Menurut saya larungan adalah
cara akal-akalan untuk buang sial. Bahasa Betawi-nya "buang sial",
jadi segala macam simbol dari berbagai hal yg diduga akan membawa kesialan
dikumpulkan dalam satu wadah, dan dalam waktutertentu dibuang ke Laut Selatan
yg merupakan simbol dari the Great Unknown, dalam manifestasinya sebagai the
Great Feminine.
Karena
feminin, maka bagian di tubuh manusia yg dikuasainya adalah bagian dada atau
Cakra Jantung, tempat dimana emosi-emosi yg berasal dari hubungan antar manusia
berada. Jadi, hal-hal yg mengganjal dalam hubungan antar manusia bisa
disimbolkan dalam bentuk tertentu, dan dilarung di Laut Selatan. Ini ritual,
dan efeknya berada di dalam kejiwaan dari mereka yg berpartisipasi, dan bukan
di benda-benda yg secara fisik dilarung itu. Kalau jiwa
merasa
tenteram karena merasa telah mengorbankan hal-hal yg dianggap berharga dalam
hidup ini, maka tentu saja di kehidupan sehari-hari akan lebih lancar. Itu
penjelasan praktisnya menurut saya, walaupun mereka yg hidup dalam kebudayaan
Jawa memiliki berbagai penjelasan berbeda.
Nyai Roro Kidul yg dipercaya
sebagai penguasa Laut Selatan sebenarnya juga merupakan simbol dari alam bawah
sadar penguasa. Penguasa Jawa masa lalu bersifat otoriter, sangat maskulin, dan
apa yg di-repressed itu di-relegasikan ke alam bawah sadar dan mengambil figur
sebagai Nyai Roro Kidul. Jadi, Raja Jawa akan berdampingan dengan Nyai Roro
Kidul dalam memerintah rakyatnya. Artinya apa? Artinya bahwa kesadaran dalam
diri siRaja Jawa itu komplit, ada bagian sadar (si Raja sendiri), dan ada alam
bawah sadar (disimbolkan oleh Nyai Roro Kidul).
Simbolisme, semuanya
simbolisme, dan memang bisa memiliki power juga bagi mereka yg hidup dengan
kepercayaan seperti itu. Bagi mereka yg tidak percaya, segala macam simbolisme
itu tidak ada artinya, dan tidak memiliki kekuatan apapun. Yg memiliki kekuatan
adalah simbol yg dipercayai. Nyai Roro Kidul di Jawa bisa digantikan oleh Bunda
Maria dalam kepercayaan Katolik, misalnya. Bisa digantikan oleh Fatima dalam
kepercayaan Arab Muslim. Bisa digantikan oleh Dewi Kuan Im dalam kepercayaan
Buddha Mahayana. Bisa digantikan oleh Dewi Saraswati dalam kepercayaan Hindu
Bali.
Dengan mengerti bahwa segalanya
adalah simbolisme yg bekerja di dalam proses kejiwaan kita sendiri akhirnya
membawa kita menjadi manusia yg toleran. Kita plural, dan tidak ada gunanya
untuk main fanatik-fanatikan karena segala yg kita pegang ternyata cuma
simbolisme belaka, termasuk yg adanya di agama-agama dan tradisi kita.
Pedahal yg essensial adalah yg
tidak bisa di-simbolkan. Kita menyatu dengan yg essensial, sehingga segala
simbol-simbol itu cuma datang dan pergi saja di kesadaran kita, dan kita tidak
melekat kepada mereka. Itu ajaran non attachment atau tanpa kemelekatan dari
Sidharta Gautama. Itu juga pengertian ikhlas dan pasrah dalam Islam. Itu juga
pengertian menyatu dengan Allah dari Yesus. Dan itu juga sebabnya Syekh Siti
Jenar bilang: kulo gusti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar