30 Mei 2013

Antara Ego dan Allah



Seharusnya negara cuma mencatatkan warganegaranya yg menikah, dan itu tidak ada hubungannya dengan agama. Mau orangnya beragama apa saja, dan menikah dengan orang yg beragama apa saja merupakan urusan orang. Yg penting kedua calon mempelai tidak terikat pernikahan dengan pihak lain, dan sudah sepakat untuk menikah. Bahkan, tidak perlu kedua mempelai melakukan upacara perkawinan keagamaan. Perkawinan keagamaan merupakan suatu pilihan, dan bukan merupakan prasyarat agar perkawinan menjadi legal. Perkawinan menjadi legal kalau dicatat oleh negara. Cuma dicatat saja.

Agama juga berbeda-beda orientasinya. Orang berpikir kalau Kristen itu seperti Islam yg mempraktekkan amal ibadah, pedahal tidak. Apalagi Kristen Protestan. Joko tahu pasti bukan dari buku, melainkan dari pengalaman pribadi. Joko pernah tinggal di Amerika Serikat (AS), bergaul dengan bule-bule AS dan bukan nongkrong dengan orang-orang Indonesia. Joko tahu cara berpikir mereka, yaitu sama sekali tidak ada konsep amal ibadah. Apalagi dengan harapan agar diberikan ganjaran berupa pahala yg bisa ditukar dengan tiket masuk surga atau tempat yg layak di sisi Allah SWT.  Sebagai suatu konsep Kristen, surga sudah menjadi milik anda, bahkan saat ini. Anda tidak perlu mati dulu untuk masuk ke dalam surga.

Oh, salah. Kristen Katolik masih pakai pengajaran tentang api pencucian (purgatory). Jadi tidak langsung masuk surga ketika mati, melainkan dicuci dahulu. Dicuci sampai putih bersih melalui doa-doa yg anda lantunkan dari bumi ini. Ketika doanya sudah cukup banyak, orangnya dipindah ke surga.

Tapi itu konsep belakangan. Aslinya tidak begitu. Pengajaran Yahudi yg diambil-alih oleh orang Kristen cuma mengenal dunia orang hidup dan dunia orang mati. Kita berada di dunia orang hidup. Leluhur kita berada di dunia orang mati. Suatu saat orang-orang mati akan dihidupkan kembali, makanya tidak ada yg dibakar. Orang Yahudi kalau mati selalu dikubur dengan kepercayaan akan dihidupkan kembali pada akhir jaman. Kepercayaan mana diambil-alih oleh Kristen. Walaupun saat itu sudah ada konsep baru lagi tentang pemerintahan adil makmur di atas bumi yg akan dibawa oleh datangnya mesias. Atau penyelamat umat manusia. Dipercaya sebagai Yesus Kristus. Sudah datang 2,000 tahun lalu, dan akan datang kembali lagi nanti.

Konsep saja. Dan tambah ribet dengan pemikiran-pemikiran tentang surga neraka. Apalagi setelah ditambah dengan api pencucian. Protestan kembali ke konsep yg lebih awal tentang masuk surga langsung setelah mati, makanya tidak pernah ada doa-doa untuk orang mati. Kalau sudah mati ya sudah. Kalau percaya, maka akan masuk surga. Kalau tidak percaya, maka masuk neraka. Tapi orang hidup tidak bisa tahu pasti akan masuk surga atau masuk neraka. Makanya harus bergiat kerja di bumi ini. Kerja semampu mungkin. Berbuat baik sebisanya, setelah itu serahkan kepada Allah.
Oh, itulah etika Protestan yg konon memunculkan kapitalisme. Kapitalisme mungkin didorong oleh sikap hidup hemat dan rasional di masyarakat beragama Protestan. Revolusi Industri mungkin benar dimulai di Inggris. Tetapi industrialisasi dan kapitalisme telah mewabah di satu dunia yg termehek-mehek tidak mengerti. Bingung dan tersendat karena tidak pernah mengalami pergumulan intelektual dan emosional. Perjuangan spiritual lewat perang agama dan diskriminasi. Semuanya pernah dialami oleh masyarakat Barat, baik yg Protestan maupun Katolik. Makanya mereka kebanyakan sekuler sekarang.

Sudah kapok beybeh!
Indonesia belum. Banyak eksponen masyarakat Indonesia yg ingin masuk menjadi pemegang ranking ekonomi dunia lewat jalan agama. Kalau Kristen bisa membawa masyarakat adil makmur dimana-mana, maka agama lainnya so pasti bisa juga. Itu jalan pikirannya. Mungkin benar. Mungkin pula tidak benar. Yg jelas, biaya yg dibayar mahal sekali. Membawa agama untuk ikut industrialisasi sangat melelahkan. Orang harus mempertahankan kepercayaan yg tidak bisa dipertahankan. Sedangkan membangun pabrik dan menerapkan manajemen rasional tidak memerlukan kepercayaan. Cukup metode ilmiah. Dan kejiwaan yg sehat. Tanpa tekan-menekan sebagai ciri khas masyarakat Indonesia.

Yg unik di Indonesia adalah fenomena gereja-gereja etnik. Memang disiapkan oleh para penginjil dari Barat untuk independen dan tidak mengabdi kepada negara asal. Kristen, baik dari jenis Protestan maupun Katolik selalu menekankan local content. Muatan lokal. Menjadi seperti itu lewat pengalaman juga, ratusan tahun melewati konflik tak berkesudahan di Eropa dan dimana-mana. Perang agama membuat manusia jadi bijaksana. Kehilangan kesempatan masuk ke Cina karena keras kepala mengakibatkan gereja Katolik Roma sekarang menjadi toleran terhadap dupa dan upacara manggut-manggut di depan meja altar leluhur orang Cina. Dulu tidak. Dulu kalau mau jadi Katolik harus buang itu tradisi. Akibatnya kesempatan emas hilang lenyap.

Opportunity only knocks once.

Kesempatan cuma mengetuk satu kali saja.
Fenomena gereja-gereja protestan yg sangat individual itu mungkin mencerminkan etika Protestan, yaitu
sikap independen terhadap otoritas. Kenapa? Karena protestan gampang sekali bikin denominasi baru.
Kalau anda seorang pendeta yg tidak puas dengan organisasi gereja anda sekarang, maka anda bisa
memisahkan diri. Bersama pengikut anda, anda bisa mendirikan denominasi baru. Nama gereja yg baru.
Bisa bikin jemaat baru, organisasi baru, dsb. Protestan tidak pernah meributkan yg begituan. Kalau mau
berpisah, ya berpisahlah, jalan masing-masing.

And yes, Kristen bermacam-macam, dari yg paling konservatif sampai yg paling liberal. Kristen tidak
kenal praktek kafir-mengkafirkan, dan paling jauh cuma pakai istilah sesat. Di luar verbal abuse seperti
perkataan sesat itu, Kristen boleh bilang sudah menyerahkan segalanya kepada individu masing-masing.
Keputusan dibuat oleh para individu. Bahkan mungkin kata sesat tidak sekerap itu lagi digunakan. Lebih umum dikenal istilah sekte. Sekte artinya pecahan. Bukan berarti tidak berhak hidup. Apapun pilihan yg diambil, orang tetap bisa hidup. Sekte apapun merupakan urusan orang.

Pendeta dan para imam bisa khotbah sampai serak, tapi keputusan tetap di tangan tiap orang. Tidak ada syariat yg harus dipatuhi, selain seruan agar memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Kalau ingin disayang, maka kita harus sayang sama orang lain.
Tangan Joko jalan sendiri sekarang. I am now doing automatic writing. Ya benar, teologi pembebasan yg
dulu haram jadah sekarang mungkin telah menjadi mainstream. Kalau dengar atau baca  khotbah para romo Katolik, kita akan langsung tahu bahwa latar belakang pemikirannya adalah teologi pembebasan. Tidak totok tapi sudah sinthesis. Campuran. Yg ditekankan adalah karya nyata membantu orang miskin agar bisa keluar dari kemiskinan mereka. Protestan juga seperti itu. Yg masih mementingkan iman cuma aliran-aliran Kristen injili seperti Pentakosta. Pedahal mungkin ajarannya tidak benar-benar berdasarkan injil. Mana ada injil yg mengajarkan menarik 10% dari penghasilan orang dengan alasan buat Allah?

Pentakosta dan berbagai Kristen emosional lainnya umumnya berasal dari AS. Relatif baru. Masih berapi-api untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Yesus. Kalau tidak dimenangkan bagi Yesus maka akan jatuh ke tangan Setan. Kurang lebih seperti itu jalan pemikirannya.

Katolik dan Protestan yg dewasa tidak seperti itu. Mereka tahu bahwa agama cuma jalan spiritual. Ada dogma. Tetapi dogma atau ajaran yg tidak boleh dipertanyakan juga tidak muncul begitu saja. Dogma dibuat. Dibuatnya  berdasarkan ayat-ayat. Pada gilirannya, ayat-ayat juga dibuat. Dibuat oleh manusia yg memiliki pengalaman spiritual. Bergumul dengan dirinya sendiri, dan bayangannya yg disebut Allah.

Cuma tentang sang diri dan teman dialognya yg dinamakan Allah.

Antara Ego dan Allah.

(Joko T.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar