Tidak perlu ada yg disalahkan dalam
hidup, kata Joko Tingtong. Sudah lama Joko tidak menyalahkan siapapun. Tidak
menyalahkan masa lalu, tidak menyalahkan pemerintah, tidak menyalahkan mereka
yg diperintah. Tidak mencari apa yg salah, tetapi mencari apa yg betul. Apakah
yg betul? Kalau sudah dapat, itu saja yg dipegang. Dijalani, dinikmati.
Saya bukan orang sadis, tidak suka menyakiti.
Bukan pula orang masokis, yg suka disakiti. Bawahan dan atasan dalam konteks
budaya Indonesia biasanya mengkonotasikan rasa sakit. Ada yg suka menyakiti,
biasanya atasan. Dan ada yg suka disakiti, biasanya bawahan. Kalau tidak ada
rasa sakit, mungkin tidak akan ada kepuasan. Puasnya penghuni iklim budaya
Indonesia selalu melibatkan rasa sakit. Semakin intensif rasa sakitnya, semakin
dianggap dalam. Kata lainnya tinggi. Dalam dan tinggi, turun dan naik. Sumur
dan anak tangga. Panci dan kompor. Mungkin karena budaya kita dulu swa sembada,
sehingga harus lengkap segalanya.
Jalan pikiran orang Barat tidak
begitu. Mereka tidak mengenal sistem sakit-menyakiti, kecuali orang yg
bergabung dalam komunitas S/M. Ini komunitas sado-masochistic. Joko tidak
pernah terlibat langsung. Paling jauh cuma lihat di bokep atawa film porno.
Terlihat ada yg diikat. Menikmati diikat dan diembat. Tapi itupun hanya sebatas
film saja. Atau sebatas permainan imajinasi. Imajinasi seks liar. Begitu cara
mainnya di tempat tidur, dan tidak selalu begitu di luar tempat tidur.
Indonesia kebalikannya. Di atas
maupun di luar tempat tidur, permainan sakit-menyakiti dibawa ke segala sendi
kehidupan masyarakat. Ada yg minta diturut, dan ada yg menurut. Bisa berjalan
lancar kalau skenario diikuti dengan sempurna yg, semakin lama, semakin susah.
Semakin susah mengikuti jalan cerita insan Indonesia tradisional karena budaya
Barat makin lama makin merasuk.
Orang tidak lagi percaya setan,
contohnya. Dan itu sudah suatu kerugian tersendiri, karena kambing hitam tidak
bisa ditemukan secara instant. Kita tetap perlu Setan seperti
kita perlu Tuhan. Kalau anda tidak percaya Setan, kerumitan tersendiri akan
muncul. Seperti yg berikut:
T
= Mas Joko, saya ingin bertanya sesuatu yg lebih dalam, entah ini cenderung
psikologis atau spiritualis. Saya telah membaca tulisan anda, dan saya
menyimpulkan bahwa sebenarnya kita manusia memiliki energi yang sama, yang
berasal dari suatu energi pusat (Tuhan), atau saya menyebutnya bahwa manusia
bersahabat dengan Tuhan, manusia adalah sahabat yg menghormati Tuhan.
J
= Manusia memiliki energi, dan energi itu sama, baik yg berada di pusat maupun
di daerah. Kita bisa bilang bahwa energi ini Tuhan. Itu bisa saja, dan memang
selalu bersahabat.
T
= Saya merasa bersahabat dengan Tuhan, apalagi setelah membaca tulisan anda. I've
been enlightened by you, Sir. Tetapi sejak itu, muncul suatu hal yg
mengganggu saya. Saya tidak lagi merasa takut, karena saya merasa bersahabat
dengan Tuhan, saya tidak lagi takut sama hal yg ngeri kayak Setan dan
sebangsanya yg kadang mengganggu tidur saya.
J =
Saya tahu bahwa Setan itu tidak ada. Yg ada cuma pikiran saya sendiri saja yg
bisa ber-kamuflase. Kamuflase atawa permainan peran dari pikiran saya bisa
mengambil berbagai macam bentuk. Bisa berbentuk Setan, bisa pula berbentuk
Tuhan.
T
= Frankly, it's disturbing me cuz Setan dan sebangsanya aren't
disturbing me anymore. Saya mulai merindukan kehadiran mereka dalam lelap
saya. Pernah sih, ada yg datang ganggu pas saya tidur, tapi saya waktu itu
tidak takut, sehingga membuat Setan itu berhenti menggoda dalam lelap saya.
Kemudian lama saya mulai tidak bermimpi yg ngeri lagi. Ya, saya merindukan
mereka. Apakah itu normal, Mas Joko?
J
= Normal saja. Setan dan Tuhan merupakan bagian dari pikiran kita sendiri saja.
They are figments of our own imagination. Percikan imajinasi kita.
T
= Menurut saya sebagai manusia, sebenarnya rasa takut itu perlu, fear is
needed, don't you think? Jenderal saja wajib takut dengan atasannya. Kalau
dulu saya bisa melimpahkan rasa takut pada Setan, Jin, Buto Ijo dan
sebangsanya. Mereka yg menjadi kambing hitam untuk rasa takut saya. Tapi kini
tidak bisa lagi... KalauTuhan beda, saya tidak takut dengan Tuhan, tapi saya
menghormatiNya. saya mencintaiNya. Saya tetap tidak takut... Bagaimana ini, Mas
Joko? saya tidak punya lagi kambing hitam yg namanya Setan.
J
= Saya juga tidak punya Setan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar