Di kehidupan masa
lalu, Joko Tingtong pernah menjadi orang Bali. Atau orang yg sangat
dekat dengan Bali. Joko punya benda-benda seni asli dengan obyek Bali.
Dibuat oleh orang-orang bule yg berdiam di Bali puluhan tahun lalu.
Ketika perempuan dan lelaki Bali masih telanjang dada. Sebelum Indonesia
merdeka dan Bung Karno mengeluarkan seruan agar perempuan Bali pakai
baju.
Tadinya toket itu bisa dilihat, jelas, sama sekali tidak menimbulkan rangsangan birahi. Kalau cuma melihat saja saya tidak terangsang, kata Joko.
Untuk terangsang harus dipegang.
Berikut percakapan Joko dengan dua orang teman dari Bali. Dua teman yg berbeda. Percakapan pertama dengan teman dari Bali yg sekarang tinggal di diaspora. Makanya banyak pakai istilah bahasa Inggris. Yg kedua tetap di tempat kejadian perkara.
PERCAKAPAN 1
T = Ada unek di benak yang harus keluar, masalah export-import agama. Seperti yang kita setujui bersama, kalau semua mainstream agama adalah imported, dan beberapa aliran kepercayaan dan sects juga adalah imported. Agama di samping multi-billion dollar business juga sebagai jalan menuju ke tujuan akhir, sama seperti mobil atau kendaraan lain yang kita import dari luar. Tapi sepertinya kita lupa bahwa sebagian dari bangsa Indonesia adalah juga imported dari luar, migrated dari India, Timur jauh, China dll. Dengan analisa begitu, tidakkah mungkin kalau sebenarnya kita yang menarik agama kita dalam hidup yang dulu ke yang sekarang? Maybe? Seperti beberapa kendaraan yang kita import, kita modified sedikit untuk keperluan kita disini, yang dulunya stir kiri kita pindahkan ke stir kanan. Beberapa agent importpun memodified konsep agama dan Tuhan. Konsep yang paling simple misalnya, dalam manualnya menambahkan sorga dan neraka, dan yang lain mengubah interior designnya menjadi Tuhan Maha Besar dan Maha Tahu, etc. Yang penting kita sampai ke tujuan akhir, apa bedanya kalau kita memilih macam kendaraan yang kita pilih? Dari Toyota yang sederhana sampai Lamborghini Tertarosa yang biayanya adzubillah, tokh kita sampai ke tujuan, apalagi waktunya sampai ke tujuan irrelevant.
Pilihan kendaraan kita tergantung selera masing-masing, tergantung gaya hidup dan biaya kita, juga waktu untuk pemeliharan kendaraan tsb. Pantaskah satu sopir melarang sopir yang lain untuk memilih kendaraan berbeda hanya karena menganggap kendaraan tersebut tidak sesuai dengan kendaraannya, atau bisa merusak kendaraanya, atau juga menjatuhkan harga kendaraan yang dia pilih?
Sebagai orang yang dididik secara Hindhu Bali (bukan pilihan sendiri), sementara itulah yang saya tahu, yang terus dijejalkan sejak kecil saya bahwa: jalan apapun yang kamu pilh dan tempuh, asal tujuanmu untuk AKU akan kuterima sama (Bhagavad Gita).
Sedangkan konsep sorga dan neraka, Tuhan Maha Besar, dan sebagainya tidak ada.
Yang sering dijejali adalah: Wyapi Wyapaka (ada dimana-mana), Ahimsa (tidak menyakiti apalagi membunuh), Tat Twam Asi (saya ada pada kamu), Dharma (kebenaran mutlak) dan, terpenting di samping tujuan terakhir, Moksa atau Nirvana juga.
Tuhan hanya satu, cuma namanya yang sekeranjang tambah satu ember (eko narayana naddwityo asti kaschit). Bagi saya atheist itu tidak ada, yang ada hanya ignorance, sedangkan si ignorant pun ber Tuhan, hanya konsep Tuhannya ada di dalam kotak miliknya.
Konsep aktivitas sehari hari manusia Hindhu Bali adalah Rwa Bhineda yang maksudnya: dua itu satu itu, dua kutub yang saling menarik dan saling mempengaruhi yang akhirnya berbaur menjadi satu, misalnya: Tuhan Maha Besar tapi juga Maha Kecil, Lingga dan Yoni atau positive negative, seperti magnet, walaupun kita pisah sekecil-kecilnya atau sebesar-besarnya masih akan kita temui dua kutub, positive and negative.
Dari sana kita tahu kalau agama sebagai jalan atau kendaraan Dharma berasal dari dua kutub asal... yeeaaap... Export dan Import...
Jadi why does it matter dari mana datangnya agama itu? Semua sama kalau lihatnya dari semua sudut, dua belas disini, satu lusin disana... the same.
J = Kalau kita mau jujur, memang boleh bilang tidak ada lagi orang Indonesia yang asli. Kita ini semuanya pendatang atau keturunan pendatang. Agama-agama import? Boleh bilang semuanya import, yang asli paling cuma tradisi selametan saja yang memang ada di seluruh pelosok Indonesia dari jaman dahulu sampai sekarang, walaupun sudah banyak dicampur-adukkan dengan agama-agama juga. Menurut saya, yang asli Indonesia itu cuma tradisi selametan sebab boleh bilang semua orang Indonesia apapun agamanya tetap mengadakan selametan. Setidaknya seperti itulah situasinya di Pulau Jawa, apapun agamanya pasti tetap selametan.
T = Saya condong menganalisa kalau Bangsa Chinalah yang pertama datang dan mengevolusi tatanan hidup dan kebudayaan bangsa Indonesia. Di Bali ada Barong Ket (Barongsai), Barong Landung yang tampangnya jelas-jelas China, juga uang lobang (coin China) yang dipakai sebagai salah satu alat persembahyangan, hio (dupa harum), malah ada symbol bhatara yang semuanya dibuat dari uang China tersebut yang disebut Bhatara Sedana (bhatara kemakmuran). Dan banyak lagi contoh link antara Hindhu Bali dengan China seperti di Pura Batur (Kintamani); disana pura berbaur dengan Koncho dalam satu arena. Di Kuta ada Pura Mandala, di depannya ada Koncho Syahbandar, dll. Hanya mungkin perbaurannya lebih harmonis jadi membuat Bali as we know now.
J = Secara materi jelas pengaruh Cina kental sekali di budaya Bali. Tari Barong di Bali memang mirip sekali dengan Barongsai yang berupa anjing Peking raksasa yang isinya manusia. Anjing itu lalu lompat-lompat, diiringi oleh tambur dan segala macam atraksi. Menurut saya, aslinya meniru gerakan anjing Peking, tetapi lalu disebut singa. Menjadi Barongsai atau Tari Singa. Kalau di Bali, Tari Barong pakai gong atau gamelan, tidak lagi diiringi dengan tambur raksasa seperti Barongsai. Barong Landung itu lain lagi, jenis barong yang akhirnya masuk ke Batavia (Jakarta) melalui orang-orang Bali yang dibawa ke Batavia di jaman VOC. Di Bali namanya Barong Landung, di Jakarta namanya ondel-ondel. Ondel-ondel adalah orang-orangan besar sekali, dan isinya manusia. Dan ondel-ondel itu diarak sepanjang jalan. Di Jakarta namanya ondel-ondel, tetapi banyak orang tidak tahu bahwa asalnya dari Barong Landung di Bali. Mungkin asalnya langsung dari Cina juga walaupun saya tidak pernah tahu jenis ondel-ondel yang dari Cina.
Saya juga pernah ke Pura Batur, disana memang ada pendopo khusus untuk Putri Cina yang konon menikah dengan salah satu raja di Bali. Jadi, di dalam pura itu semuanya biasa saja, tapi ada pendopo khusus di sebelah kiri dalam yang diperuntukkan untuk Putri Cina. Waktu berkunjung kesana kami meditasi di tempat yang biasa, di depan padmasana untuk Brahma, Wisnu, dan Siwa, lalu jalan-jalan melihat pendopo Putri Cina. Tempatnya dingin sekali di Kintamani, dengan pemandangan yang agak seram juga melihat bekas muntahan lahar Gunung Batur.
Kalau bicara tentang budaya Bali tidak ada habis-habisnya karena walaupun dari luar terlihat tertib, sebenarnya masyarakat Bali penuh persaingan juga. Ada saing-saingan terselubung antar kelompok. Tetapi karena terbiasa untuk disiplin, makanya segalanya bisa berjalan dengan baik. Dari pengamatan selintas saja kita bisa tahu bahwa di seluruh Indonesia, masyarakat yang paling disiplin adanya di Bali. Dan semuanya dimulai dari banjar yang barangkali cuma sebesar satu Rukun Warga kalau di Jawa.
Bali sinkretik, mencampurkan segala macam budaya dan tradisi menjadi satu kesatuan yang bisa berjalan harmonis. Majapahit tetap sebagai fokus dimana Bali bisa merujuk ke masa lalu, tetapi di sekitar fokus itu banyak terdapat macam-macam aliran yang bisa berjalan bersamaan. Bahkan pedanda juga memiliki aliran. Ada pedanda Siwa, dan ada pula pedanda Boda (Buddha). Walaupun dominannya Hindu, Bali bisa juga disebut sebagai Hindu Buddha plus kepercayaan tradisional Indonesia berupa penghormatan kepada leluhur. Setiap keluarga di Bali bisa mengurutkan silsilahnya sampai kepada pendatang pertama dari Majapahit yang dibuatkan pura keluarga tersendiri di seputar pura utama di Besakih. Besakih itu merupakan pura terbesar karena disana terdapat ratusan pura keluarga.
PERCAKAPAN 2
T = Saya suka sekali sesuatu yang berbau mistik dan magis. Mungkin kalo bahasa sekarang, suatu tempat atau benda yang mempunyai aura yang kuat. Di kampung saya, atau mungkin di Bali secara keseluruhan, setiap desa mempunyai simbol pelindung desanya masing-masing. Ada yang berbentuk topeng rangda dan barong, arca, jempana, dll. Tergantung si pembuatnya (tentunya dipercaya dapet wangsit ato semacamnya). Nah, simbol-simbol ini diisi spirit oleh mangku atau mungkin pedanda, yang penting kepala keagamaan. Spirit inilah yang kelak dipercaya menjaga ruang lingkup desa.
Beberapa tahun terakhir, mungkin sekitar lima tahun belakangan, saya suka sekali meditasi di pura. Jenis puranya itu bernama pura dalem. Pura dalem ini, letaknya selalu di sebelah selatan desa dan selalu dempetan dengan kuburan. Sebagai info, pura ini dipercaya sebagai tempat ber-istananya Bethari Durgha, atau istrinya si Siwa himself. Kalo pulang ke Bali, hampir tiga hari sekali saya ke pura itu untuk sekedar memusatkan pikiran atau bengong sambil celingak-celinguk kanan kiri. Nyaman. Gelap.
Suatu ketika, kebetulan saya bersama sepupu saya datang lagi ke pura itu. Baru masuk, tiba-tiba dia kerauhan alias trans. Tertawa dan menari layaknya tarian rangda yang biasanya. Saya hanya heran. Duduk bersila sambil ngeliat fenomena itu. Suka, seneng, takut, merinding, ngeri, bangga, semuanya jadi satu. Beberapa saat, sepupu saya selesei menunaikan tugasnya setelah di-remote sama sesuatu yang tidak diketahui tersebut. Duduk bersila di samping saya. Ngos-ngosan. Rasa ingin tahu saya besar sekali. Apa itu? Siapa itu?
Saya mulai bertanya. Itu siapa?
“Oh, itu bhatara yang menjaga desa ini.”
“Kok tahu?”
“Ya gak tahu, kayaknya sih begitu.”
“Boleh gak kalo gue tanya-tanya melalui lo?”
“Kata beliau boleh.”
“Siapa dia? Ngapain ada disini, Kenapa bisa ada? Dari mana?”
Dia diem sebentar, bertanya. Lalu menjawab, katanya dia adalah Bethari Lingsir, simbol ibu, pelindung, pengayom. Mengapa ada disini, karena kalian manusia yang meminta dan membuat aku ada disini. Aku berasal dari Tuhan itself, percikan terkecilnya.
Saya mulai bertanya lagi. Saya selalu terusik dengan konsep reinkarnasi. Saya bertanya, reinkarnasi itu ada gak sih? Kalo ada kok setiap tempat berbeda? Contoh, di India orang bisa jadi kambing, atau dari babi ke manusia, tergantung karmanya. Kalo di Bali, orang hanya ber-reinkarnasi ke manusia juga. Nah, kalo yang lain bahkan gak ada reinkarnasi. Yang bener yang mana?
Dia kembali terdiam. Lalu menjawab, semua ide adalah manusia yang membuat. Kepercayaan dan keyakinan adalah inti dari semuanya. Jika manusia berkeyakinan seperti di India, maka itu yang terjadi. Kalo tidak percaya, itu juga yang terjadi. Jadi tergantung pikiran manusia. Semua itu flexible.
Kaget juga dengernya. Saya bertanya-jawab hampir menghabiskan dua dupa. Dan banyak kejadian seperti itu setelahnya. Mungkin cerita ini tidak menarik. Saya juga tidak pandai untuk menulis, namun saya ingin mencoba share dengan Mas Joko.
J = Siapa bilang tidak menarik? Yg anda alami adalah hal yg cukup biasa bagi saya dan banyak teman lainnya. Ada energi tertentu yg bisa dipanggil dan diisikan ke benda atau tempat tertentu. Dan, tatkala ada orang yg cukup sensitif untuk berkomunikasi, maka energi itu bisa juga masuk dan menggerakkan tubuh orang itu, seperti yg dialami oleh sepupu anda, menari seolah-olah kemasukan Rangda. Tetapi yg masuk ternyata Bethari Lingsir. Semuanya itu simbol-simbol saja, dan adanya di dalam pikiran manusia. Kita bisa menciptakan simbol apapun di dalam pikiran kita, dan bisa kita carikan padanannya secara fisik. Lalu kita alirkan kekuatan pikiran kita untuk mengisinya. Selalu begitu caranya di semua agama dan aliran kepercayaan.
Konsep yg digunakan bisa berbeda-beda. Konsep-konsep itu antara lain: Sorga dan Neraka, Reinkarnasi, Amal dan Ibadah, sifat-sifat Tuhan, dsb. Di Bali, konsep yg dipakai bisa Siwa dan berbagai manifestasinya.
Reinkarnasi juga cuma konsep belaka.
Kalau percaya bisa reinkarnasi menjadi kambing, maka ber-reinkarnasilah orangnya menjadi kambing. Tapi itu cuma di alam pikiran saja bukan? Cuma sementara saja, sebab cepat atau lambat kesadaran kita akan kembali kepada yg asal, yaitu yg diam saja, yg mengamati saja, kesadaran Tuhan. Kalau percaya Sorga Neraka, maka orangnya mungkin bisa mengalami illusi masuk Sorga atau Neraka ketika meninggal.
Kalau fisiknya diam, dan cuma mengalami pengalaman batin, kita bisa sebut illusi. Bayangan-bayangan seolah nyata, tapi tidak ada secara fisik. Kalau fisiknya bergerak, dan orangnya bertindak mengikuti bayangan yg ada di dalam kepalanya, kita sebut delusi atau waham. Banyak upacara keagamaan sifatnya delusi, bisa juga disebut penipuan diri sendiri. Tidak selalu berarti negatif. Diri kita netral, dan kalau kita mau sesuatu, maka harus ada yg ditarik lewat illusi. Illusi bisa berupa keyakinan agama, obyek keinginan, dan menggunakan simbol Allah atau Tuhan untuk diperagakan di depan mata. Ketika semuanya sudah terlihat dengan nyata, menyambung antara pikiran sadar dan bawah sadar, tinggal ditutup dengan ucapan amin.
Atau om... dalam tradisi Hindu Buddha.
Om artinya jadilah. Sama saja seperti amin.
Mulanya dari illusi, lalu jadi delusi. Bisa diteruskan sehingga menjadi manifestasi fisik berupa pertumbuhan ekonomi, dlsb. Kalau tidak ada aral melintang antara alam sadar dan alam bawah sadar, maka akan terjadi juga. Tinggal tunggu giliran saja. Cuma soal waktu.
Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Sorga Neraka.
Tidak juga berhubungan dengan Reinkarnasi.
(Leonardo Rimba)
Tadinya toket itu bisa dilihat, jelas, sama sekali tidak menimbulkan rangsangan birahi. Kalau cuma melihat saja saya tidak terangsang, kata Joko.
Untuk terangsang harus dipegang.
Berikut percakapan Joko dengan dua orang teman dari Bali. Dua teman yg berbeda. Percakapan pertama dengan teman dari Bali yg sekarang tinggal di diaspora. Makanya banyak pakai istilah bahasa Inggris. Yg kedua tetap di tempat kejadian perkara.
PERCAKAPAN 1
T = Ada unek di benak yang harus keluar, masalah export-import agama. Seperti yang kita setujui bersama, kalau semua mainstream agama adalah imported, dan beberapa aliran kepercayaan dan sects juga adalah imported. Agama di samping multi-billion dollar business juga sebagai jalan menuju ke tujuan akhir, sama seperti mobil atau kendaraan lain yang kita import dari luar. Tapi sepertinya kita lupa bahwa sebagian dari bangsa Indonesia adalah juga imported dari luar, migrated dari India, Timur jauh, China dll. Dengan analisa begitu, tidakkah mungkin kalau sebenarnya kita yang menarik agama kita dalam hidup yang dulu ke yang sekarang? Maybe? Seperti beberapa kendaraan yang kita import, kita modified sedikit untuk keperluan kita disini, yang dulunya stir kiri kita pindahkan ke stir kanan. Beberapa agent importpun memodified konsep agama dan Tuhan. Konsep yang paling simple misalnya, dalam manualnya menambahkan sorga dan neraka, dan yang lain mengubah interior designnya menjadi Tuhan Maha Besar dan Maha Tahu, etc. Yang penting kita sampai ke tujuan akhir, apa bedanya kalau kita memilih macam kendaraan yang kita pilih? Dari Toyota yang sederhana sampai Lamborghini Tertarosa yang biayanya adzubillah, tokh kita sampai ke tujuan, apalagi waktunya sampai ke tujuan irrelevant.
Pilihan kendaraan kita tergantung selera masing-masing, tergantung gaya hidup dan biaya kita, juga waktu untuk pemeliharan kendaraan tsb. Pantaskah satu sopir melarang sopir yang lain untuk memilih kendaraan berbeda hanya karena menganggap kendaraan tersebut tidak sesuai dengan kendaraannya, atau bisa merusak kendaraanya, atau juga menjatuhkan harga kendaraan yang dia pilih?
Sebagai orang yang dididik secara Hindhu Bali (bukan pilihan sendiri), sementara itulah yang saya tahu, yang terus dijejalkan sejak kecil saya bahwa: jalan apapun yang kamu pilh dan tempuh, asal tujuanmu untuk AKU akan kuterima sama (Bhagavad Gita).
Sedangkan konsep sorga dan neraka, Tuhan Maha Besar, dan sebagainya tidak ada.
Yang sering dijejali adalah: Wyapi Wyapaka (ada dimana-mana), Ahimsa (tidak menyakiti apalagi membunuh), Tat Twam Asi (saya ada pada kamu), Dharma (kebenaran mutlak) dan, terpenting di samping tujuan terakhir, Moksa atau Nirvana juga.
Tuhan hanya satu, cuma namanya yang sekeranjang tambah satu ember (eko narayana naddwityo asti kaschit). Bagi saya atheist itu tidak ada, yang ada hanya ignorance, sedangkan si ignorant pun ber Tuhan, hanya konsep Tuhannya ada di dalam kotak miliknya.
Konsep aktivitas sehari hari manusia Hindhu Bali adalah Rwa Bhineda yang maksudnya: dua itu satu itu, dua kutub yang saling menarik dan saling mempengaruhi yang akhirnya berbaur menjadi satu, misalnya: Tuhan Maha Besar tapi juga Maha Kecil, Lingga dan Yoni atau positive negative, seperti magnet, walaupun kita pisah sekecil-kecilnya atau sebesar-besarnya masih akan kita temui dua kutub, positive and negative.
Dari sana kita tahu kalau agama sebagai jalan atau kendaraan Dharma berasal dari dua kutub asal... yeeaaap... Export dan Import...
Jadi why does it matter dari mana datangnya agama itu? Semua sama kalau lihatnya dari semua sudut, dua belas disini, satu lusin disana... the same.
J = Kalau kita mau jujur, memang boleh bilang tidak ada lagi orang Indonesia yang asli. Kita ini semuanya pendatang atau keturunan pendatang. Agama-agama import? Boleh bilang semuanya import, yang asli paling cuma tradisi selametan saja yang memang ada di seluruh pelosok Indonesia dari jaman dahulu sampai sekarang, walaupun sudah banyak dicampur-adukkan dengan agama-agama juga. Menurut saya, yang asli Indonesia itu cuma tradisi selametan sebab boleh bilang semua orang Indonesia apapun agamanya tetap mengadakan selametan. Setidaknya seperti itulah situasinya di Pulau Jawa, apapun agamanya pasti tetap selametan.
T = Saya condong menganalisa kalau Bangsa Chinalah yang pertama datang dan mengevolusi tatanan hidup dan kebudayaan bangsa Indonesia. Di Bali ada Barong Ket (Barongsai), Barong Landung yang tampangnya jelas-jelas China, juga uang lobang (coin China) yang dipakai sebagai salah satu alat persembahyangan, hio (dupa harum), malah ada symbol bhatara yang semuanya dibuat dari uang China tersebut yang disebut Bhatara Sedana (bhatara kemakmuran). Dan banyak lagi contoh link antara Hindhu Bali dengan China seperti di Pura Batur (Kintamani); disana pura berbaur dengan Koncho dalam satu arena. Di Kuta ada Pura Mandala, di depannya ada Koncho Syahbandar, dll. Hanya mungkin perbaurannya lebih harmonis jadi membuat Bali as we know now.
J = Secara materi jelas pengaruh Cina kental sekali di budaya Bali. Tari Barong di Bali memang mirip sekali dengan Barongsai yang berupa anjing Peking raksasa yang isinya manusia. Anjing itu lalu lompat-lompat, diiringi oleh tambur dan segala macam atraksi. Menurut saya, aslinya meniru gerakan anjing Peking, tetapi lalu disebut singa. Menjadi Barongsai atau Tari Singa. Kalau di Bali, Tari Barong pakai gong atau gamelan, tidak lagi diiringi dengan tambur raksasa seperti Barongsai. Barong Landung itu lain lagi, jenis barong yang akhirnya masuk ke Batavia (Jakarta) melalui orang-orang Bali yang dibawa ke Batavia di jaman VOC. Di Bali namanya Barong Landung, di Jakarta namanya ondel-ondel. Ondel-ondel adalah orang-orangan besar sekali, dan isinya manusia. Dan ondel-ondel itu diarak sepanjang jalan. Di Jakarta namanya ondel-ondel, tetapi banyak orang tidak tahu bahwa asalnya dari Barong Landung di Bali. Mungkin asalnya langsung dari Cina juga walaupun saya tidak pernah tahu jenis ondel-ondel yang dari Cina.
Saya juga pernah ke Pura Batur, disana memang ada pendopo khusus untuk Putri Cina yang konon menikah dengan salah satu raja di Bali. Jadi, di dalam pura itu semuanya biasa saja, tapi ada pendopo khusus di sebelah kiri dalam yang diperuntukkan untuk Putri Cina. Waktu berkunjung kesana kami meditasi di tempat yang biasa, di depan padmasana untuk Brahma, Wisnu, dan Siwa, lalu jalan-jalan melihat pendopo Putri Cina. Tempatnya dingin sekali di Kintamani, dengan pemandangan yang agak seram juga melihat bekas muntahan lahar Gunung Batur.
Kalau bicara tentang budaya Bali tidak ada habis-habisnya karena walaupun dari luar terlihat tertib, sebenarnya masyarakat Bali penuh persaingan juga. Ada saing-saingan terselubung antar kelompok. Tetapi karena terbiasa untuk disiplin, makanya segalanya bisa berjalan dengan baik. Dari pengamatan selintas saja kita bisa tahu bahwa di seluruh Indonesia, masyarakat yang paling disiplin adanya di Bali. Dan semuanya dimulai dari banjar yang barangkali cuma sebesar satu Rukun Warga kalau di Jawa.
Bali sinkretik, mencampurkan segala macam budaya dan tradisi menjadi satu kesatuan yang bisa berjalan harmonis. Majapahit tetap sebagai fokus dimana Bali bisa merujuk ke masa lalu, tetapi di sekitar fokus itu banyak terdapat macam-macam aliran yang bisa berjalan bersamaan. Bahkan pedanda juga memiliki aliran. Ada pedanda Siwa, dan ada pula pedanda Boda (Buddha). Walaupun dominannya Hindu, Bali bisa juga disebut sebagai Hindu Buddha plus kepercayaan tradisional Indonesia berupa penghormatan kepada leluhur. Setiap keluarga di Bali bisa mengurutkan silsilahnya sampai kepada pendatang pertama dari Majapahit yang dibuatkan pura keluarga tersendiri di seputar pura utama di Besakih. Besakih itu merupakan pura terbesar karena disana terdapat ratusan pura keluarga.
PERCAKAPAN 2
T = Saya suka sekali sesuatu yang berbau mistik dan magis. Mungkin kalo bahasa sekarang, suatu tempat atau benda yang mempunyai aura yang kuat. Di kampung saya, atau mungkin di Bali secara keseluruhan, setiap desa mempunyai simbol pelindung desanya masing-masing. Ada yang berbentuk topeng rangda dan barong, arca, jempana, dll. Tergantung si pembuatnya (tentunya dipercaya dapet wangsit ato semacamnya). Nah, simbol-simbol ini diisi spirit oleh mangku atau mungkin pedanda, yang penting kepala keagamaan. Spirit inilah yang kelak dipercaya menjaga ruang lingkup desa.
Beberapa tahun terakhir, mungkin sekitar lima tahun belakangan, saya suka sekali meditasi di pura. Jenis puranya itu bernama pura dalem. Pura dalem ini, letaknya selalu di sebelah selatan desa dan selalu dempetan dengan kuburan. Sebagai info, pura ini dipercaya sebagai tempat ber-istananya Bethari Durgha, atau istrinya si Siwa himself. Kalo pulang ke Bali, hampir tiga hari sekali saya ke pura itu untuk sekedar memusatkan pikiran atau bengong sambil celingak-celinguk kanan kiri. Nyaman. Gelap.
Suatu ketika, kebetulan saya bersama sepupu saya datang lagi ke pura itu. Baru masuk, tiba-tiba dia kerauhan alias trans. Tertawa dan menari layaknya tarian rangda yang biasanya. Saya hanya heran. Duduk bersila sambil ngeliat fenomena itu. Suka, seneng, takut, merinding, ngeri, bangga, semuanya jadi satu. Beberapa saat, sepupu saya selesei menunaikan tugasnya setelah di-remote sama sesuatu yang tidak diketahui tersebut. Duduk bersila di samping saya. Ngos-ngosan. Rasa ingin tahu saya besar sekali. Apa itu? Siapa itu?
Saya mulai bertanya. Itu siapa?
“Oh, itu bhatara yang menjaga desa ini.”
“Kok tahu?”
“Ya gak tahu, kayaknya sih begitu.”
“Boleh gak kalo gue tanya-tanya melalui lo?”
“Kata beliau boleh.”
“Siapa dia? Ngapain ada disini, Kenapa bisa ada? Dari mana?”
Dia diem sebentar, bertanya. Lalu menjawab, katanya dia adalah Bethari Lingsir, simbol ibu, pelindung, pengayom. Mengapa ada disini, karena kalian manusia yang meminta dan membuat aku ada disini. Aku berasal dari Tuhan itself, percikan terkecilnya.
Saya mulai bertanya lagi. Saya selalu terusik dengan konsep reinkarnasi. Saya bertanya, reinkarnasi itu ada gak sih? Kalo ada kok setiap tempat berbeda? Contoh, di India orang bisa jadi kambing, atau dari babi ke manusia, tergantung karmanya. Kalo di Bali, orang hanya ber-reinkarnasi ke manusia juga. Nah, kalo yang lain bahkan gak ada reinkarnasi. Yang bener yang mana?
Dia kembali terdiam. Lalu menjawab, semua ide adalah manusia yang membuat. Kepercayaan dan keyakinan adalah inti dari semuanya. Jika manusia berkeyakinan seperti di India, maka itu yang terjadi. Kalo tidak percaya, itu juga yang terjadi. Jadi tergantung pikiran manusia. Semua itu flexible.
Kaget juga dengernya. Saya bertanya-jawab hampir menghabiskan dua dupa. Dan banyak kejadian seperti itu setelahnya. Mungkin cerita ini tidak menarik. Saya juga tidak pandai untuk menulis, namun saya ingin mencoba share dengan Mas Joko.
J = Siapa bilang tidak menarik? Yg anda alami adalah hal yg cukup biasa bagi saya dan banyak teman lainnya. Ada energi tertentu yg bisa dipanggil dan diisikan ke benda atau tempat tertentu. Dan, tatkala ada orang yg cukup sensitif untuk berkomunikasi, maka energi itu bisa juga masuk dan menggerakkan tubuh orang itu, seperti yg dialami oleh sepupu anda, menari seolah-olah kemasukan Rangda. Tetapi yg masuk ternyata Bethari Lingsir. Semuanya itu simbol-simbol saja, dan adanya di dalam pikiran manusia. Kita bisa menciptakan simbol apapun di dalam pikiran kita, dan bisa kita carikan padanannya secara fisik. Lalu kita alirkan kekuatan pikiran kita untuk mengisinya. Selalu begitu caranya di semua agama dan aliran kepercayaan.
Konsep yg digunakan bisa berbeda-beda. Konsep-konsep itu antara lain: Sorga dan Neraka, Reinkarnasi, Amal dan Ibadah, sifat-sifat Tuhan, dsb. Di Bali, konsep yg dipakai bisa Siwa dan berbagai manifestasinya.
Reinkarnasi juga cuma konsep belaka.
Kalau percaya bisa reinkarnasi menjadi kambing, maka ber-reinkarnasilah orangnya menjadi kambing. Tapi itu cuma di alam pikiran saja bukan? Cuma sementara saja, sebab cepat atau lambat kesadaran kita akan kembali kepada yg asal, yaitu yg diam saja, yg mengamati saja, kesadaran Tuhan. Kalau percaya Sorga Neraka, maka orangnya mungkin bisa mengalami illusi masuk Sorga atau Neraka ketika meninggal.
Kalau fisiknya diam, dan cuma mengalami pengalaman batin, kita bisa sebut illusi. Bayangan-bayangan seolah nyata, tapi tidak ada secara fisik. Kalau fisiknya bergerak, dan orangnya bertindak mengikuti bayangan yg ada di dalam kepalanya, kita sebut delusi atau waham. Banyak upacara keagamaan sifatnya delusi, bisa juga disebut penipuan diri sendiri. Tidak selalu berarti negatif. Diri kita netral, dan kalau kita mau sesuatu, maka harus ada yg ditarik lewat illusi. Illusi bisa berupa keyakinan agama, obyek keinginan, dan menggunakan simbol Allah atau Tuhan untuk diperagakan di depan mata. Ketika semuanya sudah terlihat dengan nyata, menyambung antara pikiran sadar dan bawah sadar, tinggal ditutup dengan ucapan amin.
Atau om... dalam tradisi Hindu Buddha.
Om artinya jadilah. Sama saja seperti amin.
Mulanya dari illusi, lalu jadi delusi. Bisa diteruskan sehingga menjadi manifestasi fisik berupa pertumbuhan ekonomi, dlsb. Kalau tidak ada aral melintang antara alam sadar dan alam bawah sadar, maka akan terjadi juga. Tinggal tunggu giliran saja. Cuma soal waktu.
Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Sorga Neraka.
Tidak juga berhubungan dengan Reinkarnasi.
(Leonardo Rimba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar