Yg namanya aliran dalam agama tidak terhitung banyaknya, dan masing-masing klaim sebagai paling benar sendiri. Kristen Protestan memiliki, mungkin, puluhan ribu denominasi. Denominasi itu semacam pemerintahan gereja yg terpusat. Satu denominasi bisa membawahi ribuan gereja di puluhan negara. Nah, puluhan ribu denominasi Kristen Protestan itu mau diapain? Ya tidak diapa-apain. Islam juga memiliki, mungkin, jutaan ulama. Setiap ulama memiliki cara berpikir sendiri, dan berhak mengeluarkan fatwa. Fatwa itu sahih, dan berlaku bagi si ulama sendiri dan orang yg mau mengikuti dia. Bisa dihitung berapa banyak pendapat? Hindu juga begitu, ribuan aliran. Hindu Bali termasuk kecil kalau dibandingkan dengan Hindu di India di mana segala macam bisa masuk. Buddha memiliki ribuan organisasi dengan nama dan pemikiran berbeda. Ada Buddha Srilanka, Buddha Tibet, Buddha Jepang, Buddha Cina. Saya juga bisa klaim bahwa saya sharing ajaran Buddha. Bisa saja.Biarpun liar, itu bisa saja dilakukan. Belum lagi segala macam agama-agama aneh yg mungkin belum pernah kita dengar seperti Zoroastrianisme, Paganisme, macam-macam. Makanya saya lebih suka sharing pengalaman spiritualitas pribadi, bagaimana kita akhirnya mengerti bahwa segala macam agama dan tradisi itu isinya cuma simbol-simbol saja, dan yg penting adalah kultivasi spiritualitas di diri kita masing-masing.
Biasanya saya memasukkan semua tradisi dan agama itu dalam satu kategori, yaitu kategori budaya. Budaya artinya buatan manusia. Karena buatan belaka, artinya kita bisa memperbaiki apa yg ada sekarang. Perbaiki saja, ubah saja, dan terapkan sendiri. We can make and remake our religions right now. Segala agama-agama itu isinya dogma-dogma yg sebenarnya juga mungkin sudah tidak dipercayai lagi oleh orang yg mengaku sebagai penganutnya. Siapa yg percaya Allah bikin manusia di Taman Firdaus? Siapa yg percaya alam semesta diciptakan Allah dalam waktu enam hari saja? Pedahal kisah seperti itu merupakan bagian dari iman di masa lalu.
Dan mungkin juga bagian dari iman di masa kini bagi agama tertentu. But so what gitu lho! Yg bilang segala mitos itu bagian dari iman adalah para pemimpin agama, sedangkan banyak dari orang-orang yg mengaku menganut agama sendiri sudah tidak perduli lagi dengan mitos-mitos yg, konon, harus diimani itu. Yg penting adalah spiritualitas di diri kita. Bagaimana kita akhirnya bisa menerima bahwa kesadaran kita abadi, bahwa yg namanya Allah atau Tuhan cuma proyeksi dari kesadaran kita saja. Spiritualitas adalah kultivasi kesadaran di diri kita masing-masing.
Dalam Hinduisme, Shakti pasangan Shiva sering diartikan sebagai energi. Memang seperti itu konsep populernya. Itu pengertian umum. Shakti itu "sakti" dalam Bahasa Indonesia; kata bendanya menjadi "kesaktian", or "kesakten" dalam Bahasa Jawa. Kesaktian adalah energi, that's true. But I am here talking about Shakti, Shiva's consort, yg sering digambarkan sedang ML (Making Love) dengan Shiva. I am deliberating on the essence of it in relation to meditation.
Nah, Shiva yg sedang ML dengan Shakti adalah simbol dari manunggaling kawula lan gusti atau union with God. Secara abstrak, hubungan kelamin antara Shakti dan Shiva digambarkan dengan Lingga Yoni. Lingga simbol dari Shiva, dan Yoni simbol dari Shakti. Ternyata, Lingga Yoni itu bentuknya bukan Lingga yg masuk ke dalam Yoni, melainkan Lingga yg berdiri di atas Yoni.
Dengan kata lain, manunggaling kawula lan gusti itu bukan soal masuk memasukkan alat kelamin, melainkan gabungan antara kedua kecenderungan manusia, feminin dan maskulin.
Feminin itu tubuh bagian bawah, cakra sex. Shakti juga simbol dari cakra sex. Dan maskulin itu tubuh bagian atas, cakra mata ketiga. Shiva adalah simbol dari kesadaran manusia atau cakra mata ketiga. Thus, Lingga Yoni adalah union dari kultivasi kedua cakra itu, yg tetap terpisah menjadi dirinya sendiri tapi menyatu dalam aktifitas ML yg goyang-goyang terus tapi tidak pernah mencapai klimaks. Itulah manunggaling kawula lan gusti di mana kesadaran kita menyatu dengan naluri kita, di mana kita sadar bahwa kita sadar. Shiva adalah simbol dari kesadaran kita sendiri saja. Ketika kita sadar bahwa kita sadar, maka kita dikatakan manunggaling kawula lan gusti atau menyatu dengan kesadaran "tinggi". Pedahal tidak tinggi maupun rendah. Kita tetap sebegini saja tapi, maybe, ada juga yg berubah, yaitu pengertian. Kita mengerti bahwa kita adalah itu. Tat Tvam Asi. You are that.
Di dalam Islam, Nur Muhammad merupakan konsep adaptasi dari pemikiran Yunani, dan terutama dipakai di kalangan Sufi saja. Nur Muhammad ini essensinya sama dengan pengertian Firman di Kristen, yg juga meminjam dari pemikiran Yunani. Yesus itu inkarnasi dari "Firman Allah" atau Kalimatullah. Firman Allah adalah Allah. Muhammad adalah inkarnasi dari "Nur Muhammad". Nur Muhammad adalah proyeksi dari Allah. Yesus inkarnasi Allah. Muhammad inkarnasi Allah. Semua manusia inkarnasi Allah, termasuk anda dan saya. Begitu pengertiannya secara hakekat atau essensi.
Kalau mau mengikuti jalur pemikiran keagamaan, yg juga banyaknya tidak terhitung, maka anda tidak akan pernah sampai kepada hakekat atau pengertian tentang essensi, anda hanya akan berputar disitu-situ saja. Untuk mencapai hakekat atau pengertian tentang essensi, maka mau tidak mau kita harus mem-bypass dan memangkas banyak hal yg tidak perlu. Nur Muhammad itu Kristus yg selalu ada bersama Allah. Itu yg saya sebut sebagai kesadaran "tinggi" yg ada di diri anda, saya, dan siapa saja. Tetapi untuk memberikan pengertian yg sangat simple inipun tidak mudah, karena mereka yg merasa sudah bersusah payah puluhan tahun mengumpulkan amal ibadah mungkin akan merasa rugi. Yg jelas, kesadaran yg ada di anda itu memang sama persis dengan kesadaran yg ada di saya dan di siapa saja. Itu juga kesadaran yg sama yg ada di Yesus dan di semua orang yg di-nabikan, di semua orang yg dicap kriminal, maupun di semua orang yg dianggap tercerahkan. Itu Nur Muhammad, kesadaran Kristus, kesadaran Buddha, manunggaling kawula lan gusti, dan banyak istilah lainnya lagi yg semuanya bermakna sama.
(sumber: salah satu e-book tulisan Leonardo R.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar