Label
spiritual
(134)
pajak
(40)
crochet pattern
(17)
Joko T.
(15)
Leonardo R.
(15)
aksesoris
(15)
gemstone
(15)
cuplikan/ringkasan
(14)
tutorial aksesoris
(13)
web SI
(13)
fashion
(10)
rajut
(10)
soliloquy
(6)
pengembangan diri
(5)
info dan aturan perpajakan
(4)
nengah hardiani
(4)
foto diri
(3)
jahit-menjahit
(3)
politik
(3)
ekonomi
(2)
English
(1)
berkebun
(1)
bermain jiwa
(1)
bisnis
(1)
foto
(1)
kesehatan
(1)
puisi
(1)
resep masakan
(1)
tarot
(1)
yoga
(1)
zodiak
(1)
4 Jun 2013
Yg Sudah Lama Namanya Mitos Keagamaan
Manusia yg menciptakan konsep Allah, dan bilang bahwa Allah itu yg menciptakannya. Dalam berbagai nama pencipta, legenda penciptaan ada di semua budaya. Allah sendiri masih bisa diartikan. Itu konsep, pengertian, artinya yg disembah. Kata dasarnya ilah, artinya apa yg disembah. Al Ilah atau Allah adalah sang sesembahan. Semua yg disembah adalah Al Ilah atau Allah. Makanya orang yg pegang tradisi asli Samawi akan bertanya, siapakah Allahmu? Artinya, siapakah yg kamu sembah? Jawabnya: Tuan. Tuan adalah apa yg saya sembah. Dituliskan pakai h dalam bahasa Indonesia menjadi Tuhan.
Allah tidak sama dengan Tuhan. Allah generik, Tuhan spesifik.
Tapi itupun masih simbolik. Tuan atau Tuhan hanya satu kata saja. Ditunjukkan, itu lho Tuan! Siapakah Tuan cuma kesadaran anda yg tahu.
Orang Barat juga tidak langsung bisa seperti saya, kata Joko Tingtong. Mereka harus bergulat selama 300 tahun terakhir untuk bisa menerima bahwa God atau Allah yg mereka sembah ternyata cuma konsep Yahudi yg dikawinkan dengan filsafat Yunani. Diterimanya juga sedikit demi sedikit, sejalan dengan kemajuan teknologi. Saat ini, tahun 2013 Masehi, boleh bilang sudah mutlak diterima. Diterima bahwa God atau Allah adalah konsep, dibuat sesuai pengertian di ruang dan waktu tertentu. Bukan berarti agama tidak boleh hidup. Agama tetap ada, karena merupakan domain pribadi, bisa dipercaya bulat-bulat oleh warganegara, tetapi tidak menjadi patokan pembuatan kebijakan publik.
Kalau agama menjadi dasar kebijakan negara, siapa yg akan membuat kebijakan? Apakah Allah? Tentu saja bukan. Kebijakan atau keputusan apapun selalu dibuat oleh manusia. Atas nama Allah, tentu saja. Dikonsepkan berasal dari Allah, pedahal itu keputusan manusia. Di negara-negara terbelakang masih seperti itu situasinya. Mereka pakai hukum yg konon diturunkan oleh Allah. Pedahal itu hukum-hukum manusia. Manusia membuat hukum, dan bilang asalnya dari Allah.
Dewa-dewi dalam agama-agama kuno merupakan representasi dari aspek-aspek tertentu di alam semesta. Bisa berupa aspek fisik, misalnya Dewa Matahari. Simbol dari pemberi kehidupan. Bisa juga aspek kejiwaan manusia, seperti Dewa Siwa, simbol dari kesadaran manusia. Dengan kata lain, dewa-dewi ini cuma simbol saja, dan bukan realitas akhir atau hakekat dari apa yg mau dikomunikasikan. Kuno artinya berasal dari jaman dulu. Ada yg sudah punah, ada pula yg masih hidup seperti Hinduisme. Peta saja, dan bukan wilayahnya. God atau Allah merupakan konsep, cara bekerjanya sama seperti konsep dewa-dewi.
Peta pulau Jawa bukanlah pulau Jawa secara fisik. Dewa Siwa sebagai simbol manusia adalah peta. Manusia seutuhnya adalah diri kita sendiri. Kalau mau disimbolkan, harus digunakan banyak dewa-dewi. Ketika kita menyembah Siwa, maka kita menyembah kesadaran kita sendiri saja. Salah satu aspek dari kejiwaan kita, dan yg tertinggi memang. Dari kesadaran itu muncullah segala sesuatu. Muncul dewa-dewi lainnya. Muncul asma-asma Allah.
Elohim atau Allah yg muncul di bangsa Yahudi lain lagi. Mulanya dikonsepkan bahwa ada Dewa yg berada diluar ciptaannya. Terpisah sama-sekali, dan melakukan penciptaan. Ini konsep asli dari Elohim yg tentu saja berubah terus. Lama kelamaan diperhalus oleh nabi-nabi Yahudi yg muncul setelah Musa. Tetapi konsep dasarnya tetap sama saja, yaitu bahwa ada Dewa yg berada diluar kesadaran manusia. Bahkan diluar alam semesta.
Agama-agama di India, Cina dan Jepang tidak begitu. Disini, ada pengertian bahwa manusia secara fisik dan kesadarannya sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Berkaitan. Dan Dewa yg memberikan hukum-hukum seperti Elohim tidak dikenal. Yg dikenal adalah hukum-hukum alam biasa yg diberikan simbol sebagai Dewa-Dewi. Dewa Bayu untuk simbol angin. Dewa Agni untuk simbol api, dll. Allah di kebudayaan non semitik ini adalah gabungan dari semua dewa dewi itu, dan lebih lagi... karena ada Allah yg tidak terdefinisikan.
Di India disebut Brahman, di Cina disebut Tao.
Di Bali juga ada, dengan simbolnya yg disebut Ongkara.
Di agama Yahudi, Allah didefinisikan sejak awal mula. Dan diajarkan bahwa Allah ada di luar alam semesta ciptaannya. Allah pegang remote control. Begitu pakemnya. Allah bisa mengirimkan bencana gempa bumi ke Padang sebagai hukuman atas kelakuan Walikota Padang yg memaksa siswi sekolah mengenakan jilbab. Dan kalau walikota Padang masih belum kapok juga, maka bencana demi bencana akan datang terus menerus tidak ada putus-putusnya. Allah menurut konsepsi Yahudi, Nasrani dan Islam selalu seperti itu cara bekerjanya. Allah ada di depan monitor dan siap meledakkan bagian bumi mana saja yg terlalu jahilliyah mau memaksakan syariat. Aceh sudah kena tsunami. Padang kena gempa bumi, dan entah wilayah mana lagi setelah ini.
Alasan bisa dicari-cari, tentu saja. Bisa bilang bencana datang karena memaksakan jilbab. Bisa juga bilang sebaliknya, bencana datang karena tidak pakai jilbab.
What's the difference? Apa bedanya?
Kalau anda baca buku karya Zecharia Sitchin yg judulnya the Twelth Planet, disitu malahan anda akan menemukan Sitchin menyimpulkan bahwa ras manusia di bumi ini merupakan hasil peternakan yg dimulai oleh makhluk luar angkasa. Dewa-dewa Mesopotamia merupakan para tokoh luar angkasa itu, yg kemudian saling berperang. Kisah peperangan mereka akhirnya menjadi awal dari mitos Allah yg jamak itu.
Allah yg jamak, Allah yg banyak.
Ada juga teori yg bilang bahwa ada berbagai makhluk di berbagai dimensi. Dan di dimensi ruang dan waktu yg kita kenal, cuma kitalah penghuninya. Paralel dengan dimensi kita, ada dimensi-dimensi lain dengan makhluk-makhluknya sendiri. Tetapi untuk berkomunikasi dengan mereka kita tidak bisa menggunakan alat apapun. Tidak menggunakan pesawat canggih, tetapi masuk ke dalam kesadaran kita sendiri saja. Tetapi akhirnya kita cuma akan bertemu dengan simbol-simbol saja.
Para nabi Yahudi bertemu dengan malaikat who is none other than their inner self. Tidak lain dan tidak bukan kesadaran mereka sendiri saja. Bisa dibilang kesadaran dalam atau kesadaran tinggi. Nabi Yakub bergulat dengan satu malaikat semalaman. Bergulat secara fisik. Itu kalau kita mau percaya apa yg ditulis di kitab Genesis yg, konon, ditulis oleh Musa. Tetapi apakah benar ada malaikat yg bergulat secara fisik dengan Yakub? Menurut saya tidak ada. Kemungkinan besar Yakub cuma mengalami pergulatan batin yg begitu intens sehingga dia merasa bergulat dengan suatu sosok yg kemudian diinterpretasikan sebagai satu malaikat.
Saya sendiri pernah antara tidur dan tidak tidur merasa kaki saya dipegangin oleh satu makhluk. Saya tendang-tendang tidak mau lepas. Saya tidak bisa melihat makhluk itu apa, saya cuma merasakan dekapannya di kaki saya yg begitu kuat. Dan saya cuma tahu bahwa namanya Darmo Gandhul. So, mungkin kisah perjumpaan Yakub dengan malaikat itu merupakan pengalaman serupa dengan apa yg saya alami.
Lagi pula kisah para nabi Yahudi itu tidak lagi asli, sebenarnya. Ketika dituliskan menjadi buku best seller yg sekarang kita sebut sebagai kitab suci, kisah-kisah itu sudah mengalami editting. Sudah diedit. Sudah mengandung interpretasi. Interpretasi atau penafsiran para editornya.
Dulu saya begitu percaya Musa bertemu dengan makhluk angkasa luar, dan itu tabut perjanjian Yahudi isinya alat-alat teknologi dan komunikasi. Tapi setelah saya pelajari berbagai kisah kuno di berbagai kebudayaan, akhirnya saya berkesimpulan bahwa memang seperti itulah cara manusia masa lalu menceritakan asal-usul mereka. Bangsa Jepang, misalnya, mereka percaya bahwa ada Dewi Matahari yg menurunkan keluarga pendeta Shinto paling berpengaruh di masa lalu yg lalu diangkat sebagai kaisar. Dan itu sudah bertahan selama 2,000 tahun lebih. Keluarga yg sama tetap menjadi kaisar secara turun temurun, dan legitimasi mereka adalah kepercayaan orang Jepang bahwa mereka adalah keturunan Dewi Matahari yg di Jepang disebut sebagai Amaterasu Omikami.
Masyarakat tradisional Indonesia juga memiliki kisah-kisah semacam itu. Yg saya ingat ada kisah tentang dewi yg turun dari luar angkasa dan mengajarkan adat budaya kepada masyarakat Sulawesi Utara. Etnik lainnya juga memiliki kepercayaan serupa yg sekarang kita sebut sebagai mitos, tetapi di masa lalu dipegang sebagai kepercayaan turun temurun, bagian dari agama tradisional mereka sebelum masuk agama-agama asing dari luar seperti Hindu, Buddha, Kristen dan Islam.
Saya akui, satu dunia beradab saat ini merupakan pemekaran dari ide-ide dasar Yahudi. Dimulai dari 2,000 tahun lalu oleh Yesus, seorang Yahudi. Lewat interpretasi Paulus, seorang Yahudi juga yg berpendidikan Yunani. Dari situ muncul Skolatisisme, yaitu teologi berdasarkan pemikiran Aristoteles. Setelah Demitologisasi, muncul aliran Liberal.
Demitologisasi artinya penelanjangan mitos.
Dan itu sejalan dengan munculnya negara-bangsa di Eropa. Negara-bangsa membawa industrialisasi. Sebagai wilayah pinggiran, Indonesia tinggal ikut saja. Anda perhatikan, bahkan hukum-hukum Indonesia, seperti syariat 30% partisipasi perempuan merupakan copy paste dari Barat. Kita tinggal ambil saja. Mereka yg ribut disana, dan kita tinggal ambil karena tidak ada hak cipta.
Apa yg baru muncul namanya hak asasi manusia (HAM).
[Leonardo Rimba Kedua (Notes)]
Yg sudah lama namanya mitos keagamaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar