sumber: e-book 'Mencari Tuhan Soliloquy dan Dialog Spiritual'
Kemarin
untuk pertama-kalinya saya menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi.
Tidak tanggung-tanggung, saya langsung menjadi saksi. Mahkamah
Konstitusi adalah benteng terakhir di republik ini yg melindungi hak-hak
konstitusional warganegara. Setiap WNI memiliki hak-hak konstitusional
yg tercantum di dalam UUD 1945, tetapi di dalam pelaksanaannya banyak
terdapat berbagai UU yg ternyata bukan melindungi melainkan
menginjak-injak hak konstitusional WNI. Hak konstitusional adalah hak yg
dimiliki setiap orang dari kita karena kita adalah warganegara, dan hak
itu diberikan oleh negara. Negara RI didirikan untuk membela hak-hak
para warganya. Konstitusi atau UUD adalah kontrak antara warga dengan
negara. Warga adalah kita semua dalam kapasitas sebagai pribadi per
pribadi. Dan negara diwakili oleh pemerintah dan berbagai aparatnya.
Karena
ini tentang uji materi (judicial review) terhadap UU yg disinyalir
bertentangan dengan UUD 1945, maka saya telah mempersiapkan segalanya.
Yg diuji adalah UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap
Barang-Barang Cetakan atau yg lebih kita kenal sebagai UU Pelarangan
Buku. Pemohon adalah Darmawan MM, penulis buku 'Enam Jalan Menuju Tuhan'
yg telah memperoleh kehormatan bukunya dibreidel oleh Kejaksaan Agung
RI menggunakan UU tersebut. Pengajuan saksi adalah bagian akhir dari
persidangan sebelum keputusan diambil dan dibacakan. Saksi bisa diajukan
oleh pihak pemohon maupun pihak pemerintah. Saya diajukan oleh pihak
pemohon sebagai orang yg pernah menjadi korban dari UU Pelarangan buku.
Ada sedikit kerancuan kemarin ketika para saksi yg dihadirkan ternyata
belum memiliki pengertian tentang perbedaan antara saksi dan ahli. Saksi
adalah mereka yg mengalami sendiri, mendengar sendiri, atau melihat
sendiri kejadian yg diakibatkan oleh penerapan UU yg digugat itu. Dan
ahli adalah mereka yg memiliki keahlian tentang substansi dari hal yg
digugat itu. Secara gamblang bisa dikatakan bahwa saksi adalah yg biasa
dikenal sebagai korban. Korban yg mengalami sendiri atau melihat sendiri
dampak dari UU yg diterapkan oleh pemerintah.
UU yg
diterapkan oleh Pemerintah RI merupakan turunan dari UUD 1945 yg
menjamin hak-hak warganegara, seperti hak untuk beragama dan menganut
kepercayaan tanpa diganggu-gugat, hak untuk berserikat dan berkumpul,
hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk menyatakan pendapat, dan
berbagai macam hak lainnya. UUD 1945 yg telah di-amandemen bahkan memuat
lebih banyak lagi hak-hak azasi warganegara, karena telah memasukkan
apa yg termuat di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal. Ada HAM
kebebasan berekspressi.
Dan hak itulah yg disinyalir
telah dengan semena-mena diinjak-injak oleh Pemerintah RI melalui UU
Pelarangan Buku. Ada pula HAM untuk memperoleh informasi
sebebas-bebasnya, dan HAM ini juga disinyalir telah dilecehkan oleh UU
tsb. Kita tidak bisa memperoleh buku 'Enam Jalan Menuju Tuhan' di toko
buku karena Kejaksaan Agung melarangnya. Dan kita menjadi korban.
Sebagai korban, kita bisa menjadi saksi. Kita bisa bersaksi di Mahkamah
Konstitusi bahwa hak asasi kita sebagai warganegara RI yg dijamin oleh
UUD 1945 telah dilecehkan oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kejaksaan
Agung. Bahkan tanpa perlu mengerti argumen pro dan kontra tentang
berbagai pasal di dalam UUD 1945, kita bisa bersaksi bahwa hak-hak kita
yg normal, yg asasi, yg mendasar, telah dilecehkan oleh Pemerintah. Dan
kalau itu terbukti maka Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa UU yg
dipertanyakan itu ternyata bertentangan dengan UUD 1945. Bertentangan
artinya inkonstitusional, tidak sesuai dengan konstitusi atau UUD 1945.
Bukan
cuma saya saja yg rancu antara perbedaan saksi dan ahli, melainkan juga
kuasa hukum pemohon, maklumlah Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
baru. Indonesia merupakan negara ke 78 di dunia yg memiliki Mahkamah
Konstitusi yg berhak menguji apakah suatu UU konstitusional atau tidak.
Di AS, lembaga ini dikenal dengan nama 'Supreme Court' dan telah
menghasilkan begitu banyak terobosan dalam bidang HAM, seperti pemisahan
secara tegas antara agama dan negara, penghapusan pembacaan doa dan
pemajangan simbol-simbol keagamaan dari sekolah-sekolah umum, dan
pelenyapan berbagai bentuk diskriminasi terhadap minoritas yg tadinya
dianggap wajar-wajar saja oleh mayoritas. Lembaga Mahkamah Konstitusi
adalah terobosan bagi mandegnya pencapaian tujuan pendirian negara
karena para wakil rakyat dan pemerintah sibuk dengan kepentingan pribadi
atau golongan mereka masing-masing.
Pemerintah bisa
berganti, dan anggota DPR/MPR bisa berganti, hakim konstitusi juga bisa
berganti. Tetapi fungsi Mahkamah Konstitusi tetap. Bahkan Mahkamah
Konstitusi bisa mengadili keputusannya sendiri. Segregasi atau pemisahan
warganegara berdasarkan warna kulit yg tadinya dihalalkan oleh Supreme
Court di AS akhirnya dinyatakan tidak konstitusional oleh Supreme Court
yg sama setelah sekian waktu berlalu. Apa yg tadinya dianggap halal
akhirnya dinyatakan haram. Tanpa pengharaman segregasi kaum kulit hitam
di AS, tidak mungkin Barack Obama akan bisa menjadi presiden AS.
Ternyata sekarang bisa. Dan itu terjadi karena para hakim konstitusi AS
memiliki pengertian tentang HAM.
Setiap orang dari kita
yg merasa menjadi korban dari UU tertentu di NKRI ini bisa menjadi
saksi di dalam sidang uji materi UU tertentu di Mahkamah Konstitusi.
Tidak semua orang dari kita bisa menjadi ahli, yaitu mereka yg diminta
berbicara secara khusus berdasarkan keahliannya. Tetapi semua orang dari
kita bisa menjadi saksi apabila merasa menjadi korban. Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfud MD, menjelaskan hal itu panjang lebar kepada kami
kemarin. Sebagai saksi korban saya cuma membacakan pernyataan sbb:
"Saya
dulu kuliah di Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia, dan
itulah alasannya kenapa pelarangan buku bukanlah hal baru bagi saya.
Sebagai mahasiswa Ilmu Politik di pertengahan tahun 1980-an, banyak
buku-buku ilmiah di bidang Ilmu Politik dinyatakan terlarang oleh
Kejaksaan Agung. Saya ingat ada buku 'Indonesia: the Rise of Capital'
oleh Richard Robison. Ada juga buku 'Suharto and His Generals' oleh
David Jenkins. Keduanya orang Australia dan keduanya kena cekal karena
menulis dua buku itu. Mereka tidak bisa datang ke Indonesia karena
pemerintah menerapkan cegah dan tangkal. Bukunya dilarang beredar, dan
orangnya dicegah dan ditangkal. Tentu saja sekarang mereka bisa datang
ke Indonesia setiap saat. The cekals sudah dianulir. Rejim Suharto sudah
bubar, dan bubarlah the cekals. Buku-buku yg dulu dinyatakan terlarang
mungkin sekarang sudah tidak terlarang lagi. Tetapi siapa yg mau baca?
Masanya sudah lewat, Suharto sudah jatuh. Walaupun ilmiah, isinya sudah
basi. Yg dulu disangkal habis-habisan sebagai "penodaan" oleh Rejim Orde
Baru ternyata terbukti benar. Tergulingnya rejim mengakibatkan apa yg
dulu haram menjadi halal."
Cuma begitu saja. Dan itu
kesaksian berdasarkan pengalaman saya sendiri. Saya mengalaminya
sehingga saya bisa memberikan kesaksian.
Label
spiritual
(134)
pajak
(40)
crochet pattern
(17)
Joko T.
(15)
Leonardo R.
(15)
aksesoris
(15)
gemstone
(15)
cuplikan/ringkasan
(14)
tutorial aksesoris
(13)
web SI
(13)
fashion
(10)
rajut
(10)
soliloquy
(6)
pengembangan diri
(5)
info dan aturan perpajakan
(4)
nengah hardiani
(4)
foto diri
(3)
jahit-menjahit
(3)
politik
(3)
ekonomi
(2)
English
(1)
berkebun
(1)
bermain jiwa
(1)
bisnis
(1)
foto
(1)
kesehatan
(1)
puisi
(1)
resep masakan
(1)
tarot
(1)
yoga
(1)
zodiak
(1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar