zaman jawa kuno dulu!)
J = Kadar lesbian anda lebih dari lumayan. Itu jelas. Kalau segala fantasi tentang past lives tentu saja tidak bisa dibuktikan. Yg bisa dibuktikan adalah perasaan ketertarikan terhadap sesama perempuan yg tentu saja normal saja. Menjadi lesbian ataupun homo bukanlah penyakit. Menjadi bisex juga bukan. Bahkan, mayoritas manusia kemungkinan besar memang bisex, cuma kita dididik untuk menjadi hetero. Kalau mengikuti alam, manusia akan tetap bisex, seperti telah terbuktikan di negara-negara Barat dimana mereka yg memilih untuk menikah dengan sesama jenis sudah mulai diberikan kesempatan.
T = Kayaknya ceritaku sangat kompleks! Maksudku: acak-adul antara pernyataan dan pertanyaan! Segitu aja sudah bikin aku merasa pilu! Huhuhu ... sedih aku!
J = Janganlah bersedih hati karena sebagian besar manusia memiliki hasrat bisexual juga.
by Leonardo Rimba
Kesadaran saya mampu berpikir secara logis, berdasarkan metode induksi deduksi. Induksi artinya mengumpulkan bukti dari setiap unit pengamatan. Satu bukti dikumpulkan, ditambahkan ke bukti lainnya, lama-lama bukan menjadi bukti lagi melainkan bukit. Bukit kumpulan bukti. Dari situ dilihat apa persamaannya, dan apa perbedaannya. Kesimpulan yg diperoleh namanya hasil dari metode induksi. Deduksi adalah kebalikannya. Berdasarkan kesimpulan umum, dibuatlah asumsi bahwa pengamatan-pengamatan berikutnya akan memperlihatkan hasil sama. Induksi adalah metode dari khusus ke umum. Deduksi adalah metode dari umum ke khusus. Generalisasi atau kesimpulan umum tidak langsung jadi, melainkan dibuat lebih dahulu berdasarkan pengamatan khusus. Setelah jadi barulah dijadikan patokan untuk menduga hasil yg akan diperoleh dalam pengamatan khusus berikutnya. Kalau semuanya pas, berarti generalisasi bisa dipertahankan terus. Namanya teori. Kalau tidak pas, berarti teori tidak bisa dipertahankan. Harus dibuat teori baru, dengan tahapan yg sama. Inilah yg namanya metode ilmiah.
Atau menemukan jawaban secara intuitif. Intuisi bekerja berdasarkan data yg sudah masuk lewat panca indera kita, baik secara sadar maupun tidak disadari. Alam bawah sadar kita selalu menyambung dengan alam sadar. Namanya kesadaran. Walaupun kita tidak secara sadar berpikir, sebenarnya kesadaran kita selalu berpikir, mengolah data. Sama saja seperti komputer raksasa yg bisa bekerja sendiri tanpa henti. Mengolah dan mengolah data. Sama saja seperti tubuh kita yg juga tidak pernah berhenti mengolah. Mengolah dan mengolah energi. Walaupun kita meditasi, walaupun kita tidur, tubuh dan kesadaran kita tidak pernah berhenti bekerja, mengolah energi dan data. Hasil akhirnya adalah kehidupan fisik dan intuisi. Intuisi adalah pengetahuan yg muncul begitu saja di dalam kesadaran kita. Pokoknya tahu. Tahunya dari mana tidak bisa atau susah sekali diurutkan. Saya bisa tiba-tiba tahu bahwa semua ajaran agama merupakan hasil budi daya manusia. Budi adalah akal pikiran, dan daya adalah usaha fisik. Hasil berpikir dan berolah raga. Produk budaya. Menggunakan konsep-konsep seperti berbagai Dewa Dewi dan Allah. Bahkan teknik-teknik meditasi juga merupakan hasil budaya. Yg bukan produk budaya adalah tubuh fisik kita. Itu murni hasil alam. Bertemunya sel telur dan sperma sehingga menghasilkan manusia baru.
Bahasa Inggrisnya Nature and Nurture, Alam dan Didikan. Tubuh kita adalah alam, dan cara berpikir kita adalah didikan. Didikan orang tua kita. Orang tua kita dididik oleh orang tua mereka lagi, begitu turun temurun. Sedangkan tubuh fisik kita tidak dididik. Tanpa perlu diajari, kita tahu bagaimana makan dan minum. Yg perlu dididik adalah caranya, apakah pakai tangan, ataukah pakai sendok dan garpu seperti orang Belanda. Atau bahkan pakai supit seperti orang Cina dan Jepang. Yg alam adalah hasrat makan dan minum, yg bukan alam adalah cara makan dan minum. Ada juga yg remang-remang seperti kecenderungan seksual manusia. Apakah hetero, homo atau biseksual. Makanya orientasi seksual tidak pernah henti didebatkan, mengapa timbul? Jawabannya tidak pernah tuntas. Alam atau didikan? Dari sononya atau hasil budaya? Kita tahu laki-laki dan perempuan yg berkopulasi bisa menghasilkan anak. Tapi ternyata sekarang telah ditemukan cara transplantasi genetik sehingga tanpa berkopulasi bisa juga dihasilkan anak manusia. Tentu saja belum bisa diproduksi karena masih ada pertanyaan tentang etika. Apakah pantas umat manusia menciptakan kloning? Menciptakan manusia baru dari gen-gen manusia yg sudah ada. Bisa dilakukan, tapi belum bisa diputuskan apakah pantas diteruskan karena masih ada pertimbangan historis dan etis.
Bukan dari agama karena umumnya manusia Barat sudah tahu bahwa semua agama merupakan hasil didikan. Bentukan manusia sendiri, sebagai reaksinya terhadap alam sekitar. Walaupun ada konsep Allah, masyarakat Barat tahu bahwa Allah disitu cuma konsep antara. Diciptakan untuk menjadi medium bagi pengajaran moralitas atau sistem bermasyarakat yg etis, bertanggung-jawab terhadap sesama dan diri sendiri. Bukan bertanggung-jawab terhadap Allah yg cuma konsep saja, melainkan terhadap manusia sendiri dan masyarakatnya. Walaupun pakai istilah Allah, dan walaupun juga selalu menomor-satukan Allah, dengan alasan satu bumi dan segala isinya adalah milik Allah, manusia di dunia Barat tahu bahwa Allah cuma pelengkap penderita. Medium, konsep antara. Yg diatur adalah manusia, untuk kepentingan manusia juga. Tujuan agama adalah untuk keteraturan peradaban manusia sendiri. Sayangnya, sebagian agama, terutama di negara-negara berkembang, tetap dipertahankan dalam bentuk kedaluwarsanya. Masyarakat sudah berubah, tetapi agamanya tetap dipertahankan dalam bentuk seperti dipraktekkan ratusan tahun lalu. Di Barat tidak begitu. Masyarakat berubah, agamanya berubah. Yg merubah agama adalah manusia sendiri. Dibentuk oleh manusia, dan diubah oleh manusia juga. Untuk kepentingan manusia sendiri yg mungkin masih menyembah sesuatu yg disebutnya Allah. Atau God dalam bahasa Inggris.
Beberapa hari lalu, Joko Tingtong membaca berita bahwa California telah menjadi negara bagian ke sebelas di Amerika Serikat yg melegalkan pernikahan sejenis. Laki-laki yg menikah dengan laki-laki, dan perempuan yg menikah dengan perempuan. Mungkin semuanya sudah tahu, bahwa negara pertama di dunia yg melegalkan pernikahan homo dan lesbian adalah Belanda. Indonesia adalah kelanjutan dari negara kolonial Hindia Belanda. Seharusnya Indonesia ikut contoh Belanda yg sangat liberal itu. Negara kolonial Hindia Belanda adalah negara liberal, dimana semua agama dan kepercayaan bisa hidup tanpa diganggu. Dimana orang bisa melakukan apa saja dengan hidupnya tanpa dibilang sesat. Sayangnya Indonesia ketinggalan jauh. Makin lama makin jauh. Di jaman pemerintahan Belanda di Indonesia, kebebasan beragama sangat dihormati. Tidak ada sesat menyesatkan. Di jaman kemerdekaan, sebentar-sebentar terdengar teriakan sesat. Pada suatu saat, di tahun 1974, bahkan Indonesia melegalkan pernikahan seagama saja. Mereka yg agamanya berbeda tidak bisa menikah. Suatu kemunduran dibandingkan pada masa penjajahan. Bertentangan dengan hak asasi manusia yg berhak menikah tanpa dibedakan agamanya. Kalau masyarakat maju di bumi yg sama sudah melegalkan pernikahan sejenis, Indonesia masih harus melepaskan diri dari jerat yg dipasangnya sendiri dahulu. Harus membatalkan itu UU yg mensyaratkan perkawinan seagama.
Kenapa? Karena pernikahan sejenis tidak memperhitungkan agama sama sekali. Apa anda pikir homo yg menikah harus seagama? Atau lesbian yg menikah harus seagama juga? Tentu saja tidak. Agama tidak masuk hitungan. Yg penting orangnya tidak terikat pernikahan dengan orang lain, baik sejenis maupun berlawanan jenis. Tapi jalan ceritanya bisa bermacam-ragam, seperti kesaksian berikut.
T = Tetapi benarkah kesakitan jiwaku akibat pelecehan seksual itu sudah bisa kuatasi sendiri, dan tidak menimbulkan trauma bagiku?
J = Benar.
T = Bisa jadi aku telah bisa mencermati diri sendiri selama ini. Merasa tidak traumatik, tapi naga-naganya... jadi, tolong, bantu aku, ya, Joko, dengan segala kemampuan analisa psikologis dan segala kemampuan paranormalmu itu. Toloooongggg... saya coba tuliskan ceritaku, semampuku, sekuatku!
J = Gimana?
T = Kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan sejenisnya, adalah tindakan tak bermoral yang paling potensial menghancurkan perempuan! Aku tahu, karena aku pernah menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual. Dan... aku pernah mengalaminya, ternyata!
J = Ternyata gimana?
T = Pelecehan seksual yang kualami terjadi saat aku dalam masa inkubasi spiritual yang penuh gonjang-ganjing itu, dalam usian 20-an, dilakukan oleh laki-laki yang kukenal baik, yang mengaku hendak membantuku keluar dari kebingungan dan menyelamatkanku. Gimana cara dia melecehkanku, kapan, dimana, aku tidak bisa menceritakannya (jadi, aku ternyata masih trauma, ya?). Aku sadar meski tidak rela, tidak ikhlas melakukannya, tapi aku seperti tidak berdaya untukmenolaknya, aku seperti cuma bisa mengikuti kemauannya begitu saja. Aku ditelanjanginya, dilecehkannya, dan... aneh, benar-benar sebuah mukjizat, aku berhasil mempertahankan diri tidak koitus dengannya!
J = Oh (kaget)
T = Sejak remaja (usia15/16 tahun) aku bisa orgasme tanpa having sex, tanpa masturbasi, bahkan tanpa perlu menggerak-gerakkan pantat segala. Dan setelah kuingat-ingat, aku tidak lagi mengalaminya setelah aku mengalami pelecehan seksual itu.
J = Berarti anda menjadi normal setelah mengalami pelecehan seksual yg tanpa koitus atawa hubungan sex itu. Tadinya anda tidak normal karena bisa orgasme sendiri tanpa dipegang-pegang.
T = Aku pernah mengalami kengerian tentang seks, bahkan hanya dengan membayangkan having sex! Dan abrakadabra, simsalabim! Sampai sekarang aku masih virjin! Entah ini berkah ato musibah!
J = Oh (kaget lagi)
T = Aku tidak punya keberanian untuk menikah. Aku telah pernah beberapa kali berencana hendak menikah, dan aku telah nekat menggagalkannya, dengan segala konsekuensinya! Dan sampai sekarang sepertinya aku tidak punya bayangan menikah. Ada seorang cowok yang kayaknya sampe putus asa mencintaiku setelah berkali-kali melamarku dan kuabaikan, dan masih juga mengharapkanku! Aku menyukainya sebagai kawan, dan punya potensi untuk menyukai lebih dari sekedar kawan, tapi sepertinya aku memang tidak terobsesi dengan pernikahan!
J = Saya juga tidak terobsessi dengan pernikahan.
T = Mengapa yang paling sering muncul dalam mimpi erotisku justru sosok perempuan, bukan laki-laki? Apakah aku punya kadar lesbian yang lumayan? Apakah dalam kehidupan masa laluku aku ini pernah menjadi seorang laki-laki? Apakah kecenderunganku untuk tidak terobsesi dengan pernikahan adalah karena dalam salah satu past livesku, aku ini seorang pendeta perempuan (ada yang bilang, aku ini pernah menjadi seorang pendeta perempuan Hindu yang gimana di zaman jawa kuno dulu!)
J = Kadar lesbian anda lebih dari lumayan. Itu jelas. Kalau segala fantasi tentang past lives tentu saja tidak bisa dibuktikan. Yg bisa dibuktikan adalah perasaan ketertarikan terhadap sesama perempuan yg tentu saja normal saja. Menjadi lesbian ataupun homo bukanlah penyakit. Menjadi bisex juga bukan. Bahkan, mayoritas manusia kemungkinan besar memang bisex, cuma kita dididik untuk menjadi hetero. Kalau mengikuti alam, manusia akan tetap bisex, seperti telah terbuktikan di negara-negara Barat dimana mereka yg memilih untuk menikah dengan sesama jenis sudah mulai diberikan kesempatan.
T = Kayaknya ceritaku sangat kompleks! Maksudku: acak-adul antara pernyataan dan pertanyaan! Segitu aja sudah bikin aku merasa pilu! Huhuhu ... sedih aku!
J = Janganlah bersedih hati karena sebagian besar manusia memiliki hasrat bisexual juga.
by Leonardo Rimba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar