11 Des 2014

"buang sial"



Menurut saya larungan adalah cara akal-akalan untuk buang sial. Bahasa Betawi-nya "buang sial", jadi segala macam simbol dari berbagai hal yg diduga akan membawa kesialan dikumpulkan dalam satu wadah, dan dalam waktutertentu dibuang ke Laut Selatan yg merupakan simbol dari the Great Unknown, dalam manifestasinya sebagai the Great Feminine.
Karena feminin, maka bagian di tubuh manusia yg dikuasainya adalah bagian dada atau Cakra Jantung, tempat dimana emosi-emosi yg berasal dari hubungan antar manusia berada. Jadi, hal-hal yg mengganjal dalam hubungan antar manusia bisa disimbolkan dalam bentuk tertentu, dan dilarung di Laut Selatan. Ini ritual, dan efeknya berada di dalam kejiwaan dari mereka yg berpartisipasi, dan bukan di benda-benda yg secara fisik dilarung itu. Kalau jiwa
merasa tenteram karena merasa telah mengorbankan hal-hal yg dianggap berharga dalam hidup ini, maka tentu saja di kehidupan sehari-hari akan lebih lancar. Itu penjelasan praktisnya menurut saya, walaupun mereka yg hidup dalam kebudayaan Jawa memiliki berbagai penjelasan berbeda.
Nyai Roro Kidul yg dipercaya sebagai penguasa Laut Selatan sebenarnya juga merupakan simbol dari alam bawah sadar penguasa. Penguasa Jawa masa lalu bersifat otoriter, sangat maskulin, dan apa yg di-repressed itu di-relegasikan ke alam bawah sadar dan mengambil figur sebagai Nyai Roro Kidul. Jadi, Raja Jawa akan berdampingan dengan Nyai Roro Kidul dalam memerintah rakyatnya. Artinya apa? Artinya bahwa kesadaran dalam diri siRaja Jawa itu komplit, ada bagian sadar (si Raja sendiri), dan ada alam bawah sadar (disimbolkan oleh Nyai Roro Kidul).
Simbolisme, semuanya simbolisme, dan memang bisa memiliki power juga bagi mereka yg hidup dengan kepercayaan seperti itu. Bagi mereka yg tidak percaya, segala macam simbolisme itu tidak ada artinya, dan tidak memiliki kekuatan apapun. Yg memiliki kekuatan adalah simbol yg dipercayai. Nyai Roro Kidul di Jawa bisa digantikan oleh Bunda Maria dalam kepercayaan Katolik, misalnya. Bisa digantikan oleh Fatima dalam kepercayaan Arab Muslim. Bisa digantikan oleh Dewi Kuan Im dalam kepercayaan Buddha Mahayana. Bisa digantikan oleh Dewi Saraswati dalam kepercayaan Hindu Bali.
Dengan mengerti bahwa segalanya adalah simbolisme yg bekerja di dalam proses kejiwaan kita sendiri akhirnya membawa kita menjadi manusia yg toleran. Kita plural, dan tidak ada gunanya untuk main fanatik-fanatikan karena segala yg kita pegang ternyata cuma simbolisme belaka, termasuk yg adanya di agama-agama dan tradisi kita.
Pedahal yg essensial adalah yg tidak bisa di-simbolkan. Kita menyatu dengan yg essensial, sehingga segala simbol-simbol itu cuma datang dan pergi saja di kesadaran kita, dan kita tidak melekat kepada mereka. Itu ajaran non attachment atau tanpa kemelekatan dari Sidharta Gautama. Itu juga pengertian ikhlas dan pasrah dalam Islam. Itu juga pengertian menyatu dengan Allah dari Yesus. Dan itu juga sebabnya Syekh Siti Jenar bilang: kulo gusti. 

sumber : e-book 'dampak meditasi mata ketiga' 

sumber foto : www.antarabali.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar