Semua pengalaman kita berkaitan
dengan simbol. Simbol adalah sesuatu yg merujuk kepada sesuatu yg lain sama
sekali. Tidak seperti bentuk fisik yg ditampilkan, melainkan ada arti lebih
mendalam. Lebih spiritual, lebih membatin, seperti figur Semar di dalam
kebudayaan Jawa, yg jelas jauh lebih spiritual sekaligus membumi dibandingkan
figur fisik gendut dan berjalan terengah-engah. Semar adalah simbol dari
intuisi kita. Roso kalau di Jawa. Kristus kalau di tradisi Kristen. Dan bahkan
Nur Muhammad, kalau kita pakai tradisi Islam sufi.
Mungkin anda pertama kali akan
menduga bahwa Joko Tingtong memberikan resep-resep spiritual. Tidak begitu.
Resep spiritual ada dimana-mana. Kita sudah suntuk menampung kiat-kiat menjadi
manusia spriritual sejak kita lahir. Saking banyaknya kita sampai lupa yg mana
kiat spiritual asli, dan yg mana aksesoris. Akhirnya banyak yg pegang aksesoris
dan membuang yg essensial ke tempat sampah dengan alasan tidak berguna. Atau
terlalu sederhana. Atau terlalu lugu. Pedahal spiritualitas atau kerohanian
manusia memang mengandalkan yg lugu atau sederhana itu. Seperti ikhlas pasrah
dan bersyukur. Itu lugu, sederhana, membumi sekali. Tapi dasar dari segalanya.
Tanpa ada itu anda akan jungkir balik mencela semua orang sampai anda tidak
bisa mengenali diri anda sendiri lagi. Anda telah jadi komentator, pedahal
hidup adalah hidup. Bukan untuk dikomentari, tapi untuk dinikmati. Untuk apa
hidup kalau tidak bisa menikmati?
Banyak yg berbagi tentang Allah dan
agama. Dan Joko sudah tulis berkali-kali dengan sejelas-jelasnya bahwa agama
diciptakan, dan bukan muncul begitu saja di tengah umat manusia. Bukan seperti
rumput yg muncul begitu saja di tanah lapang ketika musim kering berakhir dan
hujan mulai turun. Tetapi ungkapan itu juga tidak benar total, karena bahkan
rumput tidak bisa muncul begitu saja. Ketika tanah kering kerontang mulai
memunculkan rumput, maka artinya ada yg pas. Benih rumput yg sudah ada di tanah
kering itu kena air hujan. Dan berkecambahlah, dan tumbuhlah rumput baru.
Sesuatu yg ada muncul karena ada sesuatu sebelumnya. Tidak mungkin manusia ada
dari sesuatu yg tidak ada. Kalau manusia ada, maka ada sesuatu yg memunculkan
manusia yg sekarang juga ada. Yg memunculkan bisa kita bilang kedua orang tua
kita, ayah dan ibu, melalui kopulasi atau hubungan kelamin. Dan lahirnya juga
melalui alat kelamin wanita, bukan dihantarkan oleh burung-burung angsa seperti
dongeng yg pernah dan mungkin masih ada di masyarakat Barat. Ada mitos leluhur
yg keluar dari batu, ada yg turun dari atas langit, ada yg datang lewat laut.
Tapi siapa yg pertama kali lahir di bumi dan memunculkan begitu banyak ras dan
etnik manusia belum bisa dibuktikan dengan tuntas sampai saat ini. Kita bisa
saja bilang kita keturunan kera, dan Joko tidak percaya itu. Tidak mungkin
manusia lahir dari kera.
Gen dan chromosome manusia tidak
sama dengan yg dimiliki kera. Mungkin mirip, tapi tidak sama. Seperti kucing yg
tidak mungkin dilahirkan oleh seekor anjing. Mirip memang, tapi tidak sama.
Serupa tapi tak sama. Yg lebih mungkin, ada pergolakan batin di diri orang
tertentu, yg memunculkan inspirasi tentang Allah. Lalu diceritakanlah inspirasi
itu kepada manusia-manusia lainnya yg, biasanya, percaya bahwa Allah datang
kepada orang tertentu itu. Dan orang tertentu itu bisa juga benar-benar merasa
kedatangan Allah. Mungkin merasa kedatangan malaikat, merasa tiba-tiba ada
sesuatu yg muncul sendiri di dalam pikirannya dan menggerakkannya untuk
berbicara. Bernubuah dalam istilah Timur Tengah. Atau ndawuh dalam istilah
Jawa. Menjadi nabi dalam istilah bahasa Indonesia. Dan itu masih berjalan
sampai sekarang, tidak pernah putus. Nabi adalah orang yg merasa dirinya bisa
melihat masa depan. Terkadang ada orang lain yg percaya, terkadang tidak ada yg
percaya. Terkadang diangkat secara resmi sebagai seorang nabi. Seringkali
tidak. Nabi datang dan pergi, dan umat manusia berjalan biasa-biasa saja. Ada
perang dan damai. Ada kemakmuran dan kesengsaraan. Ada masa kegelapan, ada masa
kebangkitan. Dana da abad pencerahan satu dunia, diramalkan oleh para nabi di
berbagai bangsa dan banyak kurun waktu sebagai abad kita sekarang, 21 Masehi.
Pencerahan spiritual satu dunia
telah berjalan, facebook sudah menjarah kemana-mana, dan tidak ada lagi yg bisa
ditutup-tutupi. Kalau doa bisa menyembuhkan orang sakit, maka meditasi juga
bisa. Kalau satu ayat bisa diamalkan berkali-kali sebagai wiridan, maka mantera
Hindu Buddha juga bisa digunakan untuk maksud sama. Hasilnya juga sama. Kurang
lebih sama apabila frekwensi gelombang otak kita turun dan masuk ke dalam
gelombang otak doa khusyuk. Yg tidak lain dan tidak bukan adalah gelombang otak
meditasi mendalam. Ketika napas melambat, dan pikiran berhenti. Ketika kita
hanya sadar bahwa kita sadar. Ketika kita tidak bisa berpikir jelek tentang
orang lain maupun dirikita sendiri. Dan ketika saat itu muncul, apapun yg
baik-baik dan diucapkan oleh orang lain akan dengan mudah kita aminkan. Tinggal
bilang amin saja, dan biarkanlah Alam Semesta membawa segala yg dimohonkan itu
menjadi kenyataan.Kurang lebih seperti itulah praktek kerohanian di semua
bangsa. Semua agama dan kepercayaan. Semua budaya. Penggunaan gelombang otak
rendah untuk memohon kepada Alam Semesta melalui diri kita sendiri. Amin
artinya jadilah. Atau suku kata Om di dalam tradisi Hindu Buddha. Maknanya sama
saja. Amin dan Om digunakan untuk menutup doa atau mantera. Artinya jadilah!
Kalau anda berada di kondisi doa
khusyuk, apapun yg anda aminkan berkemungkinan besar untuk jadi kenyataan. Tapi
kalau anda habis berlarian di lapangan, seribu amin yg anda ucapkan bahkan akan
mubazir. Tak ada gunanya. Gelombang otak beda akan memunculkan hasil berbeda.
Kuncinya adalah frekwensi gelombang otak, dan bukan pemikiran. Bahkan bukan
pula pemikiran, walaupun konon itu dihasilkan oleh Sulaiman, orang yg
disohorkan paling bijaksana di jamannya.
Masa sih paling bijaksana? kata Joko
Tingtong.
Oh, lihat saja di percakapan berikut.
T
= Mas Joko, saya ingin ikut menambahkan apa yang pernah saya tahu: MANUSIA ITU
PERCAYA APA YANG INGIN IA PERCAYAI. Ini merupakan sifat dasar manusia yang
sekaligus kelemahannya. Jadi ia memangnya INGIN percaya sama yang ini, bukan
yang itu, sehingga akhirnya lebih banyak kepada preferensi keinginannya
daripada kepercayaannya pada realitas apa adanya. Saya beri contoh sederhana:
jika seseorang memilih suatu agama, maka ia akan cenderung mempelajari agama
itu dan hanya di lingkup itu-itu saja; maka ketika ia diberikan informasi
lainnya yang berbeda dengan agama yang ia yakini, maka ia akan cenderung tidak
mau terima, karena memang INGIN percaya apa yang ia percayai dan INGIN tidak
mempercayai agama lainnya. Terlebih lagi diperparah adanya indoktrinasi oleh
pimpinan institusi agamanya dengan ditakut-takuti bahwa ia akan sesat atau
terpengaruh imannya kalau membaca pengetahuan agama lainnya; jelas ada
ketakutan dari para pimpinan institusinya kalau akan kehilangan pengikut,
padahal kalau memang ajarannya tepat, maka seharusnya malahan memberikan
inspirasi yang mencerahkan bukan? Bahkan di suatu agama, peraturannya begitu
keras dan harus ditaati penuh oleh si pengikutnya, dengan dibumbui ritual wajib
yang ketat, amal, pahala,surga, neraka, dll. Kelemahan di atas juga terjadi
pada bidang ilmu lainnya dengan kecenderungan sama. Bagaimana menurut pendapat
Mas Joko?
J =
Ya, pada umumnya manusia di Indonesia masih seperti itu. Yg memotivasi manusia
beragama untuk berperilaku tertentu ternyata rasa takut. Takut kehilangan iman
dsb. Pedahal, kalau benar-benar beriman, maka tidak perlu takut. Kalau membaca
sudut pandang yg berbeda saja sudah takut duluan, maka jelas itu bukan iman
melainkan iman-imanan.
T
= Saya cukup heran dengan kalimat “Takut akan Tuhan adalah permulaan
pengetahuan” yang menurut saya aneh. Belum kenal saja sudah takut, ini suatu
indoktrinasi yang menyesatkan. Manusia diajari untuk takut, aneh kan? Bukankah
lebih baik diberikan penjelasan disertai inspirasi untuk kesadaran dan
meningkatkan kesadarannya sendiri? Padahal pada penjelasan lainnya dianjurkan
supaya kita lebih mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana kita bisa
mendekatkan diri dengan cara takut? Mengapa harus takut? Kalau kita sadar dan
menyadari sepenuhnya siapa dan apa kita ini, maka kita lebih empati lagi dengan
rasa syukur dan merasakan kedamaian di dalam hati kita, jadi dari mana itu
datangnya takut dan apa memang harus takut? Bagaimana pandangan Mas Joko?
J =
The fear of the Lord s the beginning of wisdom, kata Nabi Sulaiman, orang
yg disohorkan sebagai manusia paling bijak di jamannya. Takut akan Tuhan adalah
permulaan pengetahuan? Menurut saya, Sulaiman mau bilang seperti itu adalah
urusannya sendiri. Dia hidup sekitar 3,000 tahun sebelum kita dimana manusia
masih percaya takhayul. Sikap takut-takut seperti itu mungkin cocok di
jamannya. Kalau sekarang sudah tidak cocok walaupun kata-kata seperti itu masih
ada di dalam kitab suci yg digunakan oleh umat Yahudi dan Nasrani. Memang ada
di Tanakh orang Yahudi dan Alkitab orang Kristen.
T
= Filipus yang sudah sekian lama bersama Yesus, ternyata tidak tahu siapa
‘Aku’. '’Aku’ yang dimaksud Yesus dalam pernyataan-pernyataannya memang bukan
hal yang mudah dijelaskan, sebab di tempat lain Yesus mengatakan: ”Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." (Yohanes
8:58). Di bagian lain di Kitab Suci, ditulis bahwa Yesus menyatakan: “Aku dan
Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30), di bagian lain lagi Yesus mengajarkan berdoa
kepada Bapa (Doa Bapa Kami – Matius 6; Lukas 11). Hm... bukankah akan rumit
jika dijelaskan, apa/bagaimana/siapa ‘Aku’ dan ‘Bapa’ yang dimaksud Yesus itu?
Sangat besar kemungkinan terjadi beda pemahaman antara orang yang menjelaskan
dengan orang yang kepadanya dijelaskan, lebih-lebih jika orang yang
menjelaskannya-pun hanya berbekal pengetahuan "tentang". Apalagi yang
"tentang" itu-pun dari “katanya”?
Untuk yang di atas ini, bisa saya
tambahkan: Aku adalah saya, saya adalah aku, aku bukan saya dan saya bukan aku,
tetapi aku dan saya adalah satu. Bagi yang menyadarinya, pasti memahami maksud
kalimat di atas. Mas Joko kan sering bilang: Aku adalah aku, yang sekarang
mungkin bisa dipertajam menjadi seperti kalimat di atas (inilah kelebihannya
bahasa Indonesia, bisa ada aku dan saya, yang tidak terdapat pada bahasa lain,
sehingga sangat mudah mendeskripsikan informasi esoteris ini). Jadi tetap
diperlukan kesadaran penuh untuk memahami penjelasan-penjelasan atas realitas
itu sendiri. Semua yang ada juga merupakan olah pikiran kita sendiri... Mungkin
bisa ditambahkan lagi Mas Joko?
J
= Yg anda tuliskan adalah interpretasi teologis. Bisa saja anda menjelaskan
dengan cara itu. Saya sendiri cenderung untuk percaya bahwa Filipus tahu bahwa
ada skenario terselubung dalam penyaliban Yesus. Ada kemungkinan penyaliban itu
tidak terjadi secara fisik, dan Yesus tidak mati. Ada juga kemungkinan orang
lain yg disalib. Penyaliban di masa penjajahan Romawi di Palestina merupakan
hal cukup umum, dilakukan terhadap para pelaku kriminal kelas berat. Bisa saja
orang lain yg disalib dan pengikut Yesus mengalami halusinasi seolah-olah Yesus
yg disalib, tetapi ada orang seperti Filipus yg tahu bahwa orang yg disalib
bukanlah Yesus. Hal-hal seperti ini tetap terbuka bagi diskusi yg sehat, tanpa
perlu ngotot mempertahankan satu pendapat atau pendapat lainnya. Saya sendiri
sampai sekarang tidak pernah percaya Yesus benar-benar terangkat ke Surga
seperti burung. It's impossible!
T
= Agar kita mengurangi resiko mengerti "tentang" maka ada baiknya
kita selalu belajar untuk menerima segala informasi apapun tanpa menilai atau
menghakimi bahwa informasi ini begini atau begitu. Pengalaman saya pribadi
lebih sering menerima informasi bermacam-macam dan uniknya, info-info ini ada
kaitannya antara info yang pernah sebelumnya saya terima beberapa waktu yang
lalu. Jadi saya selalu tidak menyimpulkan terlebih dahulu, saya cenderung
membiarkan semua info mengalir masuk ke dalam diri saya dan membiarkan alam
semesta yang menyeleksinya sendiri. Kepingan-kepingan info itu akhirnya
membentuk seperti jigsaw puzzle yang terangkai, dan itupun tidak lengkap
selesai, karena selalu bertambah. Disinilah saya sadar bahwa kita harus banyak
belajar. Bayangkan otak kita sebesar ini ternyata hanya terisi sebesar 10% saja
yang artinya masih ada ruang 90% yang belum kita isi. Sayang kan? Pengalaman
Mas Joko sendiri bagaimana?
J =
Pengalaman saya seperti itu juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar