Sumber
tulisan salah satu e-book karya Leonardo R.:
Pernikahan
berbeda agama dilarang di Indonesia karena pemerintah kita belum
konsekwen
mengimplementasikan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia). Kita semua tahu bahwa
negara kita telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM. Dan isi dari pasal 16,
ayat 1, Deklarasi Universal HAM, sbb:
"Pasal
16 (1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi
kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk
membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di
dalam masa perkawinan dan di saat perceraian."
Karena
pernikahan berbeda agama tidak mau dilakukan oleh pencatatan sipil di
Indonesia, maka artinya sudah jelas bahwa Pemerintah RI mengabaikan
perlindungan HAM Universal. HAM dari mereka yg berbeda agama dan ingin menikah
telah diabaikan oleh Pemerintah RI, dan situasi seperti itu masih berlangsung
sampai saat ini.
Saya
sendiri sangat terperangah ketika memperoleh pertanyaan spesifik tentang hal
itu dari seorang ahli tentang Indonesia berkewarga-negaraan Australia, Prof.
Dr. Julia Day Howell, dari Griffith University, Australia. Tanggal 23 Januari
2009 saya bertemu dengan Prof. Dr. Julia Day Howell di Jakarta. Ini pertemuan
kami untuk pertama-kalinya. Dr. Howell berada di Jakarta untuk memberikan
pidato pembukaan dalam acara "Urban Sufism Days" di Universitas Paramadina.
Ternyata
Dr. Howell dan saya memiliki concern yg sama tentang masa depan kehidupan spiritual
di Indonesia yg berkaitan dengan politik keagamaan negara. Kami sependapat
bahwa sampai saat ini Indonesia masih tidak menghormati HAM Kebebasan Beragama
(Religious Freedom) yg dibuktikan oleh susah atau tidak mungkinnya melakukan
pernikahan antar agama. Kalau mau menikah, maka harus satu agama. Kalau agama
berbeda, maka tidak bisa atau sangat dipersulit.
Ini
jelas melanggar HAM. So, sebagai pengamat dan pelaku spiritualitas kami
memiliki pendapat sama bahwa negara harus sekuler. Harus ada pemisahan tegas
antara negara dan agama. Negara hanya mengurusi kepentingan umum dan tidak
boleh mencampuri urusan keagamaan.
Agama
merupakan domain pribadi dari warganegara. Yg beragama itu pribadi per pribadi,
para manusia yg menjadi warganegara. Negara sendiri tidak beragama karena
negara bukan manusia.
Segala
kolom agama di dalam KTP dan berbagai formulir yg harus kita isi sebaga WNI merupakan
pelanggaran atau setidaknya pelecehan HAM. Negara-negara modern sudah meninggalkan
kebiasaan membedakan manusia berdasarkan agama. Bahkan menanyakan dan mencatat
latar-belakang agama warganegara bisa dianggap pelecehan HAM. Negara modern cuma
mencatat perjanjian sipil antara warganegara yg menikah. Tetapi pernikahan itu
sendiri merupakan domain pribadi dari warganegara, dan negara sama sekali tidak
berhak untukmenentukan bahwa hanya warganegara yg beragama sama yg bisa
menikah.
Berlainan
dengan salah kaprah kebanyakan orang, sebagai pengamat dan pelaku spiritualitas
kami justru mendukung sistem sekuler atau pemisahan tegas antara negara dan
agama. Kenapa demikian ? Jawab: Karena spiritualitas manusia hanya bisa
berkembang dalam masyarakat yg sekuler dimana kesempatan bagi semua manusia itu
sama besar tanpa perlu dibedakan agamanya apa. Agama merupakan urusan pribadi,
mau beragama ataupun tidak beragama merupakan HAM yg ada di diri tiap manusia.
Kami tahu bahwa kultivasi spiritualitas manusia bisa dilakukan dengan metode
apapun, baik melalui agama maupun di luarnya. Dan semuanya itu merupakan domain
pribadi.
Negara
tidak berhak menentukan bahwa hanya mereka yg beragama sama saja yg bias mengikatkan
diri dalam pernikahan seperti praktek administrasi pencatatan sipil di
Indonesia sampai saat ini sehingga orang-orang yg berbeda agamanya dan ingin
menikah terpaksa harus "memilih" salah satu agama. Memilih agama
apapun merupakan HAM yg ada di diri manusia, tetapi "memilih" salah
satu agama karena terpaksa keadaan, yg dalam hal ini dipaksa oleh situasi pencatatan
sipil di Indonesia yg tidak mau menikahkan calon pasangan yg berbeda agama
adalah hal lain. Hal pemaksaan pemilihan agama demi pernikahan seperti
dipraktekkan di Indonesia merupakan pelanggaran HAM, dan bukan HAM Kebebasan
Beragama dimana orang secara sukarela akan memeluk agama yg disukainya atau
bahkan meninggalkan agama yg tidak lagi disukainya.
Mereka
yg beragama berbeda harusnya bisa menikah tanpa dipersulit. Catatan sipil
seharusnya cuma mencatat pernikahan, perceraian, kelahiran, adopsi, dan
kematian, cuma itu fungsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar