S: Mau tanya soal sedulur papat kalima pancer, boleh tahu bagaimana cara mengaktifkannya?
L:
Itu simbol saja. Udara, air, api, dan tanah. Udara itu mata ketiga. Air
itu dimensi emosi atau hubungan antar manusia, letaknya di dada. Api
itu dimensi fisik dan tenaga fisik, letaknya di pusar. Tanah itu dimensi
naluri dan berkaitan dengan hormon-hormon tubuh, letaknya di cakra
seks.
Kalau pancer adalah kesadaran (consciousness) yang
kita miliki. Bisa juga disebut aura kalau mau dikaitkan dengan sesuatu
yang bisa dilihat. Jadi, kalau auranya butek berarti kesadarannya lagi
butek. Begitu saja, simpel. Semua sudah berjalan, kan? Apa lagi?
S: Selama ini Mas, kan mengaktifkan MK3 atau udara, bagaimana yang lain? Bukankah semua harus diseimbangkan?
L:
Ya, jalan sendiri. Biasanya semua itu sudah berjalan kecuali mata
ketiga. Jadi aku yang paling akhir. Setelah itu, semuanya akan bergerak
untuk mencari keseimbangan baru. Secara otomatis. Memang perlu waktu,
perlu dijalani. Yang penting sudah dipicu.
Orang-orang
itu bukan kekurangan naluri atau insting. Naluri kita itu seabrek-abrek,
yang kurang itu intuisi. Trigger (faktor pemicu) itu pencetus, pemulai,
awal. Kalau pakai naluri saja, orang-orang akan penuh ketakutan,
kecurigaan, paranoia. Intuisi itu kebalikannya. Jadi, kita harus
mengajarkan intuisi, bukan naluri.
Kelakuan yang hantam
kanan-kiri dan saing-saingan antara sesama teman tidak perlu diajarkan
lagi. Semua orang sudah lihat buktinya dimana-mana sikap egois seperti
itu. Naluri itu tidak punya akses energi. Energinya dari mata ketiga,
kalau itu dipakai. Kalau mata ketiganya tertutup rapat, dia cuma bisa
nyolong energi dari orang lain.
Nah, sedulur papat
kalima pancer itu sudah ada di diri kita. Kalau kita mau ikhlas dan
pasrah, semua akan berjalan dengan sendirinya. Ada tubuh fisik (api),
emosi-emosi (air), intuisi (udara), naluri (tanah), dan kesadaran (roh).
Yang
jadi masalah adalah kalau orang-orang itu ngotot mempertahankan salah
satu dimensi saja untuk hidup. Jadinya adalah imbalance
(ketidakseimbangan). Contoh, yang memegang intuisi saja dan tidak
mempedulikan dimensi lain dari dirinya juga tidak balanced (seimbang).
Itu nanti seperti pertapa yang hidup di gua, puluhan tahun bertapa saja.
Memang intuisinya kuat, tetapi tidak manusiawi juga, kan? Masih manusia
hidup, kok puluhan tahun bertapa dan jadi kurus kering seperti itu.
Dan
yang mementingkan emosi-emosi atau belief system semata juga tidak
karuan. Emosi-emosi itu mengikuti belief system, sedangkan belief system
diciptakan oleh masyarakat manusia juga. Ada masanya belief system
tertentu dipakai. Dan ada masanya dibuang dan diganti dengan yang lebih
relevan. Sekarang, misalnya, belief system tentang dominasi laki-laki
sudah kadaluwarsa. Yang lebih relevan adalah kesetaraan gender. Mereka
yang masih memegang belief system dominasi laki-laki akan mengalami
gonjang-ganjing emosi karena yang dialaminya itu bertentangan dengan
belief system yang dianutnya. Akhirnya jadi uring-uringan terus. Yang
salah siapa? Well, kalau ada seperti itu, coba diurai lagi belief
system-nya. Perlu ada penyesuaian supaya menjadi seimbang.
Kalau
memegang tubuh fisik saja akhirnya menjadi seperti seorang model. Tubuh
oke, tapi otak tidak oke. Tidak bagus juga seperti itu. Yang memegang
naluri saja akhirnya menjadi seperti hewan. Sedikit-sedikit takut,
sedikit-sedikit parno, maunya segalanya terjamin. Asal kehidupannya
terjamin secara fisik, itu sudah cukup. Persis seperti kucing dan
anjing. Makan, minum, seks, kawin, dan mati. Itu sudah cukup buat
naluri. Tapi kita kan manusia multidimensional. Lagi pula, kalau naluri
saja yang dipentingkan, jadinya sikut sana, sikut sini. Seperti di
hutan, saling memangsa, saling rebut sumber makanan.
Nah,
kalau sedulur papat, itu ada di manusianya. Pancer-nya adalah kesadaran
(consciousness). Pencerahan itu terjadi dikesadaran manusia, bukan di
tubuh fisik. Sebenarnya di dimensi intuisi juga, tapi anggaplah di
dimensi intuisi yang lebih tinggi. Kalau kesadarannya tinggi, bisa
terlihat sebagai aura yang bagus. Kalau jelek, auranya butek. Bahkan
dari kata-kata dan energi yang dipancarkan seseorang, baik lisan maupun
tulisan, otomatis kita bisa merasakan pancer orang itu. Paham, kan?
(Membuka Mata Ketiga, Leonardo Rimba, Penerbit Dolphin, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar