29 Mei 2013

Tarot dan Psikologi Jungian



Kartu Tarot dibuat berdasarkan simbol-simbol arkais yang ada dalam mite (myth). Apa itu mite? Mite adalah entitas yang hidup dalam nirsadar kolektif manusia (collective unconscious). Manifes dalam dongeng, cerita rakyat, legenda, mimpi, dan bentuk-bentuk fantasi lain. Mite bersifat komunal, ia bisa merupakan share kisah yang ada pada suatu budaya di suatu masyarakat, bisa pula memiliki universalitas yang lebih luas. Simbol arkais itu sendiri, adalah jejak-jejak purba yang berasal dari jaman dahulu. Jejak-jejak ini secara turun temurun tetap hidup dan eksis dalam alam nirsadar yang dimiliki secara bersama oleh umat manusia.
Sampai di sini anda bisa jadi masih meragukan mengenai adanya nirsadar kolektif. Bagaimana kita dapat menyatakan bahwa kita semua mempunyai suatu pikiran bawah-sadar yang sama, padahal terdapat begitu banyak perbedaan antara satu budaya dengan budaya yang lain? Masyarakat dalam Budaya Islam mengharamkan babi, sementara budaya Bali justru memakan babi. Bahkan dalam budaya yang samapun, satu orang bisa berpikiran bahwa “merah” menyimbolkan hari libur, sedangkan yang lain bisa saja menyimbolkan kemarahan.
Itu semua benar. Namun, di sini perlu kita telaah lebih cermat lagi bahwa perbedaan tafsir terhadap simbol itu berasal dari nirsadar-personal kita, bukan berasal dari akar kolektif kita. Jung menelaah mite-mite dari berbagai budaya dengan sangat rinci, sehingga ketika ia mengungkapkan konsep nirsadar kolektif, ia juga menyadari betapa berbedanya budaya-budaya itu. Tetapi, perbedaan-perbedaan itu tidak menutupi fakta bahwa dari masa ke masa dan di tempat yang berlainan muncul keserupaan-keserupaan yang ajaib. Seorang gadis muda di Swiss bisa bermimpi tentang seorang putri yang lari dari kejaran dan melarikan diri ke bulan, tanpa pernah mendengar mite China yang memiliki alur sama persis. Atau seorang pedalaman Afrika bisa bermimpi tentang seorang pria yang mati disalib dan kemudian hidup kembali, walau kisah kematian dan kebangkitan kembali Yesus belum pernah mencapai desanya yang terpencil[1].
Apakah keserupaan itu hanya semacam kebetulan belaka? Jika keserupaan itu sangat jarang, bisa jadi kebetulan merupakan penjelasan yang masuk akal. Namun, kepakaran Jung dalam berbagai budaya dan tradisi dari berbagai penjuru dunia memungkinkan dia untuk membuat hubungan yang sering antara mimpi pasien dan mite, ritual, serta simbol-simbol budaya lain. Itu merupakan satu contoh prinsip akausal Jung yang disebut sinkronisitas[2].
Jung menjelaskan simbol-simbol dalam mite sebagai arketipe (archetype) atau arkais (archaic). Arketipe berasal dari kata arkhe, yang sebenarnya merupakan gambaran entitas purba yang eksis dalam tataran nirsadar kolektif. Arketipe memuat motif-motif tertentu yang muncul dalam mite dan dongeng di berbagai tempat. Arketipe membuat orang terkesan, mempengaruhi, mempesona dan mengaktivasi suatu energi psikologis dalam diri individu.
Dalam psikologi Jung, digambarkan bahwa setiap manusia memiliki ‘guru’ dalam dirinya. Jung juga mengatakan bahwa manusia lahir ke dunia dalam kondisi tak utuh, alias terbelah dalam berbagai elemen yang bahkan satu sama lain bisa pula bertentangan. Lebih jauh, ada pula elemen-elemen yang hilang dari seseorang yang mesti dicari. Dalam perjalanan hidupnya, Jung berasumsi bahwa manusia digerakkan oleh energi reflektif untuk menuju individuasi. Untuk mencapai arketipe self atau keutuhan yang kerap disimbolkan sebagai Mandala.
Namun, ada sisi lemah dalam pemikiran Jung ini, yaitu pada realitanya manusia tak selalu digerakkan oleh energi reflektif yang mengarahkannya pada individuasi. Banyak pula yang digerakkan oleh energi libidinal yang lebih mengarah pada pemuasan hasrat. Sisi ini, dijelaskan secara tepat oleh Freud dan kemudian diteruskan oleh Jacques Lacan. Pemikiran Jung, sebenarnya saling melengkapi jika digabungkan dengan pemikiran Lacan. Ini karena Jung membahas mengenai manusia yang digerakkan oleh energi reflektif, sedangkan Lacan membahas manusia yang digerakkan oleh energi libidinal. Pada realitanya, memang manusia terbagi dalam dua jenis, yaitu yang digerakkan oleh energi reflektif dan yang digerakkan oleh energi libidinal.


[1] Stephen Palmquist; (2005); Fondasi Psikologi Perkembangan: Menyelami Mimpi, Mencapai Kematangan Diri; saduran Muhammad Sodiq; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal. 264
[2] Stephen Palmquist; (2005); Fondasi Psikologi Perkembangan: Menyelami Mimpi, Mencapai Kematangan Diri; saduran Muhammad Sodiq; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal. 264-265

(psikologi tarot)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar