Joko Tingtong baru
saja mengamati orang-orang yg keluar dari gedung gereja di hari Minggu
siang ini. Tidak ada satupun yg tersenyum gembira. Semuanya lapar atau
paling tidak nampak stress, dan bergegas mencari penjual makanan. Makan
dengan diam, sebagaimana layaknya orang beragama yg tertib. Mungkin
mereka habis dimarahi oleh Tuhan Yesus, walaupun setahu Joko itu
mustahil. Yesus tidak pernah menyuruh orang untuk jadi manusia beragama
yg penuh takut. Tidak pernah mengajari orang untuk beribadah. Mengajari
berdoa sendiri, ya. Di tempat masing-masing, di dalam kamar tertutup.
Tetapi bukan beribadah di tempat umum. Tidak sekalipun tercatat Yesus
pernah mengajak murid-muridnya untuk beribadah di Baitullah. Yesus
bahkan ngamuk-ngamuk di Baitullah, membuat heboh satu Yerusalem, dan
mungkin diteriakin: Gila! Gila! Bahkan menyembuhkan orang juga tidak
pakai doa. Sebagai penyembuh spiritual atau healer, Yesus punya
teknik unik. Biasanya dengan mengucapkan saja: Sembuh! Maka sembuhlah
orang. Atau, terkadang dengan pakai ludah: Cuih!
Oh (seperti dukun jaman dulu)
T = Met siang Mas Joko, saya Nurcholish 43 tahun, berprofesi sebagai guru, saya sepaham dengan Mas Joko, bedanya saya tidak bisa secara terang-terangan seperti Mas Joko, mengingat, saya punya keluarga, dan lingkungan Islam yang fanatik, sehingga hampir tidak mungkin aku berterus terang tentang pahamku tentang agama dan Allah. Secara fisik tetap sholat lima waktu, tapi secara batin tidak. Apakah aku harus bertahan dengan situasi seperti ini selamanya? Ramadhan ini kalo di rumah puasa tapi kalo di luar tetap minum dan ngerokok walaupun tidak makan. Pendapat Mas Joko?
J = Itu hidup anda sendiri, andalah yg harus memutuskannya.
T = Gus Dur pernah berkata: "Kalau ajaran kitab suci hanya dibaca dan dimaknai seperti kita membaca buku panduan menggambar, maka kau dapatkan hanya kulitnya dan memberikan neraka buat orang lain, tapi kalau dibaca dan dipahami dengan mengacu kepada latar waktu turunnya ayat, korelasi zaman, nalar/akal dan meyakini bahwa Allah maha bijaksana lagi maha kuasa, dan bahkan mengingat semangat turunnya ajaran agama ialah memanusiakan manusia, itu akan membawa syurga, tak hanya untukmu, tapi untuk seluruh alam semesta, itulah rahmatan lil alamin..."
J = Kalau pemahamannya seperti itu, berarti Gus Dur sama seperti para teolog Kristen aliran Liberal. Memang universal, dan cuma pakai simbol-simbol agama untuk komunikasi, terutama kepada mereka yg masih belum mengerti apa maksud rahmatan lil alamin itu.
T = Gus Dur tetap Gus Dur, ia tetap pada posisinya sebagai manusia biasa, namun ia spesial, karena mampu berpikir lebih maju.
J = Pemikiran seperti Gus Dur merupakan hal yg sangat umum, terutama di kalangan Protestan. Kalau orang Protestan di Indonesia berbicara seperti itu, orang bahkan tidak akan menengok. Terlalu biasa saja. Buat kalangan Islam, mungkin bisa bikin rambut kepala berdiri. Buat kalangan Protestan dianggap sudah basi. Yg penting implementasi. Apa kiprahnya sekarang? Kalau teorinya, semua sudah tahu. Orang-orang Protestan itu tahu bahwa Alkitab mereka buatan manusia. Bisa pakai istilah "dapat inspirasi dari Allah". Tapi tetap saja buatan manusia. Malah, berdasarkan intuisi saya tahu, Gus Dur dapat pengertian dari kalangan Protestan Liberal. Sudah dikembangkan sejak abad ke 19, bermula dari kobok-mengobok kitab suci, dan akhirnya berkesimpulan bahwa kitab suci asli buatan manusia, dan Allah disitu cuma pelengkap penderita. Mereka mengerti bahwa agama dibuat oleh manusia, petunjuk yg termuat di dalam kitab suci berlaku di masa dan tempat tertentu dan, supaya tetap relevan atau berguna, maka segalanya harus direvisi terus-menerus, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan penghargaan umat manusia terhadap hak-hak mendasar yg di masa lalu masih didefinisikan secara sangat sempit. Hak mendasar adalah hak asasi. Kitab suci bisa saja tetap, tidak berubah satu titikpun, tetapi pengertiannya berubah. Apa yg dimengerti oleh orang Kristen 100 tahun lalu sudah beda jauh dengan pengertian sekarang ini. Apalagi pengertian 2000 tahun lalu ketika Kekristenan baru muncul. Mungkin baru Kristen yg bisa seperti itu. Mungkin semua agama lainnya juga bisa, yaitu agama-agama yg dianut di masyarakat Barat, termasuk Islam. Walaupun kemajuannya relatif. Ada yg di garis depan, ada yg di garis belakang.
T = Kehebatan Gus Dur kepada murid-muridnya seperti saya ialah, ia mampu menempelkan wejangan-wejangannya melekat sepanjang masa di otak ini, tak pernah bisa lupa sepenggalpun kalimat ucapannya; inilah yang disebut mencerahkan, bukan mengajari
J = Untuk konteks Indonesia dan Dunia Islam, Gus Dur bisa dianggap sebagai pembaharu. Membawa pemikiran baru, semangat baru. Bagi dunia keagamaan satu dunia, apa yg dibawakan Gus Dur tidak orisinil. Makanya namanya hampir tidak terdengar. Yg terdengar adalah para teolog Protestan yg sangat liberal. Hans Kung di Kekatolikan juga terdengar. Pernah datang ke Indonesia dan disambut hangat oleh JIL. Kalau Karen Armstrong, penulis buku "Sejarah Tuhan", sebenarnya dia ini juga tidak orisinil, cuma menuliskan ulang hasil penelitian yg sudah ada. Bedanya, Karen Armstrong bisa melihat wajah asli Islam. Mungkin bisa disebut wajah Islam yg ideal. Orang kebanyakan cuma melihat wajah Islam yg coreng-moreng. Karena Armstrong tidak, dia bisa melihat potensi Islam menjadi penggerak peradaban. Seperti Protestantisme di Eropa yg membawa revolusi peradaban manusia ke tingkat sekarang ini. Pada pihak lain, saya ragu orang Indonesia bisa mengerti Karen Armstrong seperti saya mengertinya. Setahu saya, Karen Armstrong bukan mualaf, mungkin seorang agnostik karena dia tahu semua agama merupakan bikinan manusia. Seorang agnostik yg humanis. Dan, tentu saja, agnostisme dan humanisme bagi seorang Gus Dur ataupun Karen Armstrong sama sekali tidak akan mempengaruhi perlakuan mereka. Tidak ada beda bagi mereka apakah seorang manusia beragama ataupun tidak. Yg penting apa kiprahnya. Itulah rahmatan lil alamin.
T = Benar, yang orisinil dalam Islam memang hanya Al-Quran dan hadist Nabi, Gus Dur hanya penggali dan menalarkannya dalam setiap perkembangan zaman.
J = Ujungnya adalah mistisisme, meninggalkan segala macam tulisan masa lalu, dan mengandalkan hidayah yg muncul langsung ke dalam pikiran pribadi per pribadi. Bahkan tidak lagi mengandalkan simbol Allah dan nabi. Itulah liberalisme dalam keagamaan. Mungkin di masa lalu hal seperti ini masih disamarkan. Daripada disamarkan dan membuat segalanya menjadi semakin bertele-tele, lebih baik terus terang saja.
T = Islam sejatinya mempercayai Mistik, itu pasti, Ruh dan Tuhan sendiri kan itu tidak berwujud, itu tergolong mistis bagi saya, tapi buruknya pengajaran Islam di Nusantara ialah menafikan kearifan lokal yang sejatinya juga mengacu kepada ruh suci itu juga.
J = Pada akhirnya kita bahkan tidak ragu untuk keluar dari sekat keagamaan dan tradisi budaya. Menjadi diri sendiri saja, manusia universal, dengan bumi ini sebagai pijakan, dan langit sebagai atap. Keluar dari agama dan budaya, menjadi manusia universal. Apa bedanya mereka yg tinggal di Kota New York, Amerika Serikat, dengan mereka yg tinggal di Depok, Jawa Barat, Indonesia? Secara hakikat tidak ada bedanya. Masih manusia biasa. Masih makan minum. Masih bisa belajar terus sampai mati. Masih bisa berpikir. Kita tidak akan ngotot lagi dan bilang yg dari Depok lebih mulia di mata Allah. Apalagi dengan menyebutkan agama sebagai alasannya.
T = Dan saya menuju kesana, tapi tetap yakin bahwa ajaran ini baik bagi saya.
J = Kita sesama pejalan spiritual di jalur kita masing-masing. Anda mungkin seorang nabi juga. Di Kekristenan di seluruh dunia, istilah prophet atau nabi bukanlah hal yg menyeramkan. Kalau anda bernubuah atau berbicara tentang hal yg anda percaya akan terjadi di masa datang, maka anda bisa disebut nabi. Biasa saja, bukan gelar, apalagi dari Allah. Di dalam konteks aslinya, yaitu tradisi Yahudi-Kristen, nabi adalah orang yg mewartakan apa yg akan terjadi di masa datang. Cuma begitu saja. Bukan gelar kehormatan. Makanya mulai sekarang gak usah gila nabi.
T = Gus Dur lebih menonjol, karena di Indonesia, dia memiliki legitimasi secara pribadi dan organisasi untuk menyampaikan dan melakukan apa yg dia pikirkan dan yakini. Bisa dibayangkan akan seperti apa reaksi masyarakat Indonesia jika yang berpikir, berbicara, dan bertindak seperti Gus Dur adalah orang yang tidak beragama Islam? Dan bagi seseorang yang menyatakan dirinya sebagai murid, sangat wajar jika dia memahami pemikiran, ucapan, dan tindakan gurunya mengandung kebenaran dan tertancap di memori otaknya selamanya. Itu hal wajar, ratusan mungkin ribuan orang lain yang berguru pada seseorang di berbagai tradisi juga memiliki pemikiran dan perasaan serupa. Jika mereka sudah tidak memiliki pemikiran dan perasaan seperti itu, dengan sendirinya dia sudah tidak menyatakan diri sebagai murid seseorang. Kemenonjolan Gus Dur adalah pencapaian pribadinya. Itu tidak lepas dari garis darah, kerja kerasnya menempa diri, serta keberaniannya berpikir dan bergaul terbuka dengan orang dari berbagai latar belakang. Saya menyebut pencapaian pribadi, sebab nyatanya hingga saat ini, dari sekian juta orang yang mengikuti organisasi dan tradisi keagamaan sama dengan Gus Dur belum ada yang dinilai setara dengannya.
J = Daripada kultus individu atau menganggap seorang tokoh sebagai setengah nabi, atau bahkan calon nabi sejati, lebih baik anda meneruskan apa yg sudah dimulai oleh Gus Dur.
(Leonardo R.)
Oh (seperti dukun jaman dulu)
T = Met siang Mas Joko, saya Nurcholish 43 tahun, berprofesi sebagai guru, saya sepaham dengan Mas Joko, bedanya saya tidak bisa secara terang-terangan seperti Mas Joko, mengingat, saya punya keluarga, dan lingkungan Islam yang fanatik, sehingga hampir tidak mungkin aku berterus terang tentang pahamku tentang agama dan Allah. Secara fisik tetap sholat lima waktu, tapi secara batin tidak. Apakah aku harus bertahan dengan situasi seperti ini selamanya? Ramadhan ini kalo di rumah puasa tapi kalo di luar tetap minum dan ngerokok walaupun tidak makan. Pendapat Mas Joko?
J = Itu hidup anda sendiri, andalah yg harus memutuskannya.
T = Gus Dur pernah berkata: "Kalau ajaran kitab suci hanya dibaca dan dimaknai seperti kita membaca buku panduan menggambar, maka kau dapatkan hanya kulitnya dan memberikan neraka buat orang lain, tapi kalau dibaca dan dipahami dengan mengacu kepada latar waktu turunnya ayat, korelasi zaman, nalar/akal dan meyakini bahwa Allah maha bijaksana lagi maha kuasa, dan bahkan mengingat semangat turunnya ajaran agama ialah memanusiakan manusia, itu akan membawa syurga, tak hanya untukmu, tapi untuk seluruh alam semesta, itulah rahmatan lil alamin..."
J = Kalau pemahamannya seperti itu, berarti Gus Dur sama seperti para teolog Kristen aliran Liberal. Memang universal, dan cuma pakai simbol-simbol agama untuk komunikasi, terutama kepada mereka yg masih belum mengerti apa maksud rahmatan lil alamin itu.
T = Gus Dur tetap Gus Dur, ia tetap pada posisinya sebagai manusia biasa, namun ia spesial, karena mampu berpikir lebih maju.
J = Pemikiran seperti Gus Dur merupakan hal yg sangat umum, terutama di kalangan Protestan. Kalau orang Protestan di Indonesia berbicara seperti itu, orang bahkan tidak akan menengok. Terlalu biasa saja. Buat kalangan Islam, mungkin bisa bikin rambut kepala berdiri. Buat kalangan Protestan dianggap sudah basi. Yg penting implementasi. Apa kiprahnya sekarang? Kalau teorinya, semua sudah tahu. Orang-orang Protestan itu tahu bahwa Alkitab mereka buatan manusia. Bisa pakai istilah "dapat inspirasi dari Allah". Tapi tetap saja buatan manusia. Malah, berdasarkan intuisi saya tahu, Gus Dur dapat pengertian dari kalangan Protestan Liberal. Sudah dikembangkan sejak abad ke 19, bermula dari kobok-mengobok kitab suci, dan akhirnya berkesimpulan bahwa kitab suci asli buatan manusia, dan Allah disitu cuma pelengkap penderita. Mereka mengerti bahwa agama dibuat oleh manusia, petunjuk yg termuat di dalam kitab suci berlaku di masa dan tempat tertentu dan, supaya tetap relevan atau berguna, maka segalanya harus direvisi terus-menerus, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan penghargaan umat manusia terhadap hak-hak mendasar yg di masa lalu masih didefinisikan secara sangat sempit. Hak mendasar adalah hak asasi. Kitab suci bisa saja tetap, tidak berubah satu titikpun, tetapi pengertiannya berubah. Apa yg dimengerti oleh orang Kristen 100 tahun lalu sudah beda jauh dengan pengertian sekarang ini. Apalagi pengertian 2000 tahun lalu ketika Kekristenan baru muncul. Mungkin baru Kristen yg bisa seperti itu. Mungkin semua agama lainnya juga bisa, yaitu agama-agama yg dianut di masyarakat Barat, termasuk Islam. Walaupun kemajuannya relatif. Ada yg di garis depan, ada yg di garis belakang.
T = Kehebatan Gus Dur kepada murid-muridnya seperti saya ialah, ia mampu menempelkan wejangan-wejangannya melekat sepanjang masa di otak ini, tak pernah bisa lupa sepenggalpun kalimat ucapannya; inilah yang disebut mencerahkan, bukan mengajari
J = Untuk konteks Indonesia dan Dunia Islam, Gus Dur bisa dianggap sebagai pembaharu. Membawa pemikiran baru, semangat baru. Bagi dunia keagamaan satu dunia, apa yg dibawakan Gus Dur tidak orisinil. Makanya namanya hampir tidak terdengar. Yg terdengar adalah para teolog Protestan yg sangat liberal. Hans Kung di Kekatolikan juga terdengar. Pernah datang ke Indonesia dan disambut hangat oleh JIL. Kalau Karen Armstrong, penulis buku "Sejarah Tuhan", sebenarnya dia ini juga tidak orisinil, cuma menuliskan ulang hasil penelitian yg sudah ada. Bedanya, Karen Armstrong bisa melihat wajah asli Islam. Mungkin bisa disebut wajah Islam yg ideal. Orang kebanyakan cuma melihat wajah Islam yg coreng-moreng. Karena Armstrong tidak, dia bisa melihat potensi Islam menjadi penggerak peradaban. Seperti Protestantisme di Eropa yg membawa revolusi peradaban manusia ke tingkat sekarang ini. Pada pihak lain, saya ragu orang Indonesia bisa mengerti Karen Armstrong seperti saya mengertinya. Setahu saya, Karen Armstrong bukan mualaf, mungkin seorang agnostik karena dia tahu semua agama merupakan bikinan manusia. Seorang agnostik yg humanis. Dan, tentu saja, agnostisme dan humanisme bagi seorang Gus Dur ataupun Karen Armstrong sama sekali tidak akan mempengaruhi perlakuan mereka. Tidak ada beda bagi mereka apakah seorang manusia beragama ataupun tidak. Yg penting apa kiprahnya. Itulah rahmatan lil alamin.
T = Benar, yang orisinil dalam Islam memang hanya Al-Quran dan hadist Nabi, Gus Dur hanya penggali dan menalarkannya dalam setiap perkembangan zaman.
J = Ujungnya adalah mistisisme, meninggalkan segala macam tulisan masa lalu, dan mengandalkan hidayah yg muncul langsung ke dalam pikiran pribadi per pribadi. Bahkan tidak lagi mengandalkan simbol Allah dan nabi. Itulah liberalisme dalam keagamaan. Mungkin di masa lalu hal seperti ini masih disamarkan. Daripada disamarkan dan membuat segalanya menjadi semakin bertele-tele, lebih baik terus terang saja.
T = Islam sejatinya mempercayai Mistik, itu pasti, Ruh dan Tuhan sendiri kan itu tidak berwujud, itu tergolong mistis bagi saya, tapi buruknya pengajaran Islam di Nusantara ialah menafikan kearifan lokal yang sejatinya juga mengacu kepada ruh suci itu juga.
J = Pada akhirnya kita bahkan tidak ragu untuk keluar dari sekat keagamaan dan tradisi budaya. Menjadi diri sendiri saja, manusia universal, dengan bumi ini sebagai pijakan, dan langit sebagai atap. Keluar dari agama dan budaya, menjadi manusia universal. Apa bedanya mereka yg tinggal di Kota New York, Amerika Serikat, dengan mereka yg tinggal di Depok, Jawa Barat, Indonesia? Secara hakikat tidak ada bedanya. Masih manusia biasa. Masih makan minum. Masih bisa belajar terus sampai mati. Masih bisa berpikir. Kita tidak akan ngotot lagi dan bilang yg dari Depok lebih mulia di mata Allah. Apalagi dengan menyebutkan agama sebagai alasannya.
T = Dan saya menuju kesana, tapi tetap yakin bahwa ajaran ini baik bagi saya.
J = Kita sesama pejalan spiritual di jalur kita masing-masing. Anda mungkin seorang nabi juga. Di Kekristenan di seluruh dunia, istilah prophet atau nabi bukanlah hal yg menyeramkan. Kalau anda bernubuah atau berbicara tentang hal yg anda percaya akan terjadi di masa datang, maka anda bisa disebut nabi. Biasa saja, bukan gelar, apalagi dari Allah. Di dalam konteks aslinya, yaitu tradisi Yahudi-Kristen, nabi adalah orang yg mewartakan apa yg akan terjadi di masa datang. Cuma begitu saja. Bukan gelar kehormatan. Makanya mulai sekarang gak usah gila nabi.
T = Gus Dur lebih menonjol, karena di Indonesia, dia memiliki legitimasi secara pribadi dan organisasi untuk menyampaikan dan melakukan apa yg dia pikirkan dan yakini. Bisa dibayangkan akan seperti apa reaksi masyarakat Indonesia jika yang berpikir, berbicara, dan bertindak seperti Gus Dur adalah orang yang tidak beragama Islam? Dan bagi seseorang yang menyatakan dirinya sebagai murid, sangat wajar jika dia memahami pemikiran, ucapan, dan tindakan gurunya mengandung kebenaran dan tertancap di memori otaknya selamanya. Itu hal wajar, ratusan mungkin ribuan orang lain yang berguru pada seseorang di berbagai tradisi juga memiliki pemikiran dan perasaan serupa. Jika mereka sudah tidak memiliki pemikiran dan perasaan seperti itu, dengan sendirinya dia sudah tidak menyatakan diri sebagai murid seseorang. Kemenonjolan Gus Dur adalah pencapaian pribadinya. Itu tidak lepas dari garis darah, kerja kerasnya menempa diri, serta keberaniannya berpikir dan bergaul terbuka dengan orang dari berbagai latar belakang. Saya menyebut pencapaian pribadi, sebab nyatanya hingga saat ini, dari sekian juta orang yang mengikuti organisasi dan tradisi keagamaan sama dengan Gus Dur belum ada yang dinilai setara dengannya.
J = Daripada kultus individu atau menganggap seorang tokoh sebagai setengah nabi, atau bahkan calon nabi sejati, lebih baik anda meneruskan apa yg sudah dimulai oleh Gus Dur.
(Leonardo R.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar